(cerita waktu itu sebelum hingar bingar corona)
Sepulang dari mushola, kulihat Be berjalan sendiri di depanku, tapi tiba-tiba dia berhenti. Be adalah adik sepupu Ken. Umurnya kurang lebih baru 4 tahun.
"Ada apa Be?" tanyaku
"Akung mana?" tanya balik Be kepadaku.
"Akung masih di mushola. Ayo pulang sama pakde saja," kataku sambil kugandeng tangannya. Eyang akung Be masih berdzikir dan berdoa. Agak lama. Pulangnya sering paling akhir.
Rupanya Be cukup nyaman kugandeng. Dia berjalan sambil sesekali melompat. Rambut keriting panjangnya mentul-mentul di bawah kopiah putihnya.
Beberapa saat kemudian, kami sampai di depan rumah eyang Be dimana dia tinggal bersama ayah, bunda, eyang akung dan eyang uti. Be membuka pintu gerbang dan berjalan menuju teras, tapi belum sampai di teras, dia berlari kembali keluar gerbang menuju ke arahku dan memelukku.
"Kenapa Be?" tanyaku
"Gelap," jawabnya sambil merengek.
Teras rumah eyang Be gelap. Rupanya lampunya belum dinyalakan.
"Ya sudah di sini saja sama pakde, nunggu akung pulang dari mushola," kataku
Aku bersama Be menunggu akung Be di depan pintu gerbang. Tapi lamat-lamat ada suara perempuan membaca Al Qur'an dari dalam rumah eyang Be.
"Be, itu Uti sudah di rumah. Tuh dengar, Uti lagi ngaji. Iya kan?"
Be mengangguk.
"Sudah sana Be masuk lagi. Terus ketuk pintu sambil salam. Yang keras ya," suruhku
Be menuruti perintahku. Dia masuk lagi dan mengetuk pintu sambil mengucapkan salam keras sekali "assalamu 'alaikum". Aku masih menungguinya di depan pintu gerbang.
Benar saja. Pintu dibuka oleh eyang uti Be yang masih mengenakan mukena warna putih dan membawa Qur'an di tangannya. Be segera memeluk eyang utinya.
"Be takut Ti. Gelap," kata Be.
"Be pulang sama siapa?" tanya Utinya
"Sama Pakde," jawab Be sambil menunjuk ke arahku.
"Sudah ya Be, pakde pulang dulu, dadaaa," kataku sambil melambaikan tanganku.
"Iya. Dadaaa.... Sampai jumpa," jawaban khas Be "sampai jumpa" ketika mengucapkan salam perpisahan sambil melambaikan tangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar