Bikin Patah Hati
“Pak Bahrudin menikah? Ya Tuhan, kenapa harus menikah?” kata
salah satu siswa kemudian terdiam lama dengan mata berkaca-kaca.
“Aku tak percaya. Putus harapanku,” kata siswa yang lain
Sejak terdengar kabar bahwa Pak Bahrudin mau menikah, banyak
siswa perempuan merasa patah hati, putus harapan, kecewa, speachless,
terbata-bata, terhuyung-huyung, termehek-mehek, dan tak percaya. Untung tak
sampai bunuh diri.
Bagaimanapun, Pak Bahrudin adalah guru muda idola para
siswa. Beliau adalah salah satu guru Pendidikan Agama Islam di sekolahku. Wajahnya
yang ganteng serta pembawaannya yang cool, ramah dan penuh senyum membuat semua
orang terpesona. Para siswa, terutama siswa perempuan sangat megidolakannya. Tentu
saja sambil berharap.
Undangan
Aku sudah menerima undangannya sejak hari Rabu. Di dalam
undangan tertera acara pernikahan yang akan dilaksanakan pada hari Sabut tanggal
12 Nopember 2016. Akad nikah akan dilaksanakan pada pukul 09.00 sedangkan tasyakuran
akan dilaksanakan pada pukul 13.00 s/d selesai. Semua acara dilaksanakan di
rumah mempelai wanita.
Untuk menindaklanjuti undangan ini, Pak Taufiq selaku Waka
Humas merencanakan acara kondangan. Perjalanan direncanakan menggunakan kendaraan
yang dimiliki oleh guru dan karyawan. Ada 8 mobil yang direncanakan akan
berangkat, termasuk mobilku.
Waka kurikulum juga telah mengatur jadwal pembelajaran untuk
hari Sabtu dengan pola waktu 30 menit per mata pelajaran. Jadi, pembelajaran
hanya sampai pukul 11.45.
Tertinggal Rombongan
Ini salahku. Rombongan kondangan ke pernikahan Pak Bahrudin sudah
berangkat pada pukul 12.15 dari sekolah. Namun aku harus pulang terlebih dahulu
untuk mengambil mobil. Aku juga tak bisa langsung kembali ke sekolah. Perutku
menuntut aku pergi ke toilet. Aku menurutinya. Akhirnya, aku terlambat kembali
ke sekolah. Tujuh mobil lainnya sudah berangkat. Untungnya, anggota
rombonganku, Pak Kas, Pak Harjo dan Pak Ros masih setia menungguku.
Pukul 12.40 aku start dari sekolah menuju ke Ampelgading, Pemalang,
ke rumah mba Weni, sang mempelai wanita. Walaupun sudah kuusahakan untuk ngebut
sepanjang jalan pantura, tak ada mobil rombongan sekolahku yang bisa kusalip.
Ya pastilah, aku sudah telat sekali.
Sesuai dengan petunjuk dari Pak Bahrudin, setelah jembatan
Comal, aku belok kiri.
“Alamat lengkapnya mana nih?” tanyaku kepada Pak Kas di
sampingku.
“Waduh. Undangannya nggak dibawa, ada yang bawa undangannya?”
Pak Kas bertanya balik ke Pak Ros dan Pak harjo.
“Tidak ada Pak,” jawab mereka berdua serempak.
Malheureusement alias apes. Aku hanya hafal nama desanya
yaitu Ampelgading, kecamatan Ampelgading. Bagaimana ini?
Aku tidak tahu Rt Rw-nya dan nama orang tua mempelai putrinya.
Padahal inilah yang paling penting. Akhirnya, dengan mengandalkan insting
seorang supir, aku melanjutkan perjalanan. Ampelgading adalah nama desa
sekaligus kecamatan. Artinya, desa ini adalah ibukota kecamatan. Menurut
pendapatku, sebuah ibukota kecamatan pasti dihubungkan dengan jalan utama antar
kecamatan. Maka, kesimpulanku adalah jalan menuju Ampelgading pastilah jalan yang
paling bagus.
Tanpa bertanya, aku mengikuti jalan yang paling bagus dan
mulus. Jalan jelek abaikan.
Dugaanku tepat. Setelah sekitar 15 menit, kami memasuki desa
Ampel gading. Nah, sekarang tinggal mencari rumahnya. Sekali lagi, kami tak
punya petunjuk apapun. Untuk itu, kami sepakat untuk mencari tanda-tanda
hajatan perkawinan: janur kuning. Alhamdulillah, tak jauh dari perbatasan desa,
kami sudah menemukan penjor (janur hias) di tepi jalan. Kami dekati janur
tersebut. Di tiangnya yang terbuat dari bambu terdapat selembar tulisan :
Bahrudin & Weni.
Hore. Seperti orang menang lotere, aku tertawa sambil berteriak
“Yes”.
Kuparkir mobilnya di pekarangan kosong. Kami turun. Tapi
kami belum yakin. Jangan-jangan ada Bahrudin dan Weni yang lain. Kami memasuki
pintu gerbang rumah pengantin dengan was-was. Langkah pertama, sebelum
memasukkan amplop kondangan de dalam tempat amplop, kami bertanya untuk
meyakinkan bahwa ini adalah tempat pernikahan Pak Bahrudin teman kami. Setelah
yakin, kami baru berani memasukkan amplop ke tempatnya. Tentu saja, kami tak
lupa mengisi buku tamu. Lebih yakin
lagi, kami disambut langsung oleh Pak Bahrudin yang sudah berbalut busana
pengantin. Dan kami tidak menyia-nyiakan moment ini. Kami berfoto-foto dengan
riang gembira.
Pertama
Setelah duduk, minum dan menikmati hidangan, perasaanku agak
aneh. Kemana rombongan 7 mobil yang di depanku? Mereka belum datang. Ternyata,
rombonganku datang pertama. Aneh.
Seperempat jam kemudian, mereka baru muncul.
“Kok baru datang?” tanyaku kepada mereka.
“Kesasar ke hajatan pernikahan orang,” jawab salah satu dari
mereka.
“Wah sudah kenyang dong?” kataku
“Lha untung belum masuk. Jadi amplopnya masih utuh hehe,”
jawabnya dengan wajah memelas tapi kemudian tersenyum bahagia.
Acara dimulai
Prosesi pernikahan adat Jawa ini baru dimulai pada pukul
13.30. Acara ini dibuka dengan tari gambyong. Acara sesungguhnya diawali dengan
cucuk lampah yang diiringi tembang dandanggulo oleh pranoto coro. Pengantin
wanita diapit oleh wali terlebih dahulu menuju ke pelaminan. Menunggu pengantin
pria yang datang belakangan. Acara dilanjutkan dengan lempar-lemparan daun
sirih, injak telur dan tumplek punjen yaitu menumpahkan beras kuning dari
selembar kain oleh pengantin pria dan diterima oleh pengantin wanita dengan
selembar kain pula. Kemudian, sungkeman kepada kedua orang tua pengantin pria
dan wanita diiringi tembang Asmaradana. Dilanjutkan acara srah-srahan
dari pihak pengantin pria kepada pihak pengantin wanita.
Tari Bajidor Kahot
Setelah srah-srahan, acara dilanjutkan dengan pertunjukan
tari Bajidor Kahot. Tari ini merupakan tari kreasi baru yang diciptakan
pada tahun 2000. Tari yang mempunyai unsur gerakan dari Sunda, Betawi, Jawa, Bali
dan biasanya ditarikan oleh 6-8 penari, kali ini hanya ditarikan oleh 1 orang
penari. Diiringi dengan gamelan dan tembang khas pasundan, sang penari bergerak
meliuk-liuk di panggung, lengan, bahu dan kepala secara dinamis tepat di depan
pengantin. Gerakan pinggulnya menghentak-hentak mengikuti irama kendang. Kuperhatikan
pengantin pria sama sekali tidak memperhatikan sang penari yang seksi, energik
dan anggun ini. Pak Bahrudin lebih banyak menundukkan kepala. Tidak elok
tentunya atau mungkin nggak enak hati sama istri barunya.
Sembari menyaksikan tari ini, para tamu dipersilahkan
mengambil hidangan makan secara prasmanan.
Kirab dan Pamitan
Setelah tari Bajidor Kahot ini selesai, kedua pengantin
turun panggung untuk berganti pakaian. Acara ini disebut kirab. Memanfaatkan
acara turun panggung ini, kami berpamitan kepada pengantin. Acara salam-salaman
berlangsung di rumah, tidak di panggung sebagaimana mestinya karena hari sudah
sore.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar