alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Senin, 14 November 2016

PAK BAHRUDIN JADI MANTEN

Bikin Patah Hati
“Pak Bahrudin menikah? Ya Tuhan, kenapa harus menikah?” kata salah satu siswa kemudian terdiam lama dengan mata berkaca-kaca.
“Aku tak percaya. Putus harapanku,” kata siswa yang lain

Sejak terdengar kabar bahwa Pak Bahrudin mau menikah, banyak siswa perempuan merasa patah hati, putus harapan, kecewa, speachless, terbata-bata, terhuyung-huyung, termehek-mehek, dan tak percaya. Untung tak sampai bunuh diri.

Bagaimanapun, Pak Bahrudin adalah guru muda idola para siswa. Beliau adalah salah satu guru Pendidikan Agama Islam di sekolahku. Wajahnya yang ganteng serta pembawaannya yang cool, ramah dan penuh senyum membuat semua orang terpesona. Para siswa, terutama siswa perempuan sangat megidolakannya. Tentu saja sambil berharap.

Undangan
Aku sudah menerima undangannya sejak hari Rabu. Di dalam undangan tertera acara pernikahan yang akan dilaksanakan pada hari Sabut tanggal 12 Nopember 2016. Akad nikah akan dilaksanakan pada pukul 09.00 sedangkan tasyakuran akan dilaksanakan pada pukul 13.00 s/d selesai. Semua acara dilaksanakan di rumah mempelai wanita.

Untuk menindaklanjuti undangan ini, Pak Taufiq selaku Waka Humas merencanakan acara kondangan. Perjalanan direncanakan menggunakan kendaraan yang dimiliki oleh guru dan karyawan. Ada 8 mobil yang direncanakan akan berangkat, termasuk mobilku.

Waka kurikulum juga telah mengatur jadwal pembelajaran untuk hari Sabtu dengan pola waktu 30 menit per mata pelajaran. Jadi, pembelajaran hanya sampai pukul 11.45.

Tertinggal Rombongan
Ini salahku. Rombongan kondangan ke pernikahan Pak Bahrudin sudah berangkat pada pukul 12.15 dari sekolah. Namun aku harus pulang terlebih dahulu untuk mengambil mobil. Aku juga tak bisa langsung kembali ke sekolah. Perutku menuntut aku pergi ke toilet. Aku menurutinya. Akhirnya, aku terlambat kembali ke sekolah. Tujuh mobil lainnya sudah berangkat. Untungnya, anggota rombonganku, Pak Kas, Pak Harjo dan Pak Ros masih setia menungguku.

Pukul 12.40 aku start dari sekolah menuju ke Ampelgading, Pemalang, ke rumah mba Weni, sang mempelai wanita. Walaupun sudah kuusahakan untuk ngebut sepanjang jalan pantura, tak ada mobil rombongan sekolahku yang bisa kusalip. Ya pastilah, aku sudah telat sekali.

Sesuai dengan petunjuk dari Pak Bahrudin, setelah jembatan Comal, aku belok kiri.

“Alamat lengkapnya mana nih?” tanyaku kepada Pak Kas di sampingku.
“Waduh. Undangannya nggak dibawa, ada yang bawa undangannya?” Pak Kas bertanya balik ke Pak Ros dan Pak harjo.
“Tidak ada Pak,” jawab mereka berdua serempak.

Malheureusement alias apes. Aku hanya hafal nama desanya yaitu Ampelgading, kecamatan Ampelgading. Bagaimana ini?

Aku tidak tahu Rt Rw-nya dan nama orang tua mempelai putrinya. Padahal inilah yang paling penting. Akhirnya, dengan mengandalkan insting seorang supir, aku melanjutkan perjalanan. Ampelgading adalah nama desa sekaligus kecamatan. Artinya, desa ini adalah ibukota kecamatan. Menurut pendapatku, sebuah ibukota kecamatan pasti dihubungkan dengan jalan utama antar kecamatan. Maka, kesimpulanku adalah jalan menuju Ampelgading pastilah jalan yang paling bagus.

Tanpa bertanya, aku mengikuti jalan yang paling bagus dan mulus. Jalan jelek abaikan.

Dugaanku tepat. Setelah sekitar 15 menit, kami memasuki desa Ampel gading. Nah, sekarang tinggal mencari rumahnya. Sekali lagi, kami tak punya petunjuk apapun. Untuk itu, kami sepakat untuk mencari tanda-tanda hajatan perkawinan: janur kuning. Alhamdulillah, tak jauh dari perbatasan desa, kami sudah menemukan penjor (janur hias) di tepi jalan. Kami dekati janur tersebut. Di tiangnya yang terbuat dari bambu terdapat selembar tulisan : Bahrudin & Weni.

Hore. Seperti orang menang lotere, aku tertawa sambil berteriak “Yes”.

Kuparkir mobilnya di pekarangan kosong. Kami turun. Tapi kami belum yakin. Jangan-jangan ada Bahrudin dan Weni yang lain. Kami memasuki pintu gerbang rumah pengantin dengan was-was. Langkah pertama, sebelum memasukkan amplop kondangan de dalam tempat amplop, kami bertanya untuk meyakinkan bahwa ini adalah tempat pernikahan Pak Bahrudin teman kami. Setelah yakin, kami baru berani memasukkan amplop ke tempatnya. Tentu saja, kami tak lupa mengisi buku tamu.  Lebih yakin lagi, kami disambut langsung oleh Pak Bahrudin yang sudah berbalut busana pengantin. Dan kami tidak menyia-nyiakan moment ini. Kami berfoto-foto dengan riang gembira.

Pertama
Setelah duduk, minum dan menikmati hidangan, perasaanku agak aneh. Kemana rombongan 7 mobil yang di depanku? Mereka belum datang. Ternyata, rombonganku datang pertama. Aneh.
Seperempat jam kemudian, mereka baru muncul.

“Kok baru datang?” tanyaku kepada mereka.
“Kesasar ke hajatan pernikahan orang,” jawab salah satu dari mereka.
“Wah sudah kenyang dong?” kataku
“Lha untung belum masuk. Jadi amplopnya masih utuh hehe,” jawabnya dengan wajah memelas tapi kemudian tersenyum bahagia.

Acara dimulai
Prosesi pernikahan adat Jawa ini baru dimulai pada pukul 13.30. Acara ini dibuka dengan tari gambyong. Acara sesungguhnya diawali dengan cucuk lampah yang diiringi tembang dandanggulo oleh pranoto coro. Pengantin wanita diapit oleh wali terlebih dahulu menuju ke pelaminan. Menunggu pengantin pria yang datang belakangan. Acara dilanjutkan dengan lempar-lemparan daun sirih, injak telur dan tumplek punjen yaitu menumpahkan beras kuning dari selembar kain oleh pengantin pria dan diterima oleh pengantin wanita dengan selembar kain pula. Kemudian, sungkeman kepada kedua orang tua pengantin pria dan wanita diiringi tembang Asmaradana. Dilanjutkan acara srah-srahan dari pihak pengantin pria kepada pihak pengantin wanita.

Tari Bajidor Kahot
Setelah srah-srahan, acara dilanjutkan dengan pertunjukan tari Bajidor Kahot. Tari ini merupakan tari kreasi baru yang diciptakan pada tahun 2000. Tari yang mempunyai unsur gerakan dari Sunda, Betawi, Jawa, Bali dan biasanya ditarikan oleh 6-8 penari, kali ini hanya ditarikan oleh 1 orang penari. Diiringi dengan gamelan dan tembang khas pasundan, sang penari bergerak meliuk-liuk di panggung, lengan, bahu dan kepala secara dinamis tepat di depan pengantin. Gerakan pinggulnya menghentak-hentak mengikuti irama kendang. Kuperhatikan pengantin pria sama sekali tidak memperhatikan sang penari yang seksi, energik dan anggun ini. Pak Bahrudin lebih banyak menundukkan kepala. Tidak elok tentunya atau mungkin nggak enak hati sama istri barunya.

Sembari menyaksikan tari ini, para tamu dipersilahkan mengambil hidangan makan secara prasmanan.

Kirab dan Pamitan
Setelah tari Bajidor Kahot ini selesai, kedua pengantin turun panggung untuk berganti pakaian. Acara ini disebut kirab. Memanfaatkan acara turun panggung ini, kami berpamitan kepada pengantin. Acara salam-salaman berlangsung di rumah, tidak di panggung sebagaimana mestinya karena hari sudah sore.


Selamat menjalankan hidup baru Pak Bahrudin dan Mba Weni. Semoga menjadi keluarga Sakinah, Mawadah dan Rohmah. Barokalohu lakuma wa baroka ‘alaikuma. Wa jama'a bainakuma fii khoir.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar