Dalam amanat di upacara bendera pada hari Senin kemarin, Bapak Kepala Sekolah mengharapkan ada yel-yel (pekikan atau sorakan penyemangat) khusus untuk sekolah kami. Beliau mencontohkannya dengan yel-yel yang pernah ada di sekolah lama beliau. Dengan semangat beliau berteriak: “Smanggal” kemudian beliau menjelaskan bahwa para siswa harus menjawab dengan kata “Hidup”, “Semangat”, atau “Yes”.
Akan tetapi contoh yang disampaikan oleh Bapak Kepala Sekolah mendapat sambutan serempak dari para siswa: “Huuuuuuu....”
Nampaknya Bapak Kepala Sekolah menyadari kekeliruannya, kemudian beliau berteriak “Smundu” sebagaimana para siswa menyebut sekolahnya.
Mugkin terlanjur tersinggung dengan ucapan “Smanggal”, para siswa mengacuhkan teriakan Kepala Sekolah.
Ternyata benar dugaanku. Ketika aku masuk kelas untuk mengajar. Belum sempat memulai pelajaran di kelas, para siswa protes kepadaku tentang ucapan “Smanggal” tersebut.
“Kenapa sih Bapak Kepala Sekolah kita selalu menyebut sekolahnya yang lama? Sedikit-sedikit sekolah itu, sedikit-sedikit sekolah itu. Ini kan Smundu, ngapain bawa-bawa Smanggal?” protes salah seorang siswa.
“Ya beliau kan di sana selama 8 tahun. Di sini baru 6 bulan. Tentunya beliau masih teringat dengan sekolah lamanya. Dan yel-yel itu kan contoh. Hanya contoh. Kalau contoh itu baik, kan bisa ditiru,” jelasku.
“Kalau mau mencontohkan, langsung saja bilang “Smundu”, jangan bawa-bawa “Smanggal”, tambahnya
“Tak apa-apa sih. Wong hanya sekedar menyebut,” jawabku kemudian
“Tidak bisa Pak. Ini “Smundu”. Kalau masih menyebut-nyebut “Smanggal”, pindah lagi saja ke sana,”
Aku terdiam seribu bahasa. Tak ada yang bisa kubela dan kupertahankan lagi.
Mudah-mudahan Bapak Kepala Sekolah segera menyadari kalimat-kalimat yang beliau sampaikan.
Selasa, 30 Agustus 2016
Kamis, 25 Agustus 2016
JALAN SANTAI
Dalam rangka memperingati HUT RI ke-71, pada tanggal 16 Agustus 2016 sekolahku mengadakan
jalan sehat bersama. Kegiatan dimulai pukul 06.30 dengan sebelumnya diadakan apel di lapangan. Apel
ini diikuti oleh seluruh siswa, guru dan karyawan yang telah memakai seragam olahraga dan dipimpin oleh Waka Kesiswaan.
Pada pukul 07.00 tepat, kami mulai berjalan. Jangan
bayangkan kami akan melewati jalanan mulus dengan gedung-gedung bertingkan di
kanan kirinya. Hanya 100 meter awal yaitu dari pintu gerbang sekolah menuju ke arah selatan, kami masih melewati jalan beraspal. Selebihnya kami melewati jalan setapak memasuki kebun singkong. Sekolah kami memang
dilingkupi hutan sengon dan perkebunan singkong. Seperti para petualang, kami melewati jalan tanah selebar 2 meter yang masih basah sisa hujan
tadi malam. Sejauh mata memandang, hanya terlihat kebun singkong diselingi
tanaman sengon dan tanaman perdu lainnya. Sambil ngobrol dan nyanyi-nyanyi kecil sepanjang
jalan, kami menikmati segarnya udara pagi dan hijaunya hamparan tanaman singkong setinggi 3 meter-an yang
nampaknya sebentar lagi akan dipanen. Setelah terjebak di lorong labirin kebun singkong selama kurang lebih 1 jam, akhirnya kami muncul di jalanan beraspal kembali menuju ke
sekolah.
Jalan aspal yang awalnya berwarna hitam legam tiba-tiba
berubah menjadi coklat kekuningan. Semua orang mengesek-gesekkan kakinya ke
aspal untuk membersihkan sepatunya dari tanah yang menempel. Bahkan, sisa tanah
di sepatu masih terbawa sampai sekolah. Akibatnya, lantai lobi, lorong, dan
ruang kelas terlihat kotor dan membuat wajah Mba Poso dan Mba Kasiyem sontak terlipat-lipat.
PILIHAN SULIT
Kata pepatah, "pejabat baru aturan
baru". Itu berlaku dari tingkat RT sampai tingkat nasional di Indonesia. Maka jangan heran
ada kebisaan baru di sekolahku setelah kepala sekolahku baru. Setiap pukul
06.55, sebelum masuk kelas, kepala sekolah memimpin doa bersama dan melakukan koordinasi pagi di ruang guru.
Dengan kebiasaan ini, para guru dituntut
datang 5 menit lebih awal dari waktu kehadiran siswa yaitu pukul 07.00. Padahal
menurut peraturan Bupati Nomor 52 Tahun 2015 tentang Pendidikan Karakter pada
Satuan Pendidikan di Kabupaten Batang pada tanggal 7 September 2015,guru seharusnya
datang 15 menit lebih awal. Tapi karena selama ini, kedatangan guru masih berprinsip "yang penting tidak terlambat masuk kelas" maka kedatangan 5 menit lebih awal menjadi beban tersendiri. Dan walaupun ini masih jauh dari peraturan bupati, setidaknya sudah mulai ada perubahan prinsip yaitu "yang penting masih
lebih awal daripada siswa".
Akan tetapi, permasalahan yang
kemudian muncul adalah doa bersama dan koordinasi di ruang guru seringkali
melebih waktu yang ditentukan, bisa berlangsung selama 15 menit. Tentu saja,
guru seringkali terlambat masuk kelas. Beruntung bagi guru yang “kebetulan” kelasnya
sudah mandiri melaksanakan kegiatan pagi (membaca asmaul husna dan menyanyikan
lagu Indonesia Raya) tanpa didampingi guru. Nah, untuk kelas yang belum
mandiri, mereka belum akan melaksanakan kegiatan pagi tanpa didampingi guru.
Konsekuensinya, jam pelajaran terpotong untuk kegiatan pagi.
Untuk keluar dari masalah ini, ada beberapa
pilihan solusi: (1) guru datang 15 menit lebih awal sesuai aturan bupati, (2) meniadakan koordinasi
pagi, (3) mengkoordinasi semua kelas untuk melakukan kegiatan pagi tanpa
didampingi guru. Menuntut guru datang 15 menit lebih awal sesuai dengan
peraturan bupati adalah sangat baik. Tapi ini artinya harus merubah adat dan kebiasaan
guru di sekolahku yang datangnya mepet. Susah lho merubah budaya. Butuh waktu
yang tidak pendek dan butuh waktu untuk mengingatkan secara terus-menerus.
Ataukah memilih opsi kedua yaitu menghapus kegiatan koordinasi pagi. Padahal
koordinasi pagi juga sangat baik untuk sekadar memberikan informasi tentang
berbagai hal. Pilihan ketiga mungkin lebih logis dan lebih meringankan guru yaitu mengkoordinasi semua kelas untuk melakukan kegiatan pagi tanpa didampingi guru.
Akan tetapi siswa juga memerlukan sosok guru dengan kehadiranya
untuk bersama-sama melaksanakan kegiatan pagi. Sekali dua kali, siswa atau kelas mungkin
masih bisa dikoordinasikan secara disiplin. Tapi coba saja dalam waktu 1 semester.
Apakah mereka bisa tetap bertahan?
Monggo dipilih. Memilihnya gampang,
melaksanakannya sulit. Selamat memilih.
Rabu, 24 Agustus 2016
DILARANG BERMAIN POKEMON GO
Pokemon
go memang membuat heboh. Tak hanya di Indonesia, bahkan di seluruh dunia, game berbasis
GPS ini sedang mewabah. Berbagai efek baik yang posisif maupun negatif
menjadi perdebatan para pakar pendidikan, sosiologi, anak dan teknologi
informatika.
Berbagai
kejadian akibat permainan ini menjadi berita hangat di berbagai media. Tentu
saja, efek negatif lebih menjadi santapan lezat. Ada yang ditembak karena
memasuki pekarangan orang, ada menerobos keamanan, ada yang tertabrak mobil, motor atau becak. Tak
mengherankan, ibu-ibu yang punya anak kecil dan remaja sangat khawatir. Padahal
yang bermain Pokemon Go adalah suaminya.
Para
pejabat pemerintah juga ikut heboh menanggapi perkembangan game ini. Pihak
istana merdeka di Ibukota memasang larangan bagi pemain game ini untuk tidak
memasuki area istana.
Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi
melarang seluruh Pegawai Negeri Sipil untuk bermain Pokemon Go. Larangan itu tertuang dalam edaran bernomor
B/2555/M.PANRB/07/2016 yang diteken pada 20 Juli lalu. Ada dua alasan soal
larangan ini: selain karena "berbahaya bagi keamanan pemerintah",
alasan lain adalah demi menjaga produktivitas dan disiplin pegawai.
Kapolri
Jenderal Polisi Tito Karnavian mengeluarkan surat perintah larangan bermain gim
Pokemon Go bagi anggota Polri yang sedang bertugas. Hal tersebut karena
dikhawatirkan mengganggu kinerja anggota Polri dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Dalam Surat Telegram Nomor STR/533/VII/2016
tertanggal 19 Juli 2016 disebutkan adanya dampak negatif terkait maraknya gim
Pokemon Go, di antaranya berkurangnya kewaspadaan saat bermain Pokemon Go
karena pemain harus berkonsentrasi menatap layar ponsel sehingga sulit
berkonsentrasi ketika sedang bekerja.
Tak
ketinggalan Bupati Batang. Surat edaran bupati nomor 420/SE/1063/2016
tertanggal 20 Jul 2016 tentang Larangan bermain aplikasi Pokemon Go bagi
Siswa-Siswi di Kabupaten Batang. Dengan alasan mengganggu konsentrasi dan
mengganggu pemanfaatan ruang publik, maka Bupati Batang melarang siswa-siswi di
Kabupaten Batang untuk bermain aplikasi Pokemon Go dan dihimbau untuk memilih
aplikasi permainan yang lebih aman, lebih bermanfaat, dan lebih bernilai
edukatif. Bapak Bupati juga menghimbau kepada kepala UPTD, kepala SMP, SMA dan
tenaga kependidikan serta orag tua agar dapat memberi penjelasan, bimbingan,
arahan dan pendampingan agar anak dapt memilih dan memperoleh permainan yang
jauh lebih aman dan lebih bermanfaat bagi pendidikan anak.
Larangan
ini tentu saja menutup kesempatanku untuk menikmati asyiknya mencari PokeBall,
mendeteksi Pokestop, menemukan Pokemon tipe Grass, Fighting, dan Bug,
mencari Eggs dan Razz Berry. Padahal sejak pertama kali mendengar
hebohnya game ini, aku pingin sekali mencoba setelah bertahun-tahun hanya tahu Solitaire
dan Zuma.
Kira-kira
kapan larangan ini dicabut ya?
Selasa, 23 Agustus 2016
PESANAN PUISI
Pagi-pagi kemarin, Bu Arie tergopoh-gopoh mencariku.
"Pak, tolong buatkan puisi perjuangan untuk lomba siswa"
"Lha kok saya? Kan ada guru Bahasa Indonesia." tanyaku
"Aku tuh kalau sudah percaya sama orang ya sudah. Ayolah Pak... bisa ya, please!"
"Buat kapan Bu?" tanyaku
"Besok pagi harus jadi"
"Walah... mendadak amat," kataku
"Iya.. bisa ya Pak," desaknya.
"Aku tak janji bu. Kalau mood saya nggak keluar, jangan salahkan saya."
Pagi ini, aku baru ingat ada pesanan puisi. Puisinya sama sekali belum jadi. Tapi Bu Arie pun belum menagih padahal sejak tadi beliau lalu lalang di depanku.
Hehe...sama-sama lupa.
Tapi aku konsekuen untuk membuatkan puisi sederhana. Inilah puisinya
AKU BERJANJI
"Pak, tolong buatkan puisi perjuangan untuk lomba siswa"
"Lha kok saya? Kan ada guru Bahasa Indonesia." tanyaku
"Aku tuh kalau sudah percaya sama orang ya sudah. Ayolah Pak... bisa ya, please!"
"Buat kapan Bu?" tanyaku
"Besok pagi harus jadi"
"Walah... mendadak amat," kataku
"Iya.. bisa ya Pak," desaknya.
"Aku tak janji bu. Kalau mood saya nggak keluar, jangan salahkan saya."
Pagi ini, aku baru ingat ada pesanan puisi. Puisinya sama sekali belum jadi. Tapi Bu Arie pun belum menagih padahal sejak tadi beliau lalu lalang di depanku.
Hehe...sama-sama lupa.
Tapi aku konsekuen untuk membuatkan puisi sederhana. Inilah puisinya
AKU BERJANJI
Kawan… aku berjanji kepadamu
Untuk berbakti kepada negeri ini
Untuk mengabdi kepada negeri ini
Kau pegang saja janjiku kawan
Aku takan mengingkari
Walau sampai mati
Walau sampai nafasku terhenti
Aku berjanji
Kan kukibarkan merah putihku
Kan kupertahankan garudaku
Untuk negeri ini jiwaku kuserahkan
Kan kupertahankan garudaku
Untuk negeri ini jiwaku kuserahkan
Untuk negeri ini ragaku kupasrahkan
Kawan… aku berjanjiTAMU DAN BURUANNYA
“Assalamu’alaikum,” kalimatku kutata rapi, pelan dan mantap di depan pintu
rumahku sendiri.
Aku sengaja melakukan itu karena kulihat ada sedan Honda
Civic berwarna biru terparkir di halaman dan ada 2 pasang sandal asing di depan
pintu. Dugaanku benar, ada 2 orang tamu di rumahku: seorang laki-laki berumur
sekitar 55 tahun dan seorang perempuan berumur sekitar 50 tahun.
Istriku dan para tamu tersebut menjawab serempak “Wa’alaikum salam” dan
segera kusalami para tamu tersebut.
“Baru jalan-jalan ya Pak?” sapa sang tamu laki-laki.
“Ini baru menuruti kemauan anak,” jawabku.
Tanpa basa-basi aku ikut bergabung menemani istriku menemui
tamu tersebut sementara anakku bergegas menenteng 2 bungkus bakso ke
belakang.
“Bapak dinas di SMA 2?” tanya sang tamu perempuan.
“Iya bu,” jawabku
“Bareng De’ Us ya?” sambungnya
Aku berpikir sejenak, siapa yang dimaksud dengan De’ Us .
Untung otakku tak lemot-lemot amat untuk sekedar menghubungkan kata “De’ Us”
dengan daftar nama guru di sekolahku.
“Hm.. iya Bu, bareng Bu Uswatun,kok Ibu kenal?
“Iya, kami bertetangga di perumahan. Saya juga sering ke SMA
2 lho”
Aku tertegun sejenak. Sering ke SMA 2? Aku mencoba
menerka-nerka siapakah orang di hadapanku ini. Kutatap wajahnya sekali lagi. Ku ulang memoriku.
Sama sekali tak berhasil. Aku tak bisa mengingatnya.
“Kalau boleh tahu dalam rangka apa ya bu atau dalam kegiatan
apa?” tanyaku penasaran.
“Evaluasi diri,” jawab beliau mantap.
Masya Alloh. Mendengar kata evaluasi diri, hatiku berdesir.
Psikisku tiba-tiba drop. Aku teringat evaluasi diri semester kemarin. Tapi aku
berusaha mengendalikan diri. Olah data di otakku berusaha keras untuk
menghubung-hubungan: Bu Uswatun, tetangga, evaluasi diri, pengawas. Ketemu.
“Jadi, di hadapan saya ini Bu Tri?” tanyaku. Aku teringat
cerita Bu Uswatun bahwa salah satu pengawas yang menilai evauasi diri adalah Bu
Tri, tetangganya.
“Iya benar. Pangling ya Pak?” kata beliau
Sesaat jantungku berdegup kencang. Ternyata dunia terlalu sempit.
Tanpa diduga, setelah sekian lama dunia tenang, dunia kembali terasa berguncang.
Aku bahkan telah tenteram dengan kehidupanku setelah berhasil melarikan diri dari
kegiatan evaluasi diri. Aku menyangka para pemburuku telah melupakan buruannya.
Ternyata mereka masih berkeliaran. Dan malam ini, mereka berhasil menemukan
buruannya. Sang kucing telah menemukan si tikus. Aku bertekuk lutut. Tak ada
kata-kata lagi yang bisa keluar dari mulutku. Istriku yang tahu kondisiku hanya
senyam-senyum. Aku tak paham makna senyumannya. Senyum bahagiakah melihat
suaminya sedang tersudut dan ketakutan?
Walau bagaimanapun, aku tetap berusaha menjawab pertanyaan
Bu Tri.
“Iya Bu, pangling dan tak menyangka Ibu rawuh ke
rumah saya,” jawabku agak tergagap.
“Maaf ini Pak, malam-malam mengganggu. Saya sama suami ke
sini ingin bertemu ibu, mau menanyakan kondisi cucu kami di sekolah. Tadi ibu
sudah cerita banyak. Mudah-mudahan cucu saya bisa lebih baik di sekolah. Minta
bimbingannya ya Bu,” kata Bu Tri sambil menepuk-nepuk pundak istriku.
Plong. Otakku kembali normal. Pelan-pelan, detak jantungku
kembali teratur. Ternyata Bu Tri bersama suaminya hanya berkepentingan dengan
istriku, ingin menanyakan kondisi cucunya yang kebetulan menjadi murid istriku
di TK.
Bukan untuk memburu buruannya yang kabur.
ANAKKU JADI BINTANG IKLAN
Baru saja aku tiba di Kelas, para siswa sudah riuh rendah saling
berebut untuk bicara.
“Pak, anak Bapak pinter ya Pak. Juara satu se-Kabupaten,”
kata salah satu siswa di sebelah kiri
“Anak Bapak cantik ya Pak,” kata siswa yang lain.
Aku tak mengerti dengan pembicaraan mereka.
“Hai... kalian tahu dari mana anak saya juara satu dan
cantik?” tanyaku penasaran.
“Tadi fotonya ditayangkan pakai LCD Pak,” jawab Leli
“Siapa yang menayangkan?” tanyaku lebih lanjut.
“GO Pak,” katanya lebih lanjut.
“Oh... GO. Iya anak saya les di GO. Kebetulan nilai Ujiannya
tertinggi se-kabupaten. Jadi, dijadikan bintang iklan,” jelasku.
Dua jam sebelum aku masuk di kelas ini, ada tes kemampuan
belajar yang diselenggarakan oleh salah satu lembaga bimbingan belajar dan
tentu saja sekalian berpromosi. Mungkin karena kebetulan anakku memperoleh
nilai ujian tertinggi tingkat SD se-kabupaten, maka menjadi sarana paling efektif
untuk promosi.
“Cantik ya Pak,” celetuk salah satu siswa laki-laki
“Kalau itu gen dari ayahnya,” jawabku
“Huuuuu,” protes mereka serempak.
“Dapat honor dong Pak?” tanya yang lain
“Bukan honor tapi hadiah 1.250.000 rupiah,” jawabku
“Wah hebat ya,” gumam yang lain
“Apa sih resepnya jadi pintar Pak?” tanya yang lain.
“Ya belajar lah,” jawabku singkat
Cukup. Pelajaranpun segera kumulai.
Langganan:
Postingan (Atom)