“Assalamu’alaikum,” kalimatku kutata rapi, pelan dan mantap di depan pintu
rumahku sendiri.
Aku sengaja melakukan itu karena kulihat ada sedan Honda
Civic berwarna biru terparkir di halaman dan ada 2 pasang sandal asing di depan
pintu. Dugaanku benar, ada 2 orang tamu di rumahku: seorang laki-laki berumur
sekitar 55 tahun dan seorang perempuan berumur sekitar 50 tahun.
Istriku dan para tamu tersebut menjawab serempak “Wa’alaikum salam” dan
segera kusalami para tamu tersebut.
“Baru jalan-jalan ya Pak?” sapa sang tamu laki-laki.
“Ini baru menuruti kemauan anak,” jawabku.
Tanpa basa-basi aku ikut bergabung menemani istriku menemui
tamu tersebut sementara anakku bergegas menenteng 2 bungkus bakso ke
belakang.
“Bapak dinas di SMA 2?” tanya sang tamu perempuan.
“Iya bu,” jawabku
“Bareng De’ Us ya?” sambungnya
Aku berpikir sejenak, siapa yang dimaksud dengan De’ Us .
Untung otakku tak lemot-lemot amat untuk sekedar menghubungkan kata “De’ Us”
dengan daftar nama guru di sekolahku.
“Hm.. iya Bu, bareng Bu Uswatun,kok Ibu kenal?
“Iya, kami bertetangga di perumahan. Saya juga sering ke SMA
2 lho”
Aku tertegun sejenak. Sering ke SMA 2? Aku mencoba
menerka-nerka siapakah orang di hadapanku ini. Kutatap wajahnya sekali lagi. Ku ulang memoriku.
Sama sekali tak berhasil. Aku tak bisa mengingatnya.
“Kalau boleh tahu dalam rangka apa ya bu atau dalam kegiatan
apa?” tanyaku penasaran.
“Evaluasi diri,” jawab beliau mantap.
Masya Alloh. Mendengar kata evaluasi diri, hatiku berdesir.
Psikisku tiba-tiba drop. Aku teringat evaluasi diri semester kemarin. Tapi aku
berusaha mengendalikan diri. Olah data di otakku berusaha keras untuk
menghubung-hubungan: Bu Uswatun, tetangga, evaluasi diri, pengawas. Ketemu.
“Jadi, di hadapan saya ini Bu Tri?” tanyaku. Aku teringat
cerita Bu Uswatun bahwa salah satu pengawas yang menilai evauasi diri adalah Bu
Tri, tetangganya.
“Iya benar. Pangling ya Pak?” kata beliau
Sesaat jantungku berdegup kencang. Ternyata dunia terlalu sempit.
Tanpa diduga, setelah sekian lama dunia tenang, dunia kembali terasa berguncang.
Aku bahkan telah tenteram dengan kehidupanku setelah berhasil melarikan diri dari
kegiatan evaluasi diri. Aku menyangka para pemburuku telah melupakan buruannya.
Ternyata mereka masih berkeliaran. Dan malam ini, mereka berhasil menemukan
buruannya. Sang kucing telah menemukan si tikus. Aku bertekuk lutut. Tak ada
kata-kata lagi yang bisa keluar dari mulutku. Istriku yang tahu kondisiku hanya
senyam-senyum. Aku tak paham makna senyumannya. Senyum bahagiakah melihat
suaminya sedang tersudut dan ketakutan?
Walau bagaimanapun, aku tetap berusaha menjawab pertanyaan
Bu Tri.
“Iya Bu, pangling dan tak menyangka Ibu rawuh ke
rumah saya,” jawabku agak tergagap.
“Maaf ini Pak, malam-malam mengganggu. Saya sama suami ke
sini ingin bertemu ibu, mau menanyakan kondisi cucu kami di sekolah. Tadi ibu
sudah cerita banyak. Mudah-mudahan cucu saya bisa lebih baik di sekolah. Minta
bimbingannya ya Bu,” kata Bu Tri sambil menepuk-nepuk pundak istriku.
Plong. Otakku kembali normal. Pelan-pelan, detak jantungku
kembali teratur. Ternyata Bu Tri bersama suaminya hanya berkepentingan dengan
istriku, ingin menanyakan kondisi cucunya yang kebetulan menjadi murid istriku
di TK.
Bukan untuk memburu buruannya yang kabur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar