Dalam amanat di upacara bendera pada hari Senin kemarin, Bapak Kepala Sekolah mengharapkan ada yel-yel (pekikan atau sorakan penyemangat) khusus untuk sekolah kami. Beliau mencontohkannya dengan yel-yel yang pernah ada di sekolah lama beliau. Dengan semangat beliau berteriak: “Smanggal” kemudian beliau menjelaskan bahwa para siswa harus menjawab dengan kata “Hidup”, “Semangat”, atau “Yes”.
Akan tetapi contoh yang disampaikan oleh Bapak Kepala Sekolah mendapat sambutan serempak dari para siswa: “Huuuuuuu....”
Nampaknya Bapak Kepala Sekolah menyadari kekeliruannya, kemudian beliau berteriak “Smundu” sebagaimana para siswa menyebut sekolahnya.
Mugkin terlanjur tersinggung dengan ucapan “Smanggal”, para siswa mengacuhkan teriakan Kepala Sekolah.
Ternyata benar dugaanku. Ketika aku masuk kelas untuk mengajar. Belum sempat memulai pelajaran di kelas, para siswa protes kepadaku tentang ucapan “Smanggal” tersebut.
“Kenapa sih Bapak Kepala Sekolah kita selalu menyebut sekolahnya yang lama? Sedikit-sedikit sekolah itu, sedikit-sedikit sekolah itu. Ini kan Smundu, ngapain bawa-bawa Smanggal?” protes salah seorang siswa.
“Ya beliau kan di sana selama 8 tahun. Di sini baru 6 bulan. Tentunya beliau masih teringat dengan sekolah lamanya. Dan yel-yel itu kan contoh. Hanya contoh. Kalau contoh itu baik, kan bisa ditiru,” jelasku.
“Kalau mau mencontohkan, langsung saja bilang “Smundu”, jangan bawa-bawa “Smanggal”, tambahnya
“Tak apa-apa sih. Wong hanya sekedar menyebut,” jawabku kemudian
“Tidak bisa Pak. Ini “Smundu”. Kalau masih menyebut-nyebut “Smanggal”, pindah lagi saja ke sana,”
Aku terdiam seribu bahasa. Tak ada yang bisa kubela dan kupertahankan lagi.
Mudah-mudahan Bapak Kepala Sekolah segera menyadari kalimat-kalimat yang beliau sampaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar