Film Prenjak (In The Year of Monkey) yang menjadi
satu-satunya film karya anak bangsa Indonesia di Cannes Film Festival, Prancis
tahun 2016 ini mengingatkanku pada Yogyakarta, kota tempat aku kuliah pada
tahun 90-an. Film pendek berdurasi 12 menit karya Sutradara Wregas Bhatuneja
mengangkat kejadian unik dan menggelitik tentang “menonton kehormatan
perempuan”. Kejadian tersebut sebenarnya adalah sebuah kebiasaan yang sudah
terjadi sejak dulu. Setahuku, kebiasaan ini hanya terjadi di wilayah lokalisasi
seperti Pasar Kembang alias Sarkem dan Sanggrahan (sudah lama tutup) dilakukan
oleh para penjaja kehormatan ketika pengunjung sepi walaupun menurut
sang Sutradara, film ini terinspirasi oleh penjual ronde di alun-alun yang juga
“membuka lapak”.
Pada tahun 90-an, dengan membayar Rp. 100,-, seorang anak di
bawah umur dapat melihat kehormatan perempuan dengan cara menyalakan
sebatang korek api sampai api di batang korek api itu padam. Berbagai cara dilakukan
oleh “penonton kecil tersebut” agar durasi nyala korek semakin panjang. Kalaupun
di dalam “Prenjak”, satu batang korek api dihargai Rp. 10.000,-, mungkin karena
kurs rupiah sekarang adalah Rp. 14.000,- per US dollar. Sementara pada tahun
90-an kurs rupiah adalah Rp.3.000,- per US dollar. Mengapa anak kecil? Secara etika,
wilayah anak bau kencur adalah hanya secara visual dan verbal, tidak boleh
menyentuh apalagi menjelajah. Oleh karena
itu, wilayah kehormatan perempuan tersebut menjadi wilayah teritorial yang steril dari segala macam okupasi secara
fisik oleh anak kecil.
Meskipun pelaku di film ini digambarkan dengan orang dewasa,
tapi tak mengurangi keunikan dan ke-menggelitik-an kisah yang diangkat sehingga
pantas film ini masuk dalam kategori Semaine de la Critique.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar