alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Rabu, 18 Mei 2016

PRENJAK

Film Prenjak (In The Year of Monkey) yang menjadi satu-satunya film karya anak bangsa Indonesia di Cannes Film Festival, Prancis tahun 2016 ini mengingatkanku pada Yogyakarta, kota tempat aku kuliah pada tahun 90-an. Film pendek berdurasi 12 menit karya Sutradara Wregas Bhatuneja mengangkat kejadian unik dan menggelitik tentang “menonton kehormatan perempuan”. Kejadian tersebut sebenarnya adalah sebuah kebiasaan yang sudah terjadi sejak dulu. Setahuku, kebiasaan ini hanya terjadi di wilayah lokalisasi seperti Pasar Kembang alias Sarkem dan Sanggrahan (sudah lama tutup) dilakukan oleh para penjaja kehormatan ketika pengunjung sepi walaupun menurut sang Sutradara, film ini terinspirasi oleh penjual ronde di alun-alun yang juga “membuka lapak”.

Pada tahun 90-an, dengan membayar Rp. 100,-, seorang anak di bawah umur dapat melihat kehormatan perempuan dengan cara menyalakan sebatang korek api sampai api di batang korek api itu padam. Berbagai cara dilakukan oleh “penonton kecil tersebut” agar durasi nyala korek semakin panjang. Kalaupun di dalam “Prenjak”, satu batang korek api dihargai Rp. 10.000,-, mungkin karena kurs rupiah sekarang adalah Rp. 14.000,- per US dollar. Sementara pada tahun 90-an kurs rupiah adalah Rp.3.000,- per US dollar. Mengapa anak kecil? Secara etika, wilayah anak bau kencur adalah hanya secara visual dan verbal, tidak boleh menyentuh apalagi  menjelajah. Oleh karena itu, wilayah kehormatan perempuan tersebut menjadi wilayah teritorial  yang steril dari segala macam okupasi secara fisik oleh anak kecil.

Meskipun pelaku di film ini digambarkan dengan orang dewasa, tapi tak mengurangi keunikan dan ke-menggelitik-an kisah yang diangkat sehingga pantas film ini masuk dalam kategori Semaine de la Critique.

Bravo.


trailer film prenjak bisa dilihat di : https://www.youtube.com/watch?v=cWyZYPVGsFE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar