Seminggu menjelang Ramadlan, aroma udara yang berubah, aroma puasa. Tak bisa digambarkan tapi terasa dengan jelas. Alam selalu memberitahu bahwa ramadlan akan segera tiba. Matahari bersinar sendu dan tak begitu menyengat. Sore hari terasa hangat, udara terasa sedikit kering tapi nyaman walaupun musim hujan baru saja berlalu. Suasana terasa syahdu.
Semua orang bergembira menyambut datangnya bulan Ramadlan. Semua orang bersiap-siap untuk menyambut bulan ini. Sri meluangkan waktu untuk membersihkan rumah dan halaman secara khusus, mengelap kaca jendela dan pintu, membersihkan sawang (rumah laba-laba) yang menggelantung di bawah usuk dengan sapu ijuk bertangkai panjang dan menyapu lantai semen yang di sana-sini sudah banyak yang berlubang, memotong teh-tehan dan membersihkan rumput di depan rumah. Mak Munhiyah mencuci mukena, sajadah dan sarung, membersihkan semak, rumput, memotong daun-daun pisang kering yang menjuntai dan menjadi sarang codot, menyapu sampah di kebun, dan membakarnya.
Pak Rijal menebang beberapa bambu berukuran kecil di kebun belakang rumah.
"Mau bikin lampu sentir ya Pak?" tanya Sri.
"Iya. Kan sudah adatnya bikin lampu sentir dari bambu setiap bulan puasa," jawab Pak Rijal.
"Bikin berapa Pak?" tanya Sri.
"Untuk depan rumah kanan kiri, dua lampu dengan satu sumbu. Untuk jalanan setapak di belakang rumah, bikin tiga lampu masing-masing tiga sumbu. Untuk dekat sumur bagian luar, satu lampu dengan satu sumbu. Nanti tugasmu setiap sore menyalakan lampunya dan mengecek minyak tanahnya,"
"Iya Pak," jawab Sri.
Dengan cekatan, Pak Rijal memotong bambu berukuran 1,5 meter sebagai tiangnya yang bagian bawahnya dibuat runcing untuk ditancapkan ke tanah. Untuk lampu sentir bersumbu satu, tiang berfungsi sekaligus sebagai lampu. Ada ruas tempat minyak di atasnya. Jadi ruas bambu bagian atas disisakan sepanjang kurang lebih 20 centimeter sebagai tempat minyak tanah.
Sedangkan untuk lampu sentir yang bersumbu tiga, Pak Rijal memotong satu ruas bambu tersendiri yang ujung kanan kirinya rapat. Kemudian dibuat tiga buah lubang sebagai tempat sumbu. Ruas ini dipasang secara hotisontal dengan sebuah tiang di bawahnya.
Untuk tempat sumbunya, Pak Rijal memanfaatkan kaleng bekas. Kaleng tersebut dipotong jadi sebuah lembaran. Dari lembaran ini, dibuat lingkaran berdiameter kurang lebih 4 centimeter dan ditengahnya dilubangi kurang lebih 5 milimeter sebagai tempat tatakan sumbu. Batang pegangan sumbu ini juga dibuat dari lembaran kaleng bekas. Kaleng dipotong persegi empat dengan ukuran 3 cm x 3 cm. Kemudian digulung membentuk tabung dengan diameter kurang lebih 5 milimeter dan tinggi tabung 3 centimeter. Ujung batang pegangan sumbu ini dimasukkan ke tatakan dan dikencangkan. Untuk sumbunya, Pak Rijal memanfaatkan kain bekas daster Mak Munhiyah.
Sumbu, dan bambu dirangkai menjadi lampu sentir dan ditancapkan di tempatnya masing-masing. Sri menuangkan minyak tanah yang dibelinya di warung Pak Budi ke masing-masing lampu.
Lampu sentir siap dinyalakan di setiap malam bulan Ramadhan. Dengan lampu-lampu sentir yang dibuat oleh semua warga, orang tidak takut lagi pergi ke langgar atau masjid untuk "bandungan", membaca Al-Qur'an bersama sampai larut malam.
Setiap pagi, Sri tidak perlu mematikan lampu-lampu sentir ini satu per satu karena ketika hari sudah siang, siapapun yang lewat akan meniup dan mematikan lampu sentir yang masih menyala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar