Sore itu, langit terlihat cerah. Hujan bulan Februari yang beberapa hari lalu turun tiada henti, sore ini sedikit mengalah kepada anak-anak yang ingin bermain petak umpet bersama.
Ada delapan anak yang terlibat dalam permainan ini. Satu orang yang kalah dalam "hom pim pah" akan menjadi penjaga titik sakral yang tidak boleh tersentuh oleh tujuh orang lainnya.
Tugas pertama adalah menutup mata beberapa saat sambil menelungkup dan berhitung sampai teman-temannya bersembunyi.
"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh. Sudah belum?" teriak Ken masih dengan posisi menelungkup dan menutup mata.
"Belum," teriak Azril dari arah selatan.
Ken kembali berhitung satu sampai sepuluh.
"Sudah belum?" teriak Ken lagi.
"Belum," jawab Kan dari arah utara.
Ken kembali berhitung satu sampai sepuluh.
"Sudah belum?" teriak Ken lagi.
"Belum," jawab Osa dari arah lain.
Ken kembali berhitung. Kali ini tidak lagi satu sampai sepuluh.
"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas....... tiga puluh, tiga puluh satu,......"
Suara Ken terdengar serak.
"Sudah belum?"
Tak ada jawaban dan suasana telah sepi. Artinya mereka sudah benar-benar bersembunyi. Kini, giliran Ken mencari dimana mereka bersembunyi. Tentu saja tetap waspada agar titik sakral tempat dia berhitung tadi tidak tersentuh oleh siapapun. Atau dia akan menjadi penjaga lagi.
Tak ada batas waktu kapan selesainya. Hanya teriakan ibu masing-masing anak yang bisa membubarkan permainan ini.
"Ken. Sudah sore, pulang, mandi,"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar