"Mau ikut ngga?" tanya eyangku, Eyang Iyah
"Ke mana Eyang?" tanyaku.
"Ke Purbalingga, ke rumahnya Eyang Cina," jawabnya.
"Ikut," jawabku tanpa basa-basi.
Aku sangat senang diajak ke rumah Eyang Cina. Begitulah aku menyebutnya karena beliau seumuran dengan eyangku dan Cina. Menurut eyangku, nama sesungguhnya tertulis Tjien, diucapkan Cin, nama dengan satu kata yang sama sekali tak biasa dan tak enak didengar. Maka, seenak selera lidahku, aku memanggilnya Eyang Cina.
Eyang Cina adalah sahabat karib eyangku. Kata eyangku, ibuku dan keenam saudaranya bisa sekolah berkat bantuan Eyang Cina. Orang Konghuchu yang terpaksa menulis Kristen di KTP-nya ini, setiap lebaran memberi hadiah sarung dan sajadah. Eyang Cina juga memberikan bantuan untuk pembangunan langgar kecil eyangku.
Aku segera mandi dan ganti baju, baju terbaik sisa lebaran tahun lalu yang kupunya saat itu. Celana pendek berwarna coklat pramuka dan kemeja lengan pendek warna abu-abu cerah, sebuah paduan atasan dan bawahan yang sama sekali tidak padu.
Berkebaya hijau dan berjarik, eyangku yang tak pernah lepas dari tembakau susur di bibirnya menyuruhku mengangkat bekal bawaan ke becak yang telah menunggu. Tiga sisir pisang kapok kuning, lima butir kelapa, dan sekantong beras ketan kuangkat ke becak.
Becak adalah satu-satunya alat transportasi umum di desaku menuju ke jalan raya sebelum kami menunggu angkot ke arah kota Purbalingga.
Beberapa saat menunggu, sebuah armada "isuzu" berwarna kuning kusam dengan cat yang sudah mengelupas di sana-sini membawa kami menuju kota.
Inilah yang kutunggu-tunggu. Naik angkot dengan kaca yang bisa dibuka sehingga angin masuk dan menerpa wajahku adalah sebuah sensasi tersendiri dengan aroma asapnya. Aroma gas buang hasil pembakaran bensin ini hanya bisa kunikmati ketika Bang Taufik, orang desa kami yang sukses di Jakarta, pulang kampung membawa motor. Anak-anak seusiaku mengejar motornya untuk menghirup aroma asapnya.
Kami turun di alun-alun dan berjalan kaki sebentar menuju rumah Eyang Cina. Aku memanggul kantong beras ketan dan eyangku mengangkat pisang dan kelapa.
"Assalamu alaikum," ketika kami tiba di rumah eyang Cina.
"Waalaikum salam. Eh, ada tamu agung. Ayo masuk," jawab eyang Cina yang nampak sangat gembira menerima kedatangan kami. Beliau masih sehat namun keriput di wajahnya sama dengan keriput di wajah eyangku.
Kami dibawa ke ruang di belakang tokonya yang belum buka.
"Wah kok repot-repot," kata eyang Cina menerima bawaan kami.
"Kebetulan baru panen Ci. Ada sisa beras ketan. Siapa tahu ingin nyicipi," jawab eyangku. Eyangku memanggil Eyang Cina dengan sebutan "Ci" yang artinya "Mbakyu".
Eyangku dan eyang Cina terlibat obrolan yang hangat. Maklum, dua sahabat itu sudah lama tak bertemu. Beberapa saudara Eyang Cina ikut nimbrung ngobrol. Eyang Cina dengan saudara-saudaranya masih memakai bahasa Cina yang aku dan eyangku tak paham. Dan Eyang Cina lah yang menerjemahkan artinya.
Aku hanya duduk sambil menikmati secangkir teh yang disuguhkan dan mengamati ruang tamu yang masih sama. Aku selalu kagum dengan hiasan yang ada di ruang tamu Eyang Cina. Hiasan kertas warna merah dengan tulisan emas menempel di dinding. Aku tak paham dengan tulisannya. Tapi tata ruangnya menarik. Gambar harimau di sudut kanan dengan bola-bola lampion merah kusam di sebelahnya. Ada kertas kecil-kecil dengan tulisan Cina di atas pintu. Kata eyangku itu adalah jimatnya Eyang Cina.
Setelah beberapa saat berbincang dan sudah terobati kerinduan keduanya, eyangku mohon pamit.
"Sebentar-sebentar," kata Eyang Cina menyuruh kami menunggu.
Eyang Cina membawakan kami beberapa kaleng biscuit. Salah satunya bermerk "Khong Guan". Ini yang kusuka. Hanya saat lebaran, aku bisa menikmati biscuit macam ini, saat paman dan pakdeku mudik. Tapi kali ini, tak perlu menunggu lebaran. Khusus untuk eyangku, Eyang Cina memberinya oleh-oleh istimewa, tembakau terbaik yang sudah "matang" yang paling enak se-kabupaten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar