"Pak Basuki. Ruang empat belas," suara keras dari toa kecil di sudut ruangan menggema di ruang tunggu Puskesmas.
Aku segera masuk ke ruang empat belas, ruang dokter umum. Ada tiga meja di sana. Meja pertama, aku ditemui dua orang ibu memakai APD (Alat Pelindung Diri) lengkap, baju macam jas hujan, sarung tangan karet, face shield. Di meja pertama ini, tekanan darahku diukur dengan tensimeter. Diikat dengan alat semacam perban berperekat kemudian dipompa dan dikempiskan.
"100/70 Pak," katanya.
"Tinggi sekali ya Bu?" tanyaku penasaran.
"Ini rendah sekali Pak," jawabnya
"Sakit sudah sejak kapan Pak?" tanyanya
"Sejak hari Rabu bu,"
"Apa yang Bapak rasakan selama ini?"
Aku menceritakan semuanya. Tentu saja tentang sakitku. bukan tentang hutang-hutangku. Petugas yang satu mencatat semua data.
"Cukup Pak. Silahkan pindah ke bu dokter."
Aku menuruti perintahnya untuk bergeser ke meja sebelah yang ternyata dokter yang sebenarnya. Aku ditemui seorang dokter muda, (kayaknya) cantik, memakai masker, berambut pendek, berbaju khaky seragam PNS hari Senin, dan di lehernya berkalung stetoskop.
"Mohon geser lagi Pak. Sesuai dengan garis batas," kata bu dokter.
Rupanya ada garis di lantai, tepat di bawah kaki kursi dan tertulis "garis batas". Tadi aku duduk menghadap ke bu dokter, kaki dan lututku melanggar batas, maka sekarang aku harus duduk menyampingi bu dokter. Setelah aku duduk dengan tenang, bu dokter membacakan catatan yang tadi sudah ditulis oleh ibu di meja pertama. Aku hanya mengiyakan sambil menganggukkan kepala.
"Ok Pak. Cukup. Silahkan bapak pindah ke meja berikutnya!" perintah bu dokter.
Aku bergeser ke meja ketiga. Tak lupa, aku meminta surat keterangan dokter untuk ijin ke kantor.
Selesai.. Aku diberi dua lembar kertas hasil coretan tiga orang di ruang ini untuk diserahkan ke loket obat.
Bersamaan dengan namaku dipanggil di loket obat, surat keterangan pun telah jadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar