(cerita waktu itu sebelum hingar bingar corona)
Sepulang dari mushola, kulihat Be berjalan sendiri di depanku, tapi tiba-tiba dia berhenti. Be adalah adik sepupu Ken. Umurnya kurang lebih baru 4 tahun.
"Ada apa Be?" tanyaku
"Akung mana?" tanya balik Be kepadaku.
"Akung masih di mushola. Ayo pulang sama pakde saja," kataku sambil kugandeng tangannya. Eyang akung Be masih berdzikir dan berdoa. Agak lama. Pulangnya sering paling akhir.
Rupanya Be cukup nyaman kugandeng. Dia berjalan sambil sesekali melompat. Rambut keriting panjangnya mentul-mentul di bawah kopiah putihnya.
Beberapa saat kemudian, kami sampai di depan rumah eyang Be dimana dia tinggal bersama ayah, bunda, eyang akung dan eyang uti. Be membuka pintu gerbang dan berjalan menuju teras, tapi belum sampai di teras, dia berlari kembali keluar gerbang menuju ke arahku dan memelukku.
"Kenapa Be?" tanyaku
"Gelap," jawabnya sambil merengek.
Teras rumah eyang Be gelap. Rupanya lampunya belum dinyalakan.
"Ya sudah di sini saja sama pakde, nunggu akung pulang dari mushola," kataku
Aku bersama Be menunggu akung Be di depan pintu gerbang. Tapi lamat-lamat ada suara perempuan membaca Al Qur'an dari dalam rumah eyang Be.
"Be, itu Uti sudah di rumah. Tuh dengar, Uti lagi ngaji. Iya kan?"
Be mengangguk.
"Sudah sana Be masuk lagi. Terus ketuk pintu sambil salam. Yang keras ya," suruhku
Be menuruti perintahku. Dia masuk lagi dan mengetuk pintu sambil mengucapkan salam keras sekali "assalamu 'alaikum". Aku masih menungguinya di depan pintu gerbang.
Benar saja. Pintu dibuka oleh eyang uti Be yang masih mengenakan mukena warna putih dan membawa Qur'an di tangannya. Be segera memeluk eyang utinya.
"Be takut Ti. Gelap," kata Be.
"Be pulang sama siapa?" tanya Utinya
"Sama Pakde," jawab Be sambil menunjuk ke arahku.
"Sudah ya Be, pakde pulang dulu, dadaaa," kataku sambil melambaikan tanganku.
"Iya. Dadaaa.... Sampai jumpa," jawaban khas Be "sampai jumpa" ketika mengucapkan salam perpisahan sambil melambaikan tangannya.
Sabtu, 28 Maret 2020
Jumat, 27 Maret 2020
BELALANG MALAM
"kret....kret...kret..." suara derik sedikit berdecit ini mengiringi kami pergi ke mushola untuk menunaikan sholat isya. Maghrib tadi belum terdengar suara ini. Suara ini berasal dari rerimbunan pohon mengkudu di pinggir sungai, pohon yang begitu rimbun dan subur pada musim hujan ini.
"Pakde, itu suara apa?" tanya Kan kepadaku
"Suara jangkrik ya Pakde?" jawab Ken.
"Itu suara belalang," jawabku
"Belalang kan kecil Pakde. Suaranya kok keras?" bantah Ken.
"Itu suara belalang malam. Belalangnya besar. Warnanya hijau. Kadang ada yang coklat. Besarnya segini nih," jelasku sambil menunjukkan dua jari tanganku dan kutunjukkan kira-kira panjangnya.
Aku tahu itu suara belalang malam atau ada yang menamainya walang keket, walang kecek atau caricangkas karena dulu waktu kecil sering mencari belalang ini berdasarkan sumber suaranya. Dengan modal senter, aku dapat menemukan belalang daun yang besar ini sedang menggesek-gesekkan sayap luarnya sehingga menghasilkan suara seperti itu. .
"Aku kok belum pernah lihat belalang besar seperti itu ya," lanjut Ken.
"Nanti pulang sholat, kita cari bersama-sama belalangnya. Mau?" tantangku
"Nggak mau ah. Nanti kalau bukan suara belalang tapi ternyata suara hantu gimana Pakde?" kata Kan.
"Ya kita lariiiiiii," jawabku sambil berlari meninggalkam dua anak itu di belakangku.
Kan dan Ken spontan ikut lari.
"Pakdeee...,"
*) sumber video: rekaman asli di pinggir sungai.
sumber gambar: nurfajrian.wordpress.com
BERTENGKAR
"Ken kok sendirian. Biasanya sama Kan?" tanyaku sambil menjejeri Ken sepulang sholat maghrib dari mushola.
"Iya. Kami lagi bertengkar," jawab Ken.
"Kenapa bertengkar?" tanyaku lebih lanjut.
"Tadi Kan beli minuman. Terus botolnya dibuang ke tempat sampah. Karena botolnya bagus maka kuambil. Lalu kucuci dan kuisi dengan air putih. Eh..Kan tahu, terus marah, nangis, botolnya diminta lagi. Terus aku ditendang," jelas Ken.
"Sekarang botolnya dimana?" tanyaku
"Kusimpan di rumah,"
"O gitu, Ken marah nggak sama Kan?"
"Aku sih nggak marah. Kan yang masih marah ke aku. Nanti botolnya mau tak kasihkan lagi ke Kan. Aku mau beli sendiri saja," jawab Ken.
Dan saat sholat isya, mereka sudah berangkat ke mushola lagi sambil tertawa-tawa.
TURUN KE KALI
Untuk melupakan Corona, sore ini Ken turun ke kali. Berbekal cething nasi, Ken berusaha mencari ikan sepat, cithul, dan bethik. Sementata Kan tetap berada di atas dan tidak ikut turun.
"Ayo si Kan. Turun ke sini. Bantuin," teriak Ken
"Nggak mau, aku sudah mandi. Nanti dimarahin ibu," bela Kan.
Terpaksa, Ken mencari ikan sendiri. Namun apa daya, cething nasi bukanlah alat penangkap ikan yang representatif dan sama sekali tidak recomended. Namun demikian, Ken tetap berusaha menangkap ikan dengan sekuat tenaga. Berbagai gaya diperagakan. Menyerok, menyambar, menubruk sampai salto karena terpeleset. Tetap saja gagal.
Walaupun sama sekali tak mendapat ikan, turun ke kali menjadi hiburan tersendiri di tengah-tengah hingar-bingar corona.
#ayo tetap bergembira.
DILARANG MASUK
"Eits... jangan masuk. Ada corona," teriakku kepada Ken dan Kan yang tiba-tiba mau masuk ke rumahku.
Spontan mereka menghentikan langkahnya. Mereka berhenti di depan pintu gerbang.
"Emangnya kenapa Pakde?" tanya Ken
"Lagi ada corona. Nggak boleh dekat-dekat dengan orang lain, nanti bisa ketularan corona. Bisa sakit," jawabku
"Kita nggak sakit kok," jawab Kan
"Pakde juga nggak sakit. Tapi nggak boleh dekat-dekat. Bahaya. Soalnya coronanya nggak kelihatan," kataku
Rupanya mereka bergeming. Walaupun biasanya mereka dengan bebas masuk ke rumahku untuk melihat ikan di kolam belakang, kali ini mereka tak berani menerobos laranganku.
"Aku nggak sakit kok," kata Kan berusaha meyakinkanku supaya tetap diperbolehkan masuk.
"Jangan Kan. Nanti bisa mati seperti orang-orang di luar negeri," desak Ken.
Rupanya Ken sedikit-sedikit sudah mendengar berita tentang corona, entah itu dari televisi atau dari informasi lainnya.
"Kucoba mendekat ya," kata Kan dengan pelan-pelan mendekat kepadaku.
"Nggak boleh dekat-dekat. Ayah sama bunda kalian juga sudah bilang kan jangan dekat-dekat dengan orang lain," imbuhku.
"Iya Kan, nanti bisa mati lho," teriak Ken.
"Aku nggak mati. Nih," kata Kan melangkah maju dan sekarang posisinya sudah berada kurang lebih dua meter dariku.
"Sekarang nggak mati. Nanti kalau ketularan, bisa mati lho," kata Ken.
"Iya pokoknya sekarang nggak boleh dekat-dekat dengan Pakde," imbuhku
Kan mundur lagi.
"Tapi aku selalu dekat-dekat sama Ken kok nggak mati?" tanya Kan masih penasaran.
"Soalnya kalian dari dulu sudah dekat-dekat," jawabku beralasan.
Sebenarnya sangat sedih melarang mereka bermain. Tapi kondisi seperti ini tak bisa dihindari dan mudah-mudahan mereka sedikit demi sedikit memahami tanpa mengurangi kebahagiaan.
"Ken, kayaknya kita dibohongi," kata Kan kepada Ken sambil pergi dan Ken diam saja.
Kamis, 19 Maret 2020
KELASKU [MUNGKIN] SURGAKU
Buku ini akhirnya terbit juga. Penerbit Qahar Publisher menjadi penerbit bukuku yang berjudul Kelasku [mungkin] Surgaku. Tentu saja, aku ingin menjual buku pertamaku ini. Karena itu, dibutuhkan promosi besar-besaran agar buku ini laria bak kacang goreng. Soal harga belakangan. Yang pasti tak mungkin kumahalkan dan kumurahkan. Sedang-sedang saja.
Jadi, silahkan pesan dulu sebelum kehabisan.
Sebagai gambaran isi buku ini di bawah ini kutulis sinopsisnya.
SINOPSIS
Joko yang marah karena disuruh potong rambut, Lisza yang tidak mau dipanggil Lis, Mega yang jadi fans gelap, Yusop yang melankolis, Rima yang tak bisa ngomong banjir, Tia yang lupa nama asli gurunya, Niko yang selalu terlambat, Jun yang suka merayu, Bu Erni yang ulang tahun, Bu Anik yang ikut-ikutan memanggil Pak Bonjour adalah kisah-kisah di kelas yang menyenangkan, menggemaskan, menyedihkan, menjengkelkan dan tak terduga.
Suka duka seorang guru menghadapi siswa dengan berbagai karakter menghasilkan cerita yang warna-warni. Warna-warni kisah tersebut menjadi sebuah pengalaman yang sangat mengesankan dan tak terlupakan.
Mengajar bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan dan bukan hanya membuat siswa bersikap lebih baik tapi pada hakikatnya merupakan proses tukar-menukar pengalaman dan pengetahuan antara guru dan siswa. Simbiosis mutualisme secara tidak sadar terjadi dalam kegiatan belajar mengajar sehingga membangun ikatan batin antara guru dan siswa. Ada nilai-nilai kemanusiaan, kesetiakawanan, kerinduan, kebencian, kecemburuan, pemberontakan, rasa sayang dan cinta dalam interaksi yang tak bisa diukur hanya dengan pencapaian prestasi dan nilai.
Menarik kan?
Makanya ayo beli!
KUMBANG
"Ini kucing siapa Fa?" tanyaku. Kucing kecil ini berjalan sendiri di tepi sungai dan pasti ada yang punya karena tak ada induknya.
"Kucingnya Mas Os," jawab Fa
"Tolong dong bawain ke rumah Mas Os!" pintaku
"Nggak bisa. Aku kan lagi bawa kumbang," jawabnya.
"Eh kumbang apa itu? Lihat dong," tanyaku dan fokusku beralih ke kumbang milik Fa.
Fa menyodorkan wadah rautan warna kuning.
"Mana kumbangnya?" aku belun melihat kumbang di wadah itu.
"Ini di bawah," kata Fa sambil menunjukkan letak kumbangnya. Berada di sudut bawah. Kumbang kecil hitam berbintik kuning di punggungnya.
"Cantik sekali. Seperti yang punya," komentarku
"Iya dong," jawab Fa
"Pak de foto sini," pintaku
"Tapi jangan foto aku. Foto kumbangnya saja."
"Iya," jawabku
Fa menyorongkan wadah kumbang itu ke depan.
Cekrek
"Lihat!" pinta Fa
Kutunjukkan hasil jepretanku.
"Lha kok nggak kelihatan kumbangnya. Yang kelihatan malah aku," protes Fa
"Ah maaf. Pak de khilaf. Soalnya cantikan Fa daripada kumbangnya," jawabku
"Huh Pade curang."
Minggu, 15 Maret 2020
CORONA
Hari Minggu pagi sudah digegerkan oleh berita perkembangan situasi penyebaran wabah Corona. Virus corona semakin menyebar. Data orang terinfeksi semakin bertambah. Gubernur Jawa Tengah memutuskan untuk meliburkan sekolah di Jawa Tengah selama dua minggu ke depan. Situasinya semakin menegangkan.
"Sudah ada pengumuman dari Pak Gubernur tentang pendemi Corona. Mulai sekarang hati-hati Ma. Jangan bersentuhan dengan orang lain. Kalau terlanjur bersentuhan harus cuci tangan pakai sabun. Benda yang diterima dari orang lain juga harus dicuci," jelasku panjang lebar
"Iya Pa tapi jangan panik gitu to. Tetap tenang. Tetap senyum. Kalau panik, takut dan khawatir malah bikin penyakit. Takut makan, takut bertemu orang, takut ke mana-mana. Yang penting standar dan prosedur penanganannya dijaga," jawab istriku
"Iya Ma. Sudah punya masker kan Ma?" tanyaku
"Sudah, kemarin baru beli tiga," jawab istriku
"Wah kurang itu Ma,"
"Pakai kain bekas. Banyak tuh. Sudah nggak usah panik gitu." saran istriku
Untuk menenangkan diri, aku mengambil bungkus kopi di plastik yang belum sempat kubuka setelah kubeli dari warung.
"Nah, contohnya ini Ma. Bungkus kopi sebelum dibuka, dicuci dulu," jelasku sambil mencuci sebungkus kopi hitam di pancuran.
"Iya iya. Itu contoh yang benar"
Setelah membuat kopi hitam nan legit, aku duduk di teras depan seperti biasanya.
"Ma, korannya belum datang ya?" tanyaku
"Belum. Jangan khawatir Pa, nanti kalau korannya datang tak cuci dulu,"
đŸ™„
Kamis, 12 Maret 2020
MENGANTAR MEMBUAT KTP
Mumpung sedang libur sekolah karena siswa kelas XII sedang menjalani Ujian Sekolah (US) dan aku tak bertugas menjadi pengawas US, hari ini aku menyempatkan waktu untuk mengantar anakku yang sudah genap berumur 17 tahun untuk membuat KTP baru. Hanya kuantar dan kutemani, berbekal fotocopy Kartu Keluarga (KK) semua urusan anakku sendiri yang menjalani.
"Sana tanya sendiri ke ibu atau bapak petugas yang ada di kantor kelurahan," suruhku
"Bilangnya gimana?"
"Pak Bu mau membuat KTP caranya gimana?"
Seperti mau disuntik imunisasi, anakku merajuk.
"Ayolah Pa...temani,"
"Urus sendiri," kataku
Anakku masuk ke kantor kelurahan sementara aku menunggu di luar. Lima menit selesai. Berbekal surat pengantar dari kelurahan, kami menuju ke Disdukcapil yang kantornya ada di belakang kecamatan.
Di sini antrinya lama.
Sambil menunggu, iseng aku menyapa perempuan di sampingku yang masih mengenakan seragam sekolah.
"Mba mau bikin KTP juga?"
"Nggak Pak. Mau ambil,"
"Oh... Tinggal ambil ya. Berarti sudah ngurus sejak kemarin ya?" tanyaku
"Sudah enam bulan Pak. Sejak September dua ribu sembilan belas,"
"Oh.. Lama sekali ya,"
"Iya Pak,"
Aku membayangkan pasti nanti KTP anakku juga lama. Setidaknya masih harus menunggu sampai bulan September.
"Seandainya tak ada kasus korupsi e-KTP, mungkin tidak selama ini." kataku
Setelah menunggu beberapa lama, dari lubang loket, petugas mulai memanggil satu per satu untuk menerima KTP yang sudah jadi.
"Sadino,"
Seorang laki-laki maju menuju loket dan menerima KTP.
"Sumarni,"
Seorang ibu maju dan menerima KTP.
"Ariani,"
Tak ada yang maju
"Arianiii," petugas mengulangi sekali lagi dengam nada yang agak mendayu.
"Arianiiiii," sekali lagi dengan lebih mendayu. Tujuannya agar pemilik nama atau yang mewakili mendengar.
Semua orang saling memandang dan mencari siapa pemilik nama tersebut.
Tak ada yang maju juga.
"Fahri," akhirnya petugas memanggil nama yang lain. Seorang ibu maju sambil berkata "Itu anak saya Bu, saya ibunya," jelas seorang ibu. Sambil menyerahkan fotocopy KK. Di depan loket ada pengumuman bahwa KTP boleh diambil oleh anggota keluarga lainnya dengan menunjukkan fotocopy KK.
Setelah terpanggil semuanya, petugas mengulangi panggilan dari awal.
"Ariani,"
"Arianiiii,"
"Arianiiiii,"
Seorang laki-laki yang sejak tadi duduk di bangku depanku maju ke loket.
"Dari tadi sudah dipanggil-panggil kok nggak dengar," kata petugas agak jengkel
"Maaf Bu, itu istri saya yang baru. Jadi belum terbiasa ketika dipanggil namanya. Hafalnya masih nama istri yang lama,"
Upss....
Masih menunggu.
"Yang mau foto e-KTP silahkan masuk lewat pintu samping," kata ibu petugas tiba-tiba.
Anakku masuk. Aku menunggu di luar dan tak ikut masuk. Sepuluh menit dia menjalani sesi foto.
"Sudah selesai?" tanyaku ketika dia keluar.
"Sudah," jawabnya singkat.
"Surat Keterangannya mana?" tanyaku karena e-KTP yang belum jadi akan diganti dengan Surat Keterangan sementara sampai e-KTPnya jadi.
"Nggak pakai surat keterangan. Minggu depan e-KTPnya sudah jadi. Suruh ngambil sambil bawa fotocopy KK," terang anakku
"Wow.. Kok cepat sekali. Mba yang tadi sampai enam bulan lho." kataku
"Mungkin Mba-nya bikinnya e-KTP yang dikorupsi,"
Selasa, 10 Maret 2020
ANAK BUAH
Dalam sebuah organisasi, anak buah atau anggota merupakan faktor yang penting dalam menjalankan roda organisasi. Anak buah berfungsi menjalankan program dan rencana kerja yang dikomandoi oleh pimpinan.
Menjadi anak buah harus berjuang keras dan mempunyai semangat kerja yang tinggi karena persaingan dengan sesama anak buah sangat ketat. Karir yang menjanjikan menjadi salah satu pendorong untuk bekerja keras. Namun persaingan ini tidak boleh menjadi sebuah permusuhan.
Dalam berorganisasi, sudah sewajarnya anak buah harus menghormati pimpinan karena pimpinan yang mempunyai kekuasaan untuk mengarahkan anak buah dalam bekerja. Pimpinan tentu saja merupakan sosok yang dianggap mempunyai prestasi dan kompetensi yang lebih dibandingkan anak buah karena itu pimpinan bisa dinggap sebagai pembimbing, pelindung, penuntun, dan pengarah anak buah. Menghadapi pimpinan yang baik, anak buah akan merasa tenang, nyaman, senang, dan akan mencontoh kebaikannya. Tapi menghadapi pimpinan yang kurang baik, akan membuat anak buah mengeluh, gemas, marah, merasa putus asa dan merasa paling menderita sedunia. Sikap yang paling baik adalah sabar. Percayalah, salah satu doa yang mustajab adalah doa orang teraniaya. Berdoalah yang baik-baik, menjadi orang kaya, sukses, dan bahagia tentunya. Sekalipun bersabar, kadang rasa kurang sabar tetap ada. Tindakan yang paling menggoda ketika menjadi orang teraniaya adalah ngrasani. Dilemanya, ngrasani adalah perbuatan yang tidak baik, berdosa dan bisa masuk neraka. Jadi jangan ngrasani ya.
Anak buah juga harus bisa berinteraksi dan bekerja sama dengan anak buah yang lain. Sesama anak buah boleh bersaing tapi bersainglah dengan sehat yaitu memaksimalkan kemampuan dan kinerja. Dengan kinerja dan semangat yang tinggi, selain akan menjadi salah satu unsur penilaian bagi pimpinan untuk menaikkan pangkat, juga akan mendukung penyelesaian program kerja organisasi. Anggap saja, dengan kerja keras kita niat ibadah dan mendapat pahala untuk memajukan organisasi.
Dalam sebuah organisasi, ada berbagai macam anak buah dengan sifat, karakter, wajah, kulit, dan ciri berbeda-beda. Ada yang baik, ada yang jutek, ada yang cantik, ada yang pesek, ada yang nggemesin dan ada yang nyebelin. Untuk itu, anak buah dituntut untuk saling menghormati, saling menyayangi, dan kadang saling mencintai. Sebagaimana menghadapi pimpinan, menghadapi teman yang baik, kita akan nyaman, tenteram dan bahagia. Akan tetapi, menghadapi teman yang malas, menyebalkan, suka rebahan, dan mempunyai kinerja rendah, kita akan sedih dan menderita. Kuncinya adalah bekerjalah dengan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) kita saja. Biarkan saja mereka yang tak mau bekerja dengan baik. Siapa tahu dengan kerja keras, pimpinan melihat kinerja kita dan mengangkat kita jadi sekretarisnya, wakilnya, asisten pribadinya, menantunya, atau bahkan istrinya jika pimpinannya masih jomblo atau kalaupun sudah beristri tapi berniat poligami. Siapa tahu.
Walaupun menjadi anak buah, tidak boleh rendah diri. Anak buah tetap menjadi faktor penting dalam organisasi dan berhak dihormati. Walaupun kalah dalam isi rekening, jangan kalah dalam kompetensi. Bagi yang merasa kompetensinya masih kurang, belajar lagi. Tidak bisa komputer, belajarlah dengan teman yang bisa komputer. Tidak bisa menghitung, belajarlah matematika dengan ahli matematika. Pendidikan masih SD, ambillah paket B untuk menyamakan diri dengan lulusan SMP. Setelah itu, ambillah paket C untuk menyamakan diri dengan lulusan SMA. Setelah itu kuliah S1. Jangan berhenti sebelum langit runtuh.
Berjuang dan belajar tidak mengenal umur. Bekerja keraslah.
PIMPINAN
Pimpinan harusnya merangkul, mendukung, menghargai, menenangkan, memberi solusi, memberi contoh, menyayangi bahkan mencintai ianak buahnya dalam menjalankan program-programnya. Bahkan pimpinan harus tahu kelebihan dan kekurangan anak buahnya. Fungsinya agar bisa memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh anak buah. Misalnya, anak buah yang pintar matematika dan tidak mata duitan dijadikan bendahara, anak buah yang pintar komputer dijadikan operator slide, anak buah yang pintar ngaji dipercaya membawa kunci mushola, dan sebagainya. Pimpinan yang tidak memahami anak buah akan mudah terjadi kesalahpahaman.
Pimpinan juga harus adil dalam membagi tugas kepada anak buahnya. Kesenjangan kerja di antara bawahan akan menimbulkan kecemburuan dan ketidakharmonisan. Pekerjaan harus disesuaikan dengan kemampuan dan tenaga. Jangan membebankan pekerjaan hanya pada satu orang sementara yang lain hanya duduk-duduk. Sesuaikan juga hak dan kewajiban masing-masing anak buah. Jangan samakan gaji sekretaris dengan gaji tukang tunggu lemari karena tugasnya juga berbeda. Pimpinan juga harus ada reward terhadap prestasi anak buah. Reward ini tidak harus berupa hadiah, materi atau uang. Sebungkus nasi megono dan gorengan pun menjadi sebuah penghargaan yang tak ternilai bagi anak buah atau bahkan hanya pujian, acungan jempol dan senyuman (di group WA sekalipun).
Pimpinan tidak boleh sewenang-wenang menjalan kepemimpinannya karena setiap organisasi pasti sudah mempunyai rencana kerja dan program yang yang sudah disepakati bersama dan akan dilaksanakan bersama-sama pula dan tidak perlu membuat program yang aneh-aneh dan tidak berguna. Disaat negara sedang gencar-gencaranya mengkampanyekan 4.0, menyederhanakan administrasi, pelayanan satu pintu, RPP satu lembar dan paperless, maka kesempatan bagi organisasi baik pimpinan maupun anak buah untuk bergerak cepat dan membuat program yang efektif dan efisien dan tidak perlu membuang-buang energi untuk membuat program baru yang tidak mendukung program organisasi. Baik pimpinan maupun bawahan wajib menaati aturan yang berlaku dalam menjalankan rencana kerja dan program tersebut. Dengan demikian, langkah pimpinan dan bawahan tetap berada di rel yang benar.
Friksi antara pimpinan dan bawahan baik secara terbuka maupun secara diam-diam pasti akan menyebabkan organisasi menjadi tidak sehat. Friksi ini terjadi apabila masing-masing tidak memahami fungsi dsn tugas masing-masing, terjadi kesenjangan tugas, kesenjangan hak dan kewajiban.
Pimpinan harus berpikir out of the box, harus mempunyai terobosan-terobosan demi kepentingan organisasinya. Bukan untuk kepentingan pribadinya dan tidak menyengsarakan anggotanya. Ada sebuah solusi dan penyelesaian bahkan ada program ajaib yang dimiliki pimpinan untuk kepentingan, kebaikan dan kemajuan organisasi.
Friksi di dalam organisasi bisa terjadi karena pimpinan tidak bisa merangkul anak buah. Entah itu faktor ketidakmampuan atau ketidakahuan, semuanya sama. Atau pimpinan bersikap otoriter, semuanya harus tunduk kepadanya, tak ada kesempatan untuk menyampaikan pendapat. Sikap otoriter sebenarnya menanam api di dalam sekam. Di permukaan kelihatan baik-baik saja tapi di bawahnya tidak baik-baik saja. Atau juga faktor anak buah yang tidak mempunyai kompetensi, tidak mempunyai kinerja yang baik. Kalau faktor ini yang menyebabkan friksi dalam sebuah organisasi maka pimpinan berhak melakukan perekrutan baru atau ressufle sehingga akan diperoleh anak buah yang mumpuni dan baik hati.
Pemimpin tidak perlu minta dihormati karena penghormatan akan datang dengan sendirinya sesuai dengan kapasaitas dan kemampuannya dalam memimpin.
Catatan:
Anggap saja tulisan ini ditulis oleh orang yang sedang mengigau atau sedang kesurupan.
Sabtu, 07 Maret 2020
SERASA DI BALI
Pagi-pagi sudah dibikin ngiler. Aku dikirimi gambar-gambar menu utama, ice drink, hot drink, aneka juice, makanan ringan dan menu ekstra milik Teras Bali, sebuah rumah makan bernuansa Bali di kota Pekalongan sekaligus disuruh memilih.
"Pak, silahkan pilih menu sesuai selera ya Pak. Semua sudah pilih. Tinggal Bapak nih. Biar nanti nggak menunggu dan langsung bisa makan," pesan WA dari Mba Tia direktur Intistut Francais Indonesia (IFI) untuk kegiatan pengembangan pengajaran Bahasa Prancis di SMA sederajat se Kabupaten/Kota Pekalongan dan Batang. Acara ini adalah lanjutan dari kegiatan kunjungan IFI ke sekolah-sekolah di Batang yang mengajarkan Bahasa Prancis sehari sebelumnya.
Tanpa basa-basi, aku segera memilih menu yang kusuka.
1. Sop iga bakar.
2. Nasi putih
3. Teh tawar.
Aku memang menyukai iga atau rusuk sapi bakar, mungkin karena naluri lelaki sebagai makhluk yang kehilangan tulang rusuknya. Tapi tak ada hubungannya. Yang pasti karena rasa iga sapi bakar ditambah sop enak sekali.
Pukul 13.00 aku datang ke rumah makan tersebut. Di Meeting Room telah berkumpul empat orang guru dari kota dan kabupaten Pekalongan, Mba Tia, direktur kursus Institut Francais d'Indonésie-Ambassade de France (nstitut Prancis di Indonesia- Kedutaan Besar Prancis) dan Coline, orang asli Perancis yang menjadi koordinator pengajaran Bahasa Perancis di IFI.
Benar dugaanku, sop iga bakar sudah tersedia di meja. Kami makan dulu sebelum memulai acara karena sudah waktunya makan siang. Langsung tancap gas kumasukan sop iga bakarku dengan lahap ke dalam perutku yang sudah kupersiapkan sejak pagi untuk menyantapnya.
Setelah perut tenang dan kenyang, acara dilanjutkan dengan berdiskusi tentang pembelajaran Bahasa Perancis, RPP, materi, buku ajar, kebijakan pemerintah tentang pengajaran bahasa asing di Indonesia, dan permasalahan lainnya. Tentu saja diskusi dalam bahasa Perancis karena Coline belum lancar berbahasa Indonesia.
Pukul 16.00 kegiatan selesai dan kami berfoto bersama. Dengan baju adat yang pada hari Kamis wajib kami pakai dan berlatar belakang pernak-pernik khas Bali, kami meminta bantuan kepada salah satu pelayan rumah makan yang juga berpakaian khas Bali untuk mengambil gambar.
Cekrek...cekrek.
Foto ini kemudian kuunggah ke media sosial. Salah satu temanku yang melihatku berfoto dengan bule berkomentar.
"Serasa di Bali."
"Iya tapi tanpa bikini." jawabku
CUI
Cui (bukan ciu ya) adalah wadah berbentuk bulat yang terbuat dari bambu. Wadah ini digunakan untuk memasak pindang. Pembuatan cui berkembang seiring dengan perkembangan industri pembuatan pindang. Selama pindang disukai oleh masyarakat, industri cui tak akan mati.
Cui belum bisa digantikan dengan wadah lain seperti wadah dari plastik. Selain murah, cui yang terbuat dari bambu sangat ramah lingkungan.
Industri cui dan pindang ibarat asam dan garam yang bertemu di kuali. Bambu yang banyak terdapat di gunung bertemu ikan di kuali pembuatan pindang.
Tidak semua orang bisa membuat cui karena dibutuhkan keterampilan dalam membelah bambu menjadi tipis-tipis (nyeseti dan nyuwiri) dan menganyamnya. Industri cui berdiri di desa-desa tempat banyak tumbuh bambu. Satu buah cui dihargai Rp. 1.400 di tingkat perajin.
Namun sayang, mungkin karena harga yang murah inilah, banyak geberasi muda yang tak mau mewarisi dan melanjutkan keterampilan membuat cui yang dimiliki oleh orang tuanya secara turun-temurun ini. Banyak pekerjaan di luar sana yang lebih menarik bagi anak muda.
Semoga suatu saat ada terobosan agar industri cui ini tidak berhenti seiring bergantinya generasi. Salah satunya dengan meningkatkan harga cui, industrialisasi (mendirikan pabrik) cui, dan menggalakkan makan pindang agar pindang semakin laris, cui pun semakin manis.
Oleh karena itu, mari makan pindang tapi jangan sama cuinya. Bisa kloloden! (Bahasa Indonesianya "kloloden" apa ya?)
Jumat, 06 Maret 2020
EFEK CORONA
"Hallo Pak, apa kabar?" sapa seorang perempuan di depanku ketika aku tiba di warung pagi untuk membeli sarapan. Suaranya agak tidak jelas.
"Alhamdulillah baik," jawabku mungkin dengan wajah bingung setengah mati karena perempuan di depanku memakai masker warna hijau muda.
"Hmm..siapa ya?" tanyaku penasaran
"Eni Pak," jawabnya masih dengan suara kurang jelas.
"Eni siapa?" tanyaku
"Murid Bapak lulus tahun dua ribu enam belas," jawabnya.
"Tolong maskernya dibuka sih. Biar jelas," suruhku
"Jangan Pak. Corona," jawabnya.
"Waduh di sini belum ada Corona," sanggahku
"Buat jaga-jaga Pak,"
Aku mengalah untuk tidak memaksanya membuka masker, setidaknya aku menghormati ketakutannya terhadap penyakit Covid-19 yang lebih dikenal dengan nama virusnya yaitu Corona.
Kami melanjutkan ngobrol.
"Bapak masih ngajar Bahasa Prancis?"
"Masih lah. Masa ngajar matematika,"
Ngobrol yang tak asyik sama sekali karena aku tak tahu dia itu Eni yang mana.
Setelah selesai membeli nasi megono dan beberapa lauk termasuk gorengan, dia permisi.
"Duluan ya Pak," kata Eni sambil mengulurkan tangannya minta salaman.
"Jangan... Corona," kataku sambil menangkupkan tanganku di depan dada.
Aku kok tiba-tiba ikut takut terhadap Corona.
Langganan:
Postingan (Atom)