Sekarang anakku kelas VI SD. Dia pulang jam 12.30. Menjemput
anak dari sekolah ternyata mengasyikkan. Tentu saja, aku menjemput anak pada
saat jam kosong yaitu pada saat tidak ada jadwal mengajar. Pada saat ada jadwal
mengajar, istriku lah yang bertanggung jawab untuk menjemputnya. Sudah diatur.
Rasa asyik ini baru terasa ketika berlaku peraturan
baru di sekolahku:
Guru
harus berada di sekolah dari pukul 07.00 sampai pukul 13.30.
Setiap
guru yang akan keluar dari lingkungan sekolah pada jam sekolah harus ijin.
Sebelumnya, aku demikian bebas menjemput anakku
tanpa hambatan sama sekali. Aturan baru ini menyadarkanku seperti mensyukuri
sehat ketika aku sakit. Kegiatan ini menjadi sebuah kenikmatan tersendiri. Ada
suasana baru, menghirup udara yang lain, terbebas dari udara AC di ruang guru, terbebas
dari buku, terbebas dari wajah-wajah yang semakin siang semakin menyerupai papan
tulis dan terbebas dari bau kaos kaki (entah kaos kaki siswa-siswaku atau kaos
kakiku sendiri).
Peraturan ini belum tertulis. Bahkan perangkatnya
pun belum siap, belum tersedia surat atau buku ijin. Tapi karena komitmen kami
untuk meningkatkan kedisiplinan sekolah, kami bertekad menjalankan peraturan
ini mulai sekarang juga.
Walaupun begitu, kebiasaan yang baru dimulai ini
membuatku gugup. Ijin. Aku harus mempersiapkan diri setengah jam sebelumnya.
Rasanya gimana gitu? Harus melakukan sesuatu yang sudah lama sekali tak pernah
aku lakukan. Terakhir aku lakukan saat SMA, minta ijin ke guru mau ke toilet. (waktu
kuliah cukup angkat tangan, berdiri, ngeloyor keluar: kurang sopan memang) Itupun
aku sudah lupa caranya, apalagi rasanya. Betul-betul antara ada dan tiada.
Persiapan aku lakukan. Konsentrasi. Aku buka memori yang bertahun-tahun
terpendam. Cara bersikap: dua tangan berpegangan di depan, sedikit membungkuk,
wajah tertunduk, baru bicara. Ah.. tak sebegitunya kali. Ya tapi begitulah
caranya. Setelah ambil nafas dalam-dalam, akhirnya aku beranikan diri. Dengan
agak terbata-bata, aku ucapkan kata-kata:
“Maaf ibu kurikulum, saya mohon ijin mau menjemput
anak,” kataku “kurang lebih 20 menit, Bu,” sambil melihat pergelangan tanganku.
Padahal aku tak pernah pakai jam tangan. Tapi itulah kelakuan orang yang lagi
nerveus. (Orang Jawa bilang kayak kethek ditulup).
Sudah disepakati, ijin seperti ini tidak perlu ke
kepala sekolah tetapi cukup ke wakil kepala sekolah bidang kurikulum atau
asisten kurikulum yang selalu berada di ruang guru.
“Iya Pak, silahkan,” jawab ibu wakil kepala sekolah
bidang kurikulum.
Plong. Tanpa ba bi bu, aku langsung cabut. Mobil
yang aku parkir di halaman depan sekolah langsung kunyalakan. (Soal mobil nanti
aku ceritakan sendiri). Sepuluh menit perjalanan ke sekolah anakku bagaikan
berpuluh-puluh jam melewati alam bebas. Baru kusadari sekarang. Ternyata langit
berwarna biru. Pepohonan melambai-lambai. Burung-burung mencicit di antara
dahan-dahan mahoni. Udara begitu segar. laksana air di padang gersang.
Wushhhh….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar