alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Sabtu, 06 September 2014

MENJEMPUT ANAK


Sekarang anakku kelas VI SD. Dia pulang jam 12.30. Menjemput anak dari sekolah ternyata mengasyikkan. Tentu saja, aku menjemput anak pada saat jam kosong yaitu pada saat tidak ada jadwal mengajar. Pada saat ada jadwal mengajar, istriku lah yang bertanggung jawab untuk menjemputnya. Sudah diatur.
Rasa asyik ini baru terasa ketika berlaku peraturan baru di sekolahku:
Guru harus berada di sekolah dari pukul 07.00 sampai pukul 13.30.
Setiap guru yang akan keluar dari lingkungan sekolah pada jam sekolah harus ijin.
Sebelumnya, aku demikian bebas menjemput anakku tanpa hambatan sama sekali. Aturan baru ini menyadarkanku seperti mensyukuri sehat ketika aku sakit. Kegiatan ini menjadi sebuah kenikmatan tersendiri. Ada suasana baru, menghirup udara yang lain, terbebas dari udara AC di ruang guru, terbebas dari buku, terbebas dari wajah-wajah yang semakin siang semakin menyerupai papan tulis dan terbebas dari bau kaos kaki (entah kaos kaki siswa-siswaku atau kaos kakiku sendiri).
Peraturan ini belum tertulis. Bahkan perangkatnya pun belum siap, belum tersedia surat atau buku ijin. Tapi karena komitmen kami untuk meningkatkan kedisiplinan sekolah, kami bertekad menjalankan peraturan ini mulai sekarang juga.
Walaupun begitu, kebiasaan yang baru dimulai ini membuatku gugup. Ijin. Aku harus mempersiapkan diri setengah jam sebelumnya. Rasanya gimana gitu? Harus melakukan sesuatu yang sudah lama sekali tak pernah aku lakukan. Terakhir aku lakukan saat SMA, minta ijin ke guru mau ke toilet. (waktu kuliah cukup angkat tangan, berdiri, ngeloyor keluar: kurang sopan memang) Itupun aku sudah lupa caranya, apalagi rasanya. Betul-betul antara ada dan tiada. Persiapan aku lakukan. Konsentrasi. Aku buka memori yang bertahun-tahun terpendam. Cara bersikap: dua tangan berpegangan di depan, sedikit membungkuk, wajah tertunduk, baru bicara. Ah.. tak sebegitunya kali. Ya tapi begitulah caranya. Setelah ambil nafas dalam-dalam, akhirnya aku beranikan diri. Dengan agak terbata-bata, aku ucapkan kata-kata:
“Maaf ibu kurikulum, saya mohon ijin mau menjemput anak,” kataku “kurang lebih 20 menit, Bu,” sambil melihat pergelangan tanganku. Padahal aku tak pernah pakai jam tangan. Tapi itulah kelakuan orang yang lagi nerveus. (Orang Jawa bilang kayak kethek ditulup).
Sudah disepakati, ijin seperti ini tidak perlu ke kepala sekolah tetapi cukup ke wakil kepala sekolah bidang kurikulum atau asisten kurikulum yang selalu berada di ruang guru.
“Iya Pak, silahkan,” jawab ibu wakil kepala sekolah bidang kurikulum.
Plong. Tanpa ba bi bu, aku langsung cabut. Mobil yang aku parkir di halaman depan sekolah langsung kunyalakan. (Soal mobil nanti aku ceritakan sendiri). Sepuluh menit perjalanan ke sekolah anakku bagaikan berpuluh-puluh jam melewati alam bebas. Baru kusadari sekarang. Ternyata langit berwarna biru. Pepohonan melambai-lambai. Burung-burung mencicit di antara dahan-dahan mahoni. Udara begitu segar. laksana air di padang gersang. Wushhhh….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar