alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Sabtu, 20 Agustus 2022

ANJING PENJAGA



Memasuki Hotel Aloft di jalan Wahid Hasyim Jakarta Pusat, aku harus melewati pos jaga yang dijaga oleh beberapa orang penjaga berpakaian serba hitam dilengkapi dengan seekor anjing herder. 


Berhadapan dengan anjing, selalu membuatku bergidik. Aku teringat ketika pulang sekolah di SMPN 1 Bukateja. Melihat anak anjing sendirian di pinggir jalan, aku menghentikan sepeda BMX-ku dan mengganggunya. Kubentak dia dan dia nampak ketakutan lalu lari masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian, anjing-anjing dewasa (mungkin emak, bapak, om, tante dan kakak-kakak si anjing kecil tadi) keluar dari dalam rumah, menggonggong dan mengejarku. Seketika itu pula, kupancal pedal sepedaku. Kabur secepat-cepatnya.


Tapi untunglah anjing herder yang ini kalem dan pendiam. Tak ada sorot mata tajam dan gonggongan kerasnya saat mengetahui kedatangan orang baru.


"Permisi Mas," kataku dengan sopan. Tentu saja kepada Mas-Mas penjaga, bukan kepada anjingnya. 


Dan si anjing tetap duduk dengan kalem. Mungkin anjingnya mempunyai moto "Anda sopan kami segan". Akhirnya semuanya baik-baik saja. Aku berhasil melewati pos penjaga tanpa ada kendala apapun. 


*) foto di lobi.

**) tulisan ini sebagai laporan pertanggungjawaban kepada pihak terkait.

Selasa, 16 Agustus 2022

NAIK PESAWAT





Setelah perjalanan hampir tiga jam dari Batang, travel yang kunaiki tiba di bandara Jenderal Ahmad Yani pada pukul 12.55. Aku segera masuk menuju loket Batik Air untuk menukar itinarry dengan tiket pesawat yang kemudian dipersilakan menuju ruang tunggu.


Melewati pemeriksaan, kulepas sabuk, kukeluarkan dompet, beberapa uang receh 500an dan kunci mobil yang terbawa di saku. 


Memasuki ruang tunggu, instrumen seruling lagu-lagu jawa: ande-ande lumut, lir ilir, cublak-cublak suweng dan lain-lain mendayu-dayu membuat anganku melayang ke bawah rumpun bambu di pinggir sungai di desaku di awal musim kemarau. Sendu dan syahdu. Di ruang tunggu, kakiku kuluruskan ke depan seakan berkecipak dengan air sungai yang mengalir di bawahku. Tiba-tiba aku mengantuk


Sebelum pesawat datang, kusempatkan ke mushola untuk sholat dhuhur dan asar (jamak takdzim).


Aku juga menyempatkan ke toilet. Di sini lah aku mulai mengalami gaptek peralatan toilet: WC duduk, kran sensor dan tissu. Tak ada lagi WC jongkok, gayung dan ember. Pada ke mana barang-barang ini? Baru kutinggalkan tiga jam yang lalu, aku sudah rindu.


Pada pukul 14.05, penumpang dipersilakan memasuki pesawat. Di pintu pesawat,  seketika rasa kantukku menghilang. Dua pramugari menyambutku ramah dan dugaanku dia cantik dan senyumnya manis sekali walaupun wajahnya tertutupi masker. Aku tak paham apa hubungan mata mengantuk tiba-tiba melek dengan pramugari?


Aku duduk di pinggir jendela. Aku berada tepat di atas sayap pesawat sebelah kanan. Pukul 14.20 tepat, pesawat take off. Kunikmati pemandangan awan putih awal musim kemarau yang berarak. Sebungkus roti dan air mineral yang diberikan oleh pramugari segera kuhabiskan. Terlihat sekali aku belum makan siang.

.

Tak terasa, 65 menit kemudian, pesawat sudah mendarat di bandara Soekarno Hatta dan perutku masih saja berbunyi krucuk-krucuk.


*)tulisan ini adalah bentuk laporan & pertanggungjawaban kepada pihak terkait.

Senin, 15 Agustus 2022

WILAYAH EKSTRATERITORIAL





Kedutaan besar adalah wilayah ektrateritorial yaitu wilayah suatu negara yang berada di negara lain. Maka memasuki kedutaan besar sama dengan memasuki wilayah negara tersebut.


PDT (Pre-Departure Training) program BRIDGE School Partnerships pada hari ke-4, para peserta diperkenalkan dengan Australia sesungguhnya karena pelatihan dilaksanakan di kedutaan besar Australia. 


Masing-masing negara mempunyai syarat dan prosedur untuk memasuki kedutaan besarnya. Demikian juga dengan kedubes Australia. Untuk memasukinya kita harus menyerahkan KTP asli, kemudian dipanggil lima per lima untuk masuk ke ruang pemeriksaan. Hp, dompet, tas dimasukkan ke metal detektor. Tubuh kita juga diperiksa dengan metal detektor.


"Rentangkan tangan Bapak," kata petugas.


Aku menuruti perintah. Kurentangkan tanganku. Petugas memindai tubuhku bagian depan.


"Silakan berbalik."


Aku berbalik dan kembali merentangkan tangan. Petugas memindai tubuh bagian belakang.


"Terima kasih." kata petugas selesai memeriksaku.


Aku diarahkan menuju ke ruang pelatihan yang berada di dalam gedung utama kedutaan. Pintu tebal gedung itu pun terbuka pelan-pelan setelah seorang penjaga memindaikan sesuatu.


Penjagaan keamanan yang sangat ketat ini  adalah standar keamanan yang diberlakukan oleh kedutaan besar Australia. Tentu saja untuk mencegah terulangnya peristiwa yang sangat pahit yaitu engeboman Kedubes Australia yang pernah terjadi pada tanggal 9 September 2004 atau yang dikenal dengan Bom Kuningan.


Kita pun dilarang berfoto kecuali di space-space yang sudah ditentukan yaitu hanya di dalam  ruang pelatihan dan di halaman depan.


Tidak mau kehilangan moment dan kenangan di kedutaan besar Australia ini, para peserta pelatihan berebut berfoto di space-space yang diijinkan untuk mengambil foto terutama di dalam ruang pelatihan. Podium yang di bagian depan terdapat lambang negara Australia lengkap dengan microphone-nya dan berlatar belakang bendera Australia dan Indonesia menjadi sasaran utama untuk berfoto. Harus mengantre untuk berfoto di sana. Semua orang ingin berfoto dengan bergaya bak duta besar Australia sedang berorasi di atas podium itu.


Sayang, batrey hpku drop. Aku tak bisa berbuat banyak. Aku hanya bisa menonton orang-orang berfoto dan akhirnya memohon kebaikan kepada partnerku Bu Arie untuk memfotoku dengan hp-nya supaya aku juga punya kenangan pernah masuk ke wilayah ekstrateritorial Australia di Indonesia. 


"Tidak harus di atas podium, di mana saja boleh. Yang penting difoto Bu." kataku.


Kasihan.

Minggu, 14 Agustus 2022

SIAPA NAMAMU?

Sambil menunggu iqomah sholat isya', kulihat dua anak duduk berdekatan sambil ngobrol. Namanya Alif dan Marchel. Mereka sebaya. Umurnya kurang lebih lima tahun. Aku penasaran dengan obrolan mereka, lalu kudekati mereka dan mereka tetap melanjutkan obrolan tanpa mempedulikanku.


"Kemarin aku main sepeda sampe jauh," kata Alif.

"Kemarin aku di rumah saja," kata Marchel.


Rumah kedua anak ini berjauhan dan aku belum pernah melihat mereka bermain bersama. Maka, aku heran mereka nampak akrab sekali di masjid ini.


"Alif sudah kenal sama ini?" tanyaku kepada Alif sambil menunjuk Marchel.

"Belum," jawab Alif.

"Marchel, sudah kenal sama ini?" tanyaku kepada Marchel sambil menunjuk Alif.

"Belum," jawab Marchel.


Aku terdiam sekejap. Ada raut heran di wajahku.


"Ya sudah sekarang kenalan," pintaku kepada mereka.


Sekarang giliran mereka terdiam. Mungkin mereka bingung mengapa harus berkenalan dan bagaimana cara berkenalan. Toh tanpa berkenalan obrolan mereka tetap asyik.


"Salaman dulu. Tanya siapa namamu?" tuntunku.


"Siapa namamu?" tanya Alif sambil mengulurkan tangan dan disambut oleh Marchel.

"Marchel." jawab Marchel.

"Siapa namamu?" tanya Marchel.

"Alif," jawab Alif.


Kan yang selalu berpeci miring ke kanan dan mata kanannya hampir tertutupi peci dan Ken yang akhir-akhir ini tidak pernah memakai peci terheran-heran melihat ritual perkenalan yang aneh ini.

KUTURUTI APA MAUMU

Katanya, untuk menyalurkan hobinya yang terpendam sangat dalam yaitu fotografi, istriku membutuhkan seorang model. Anak-anakku yang biasanya menjadi sasaran jepretannya kali ini tak mau ikut jalan-jalan. Maka, akulah yang dipaksa untuk menjadi model.


"Lihat ke depan. Jangan ke kamera. Relaks. Alami. Wajahnya jangan dibuat-buat, perutnya dikondisikan," perintahnya. 


Aku pun menuruti apa yang diperintahkannya.


"Kurang ekspresif. Gini lho," protesnya sambil memberi contoh dengan ekspresinya.


Kuulangi apa yang disuruhnya dengan menambah ekspresiku. Istriku kembali menjepret. Dilihat hasilnya.


"Ulangi lagi. Tatapan matanya yang lebih greget. Tangannya juga yang lebih kencang."


Kuulangi lagi apa yang istiku mau. Tapi menurut istriku hasilnya lebih buruk. 


Dia pun menyuruhku berpose yang lain. Beberapa posisi kuperagakan. Tetap saja. Tak ada yang sesuai dengan kemauannya.


"Udah ah. Susah. Apa adanya saja sih. Ekspresinya sudah ga bisa diapa-apakan lagi."


Istrikupun menyerah dan aku pun lega.

PUASA TARWIYAH


"Pa, besok puasa ya. Biar perutnya agak kempis sedikit tuh!"


Aku pun dengan penuh semangat mengiyakan walapun ada sedikit syarat.


"Kalau nggak kuat, boleh medot ya Ma? Soalnya besok di sekolah ada kegiatan pertemuan wali siswa. Biasanya ada snacknya" rayuku.

"Halah, wong snack sekerdus saja nggak kuat puasa," jawabnya.


Pagi itu, istriku membangunkanku untuk makan sahur. Dengan penuh semangat aku melahap nasi, mie, dan telor diakhiri dengan teh hangat.


Sahur pun sukses kulampaui. 


Di sekolah aku mengikuti kegiatan pertemuan wali siswa. Alhamdulillah mendapatkan snack sekerdus berisi lemper, brownies, ongol-ongol dan aqua. Tanpa kusadari, satu per satu isi kardus masuk dengan mulus ke perutku. 


"Alhamdulillah," aku bersyukur atas nikmat yang Tuhan berikan hari ini sambil bersendawa dan membuang kardus yang telah kosong ke tempat sampah.


Masih ada sisa-sisa lemper yang menempel di sela-sela gigi (selilit) dan berusaha kuambil dengan lidahku dan akan kutelan. Tiba-tiba aku tersadar bahwa aku sedang puasa. Seketika itu pula, kulepehkan selilit lemper yang hampir ku telan.


"Alhamdulillah," aku bersyukur untuk kedua kalinya," untung tidak jadi kutelan itu selilit. Bisa batal puasaku," kataku dalam hati.

TAK PUNYA ORANG DALAM

 


Pelajaran Bahasa Prancis tentang karangan narasi memang mengasyikkan. Tugas pertama, para siswa harus membuat karangan narasi tentang cita-cita. Ada subtema yang harus ditulis di karangan tersebut yaitu: 

1. Perkenalan

2. Cita-cita

3. Cara menggapai cita-cita

4. Faktor pendukung untuk meraih cita-cita

5. Faktor penghambat untuk meraih cita-cita.

6. Cara mengatasi hambatan.


"Silakan mulai dikerjakan. Buat dulu dalam Bahasa Indonesia kemudian ditranslate ke Bahasa Prancis," seruku.


Semua siswa mulai mengerjakan tugas membuat karangan narasi. Suasana menjadi tenang. Masing-masing siswa berkonsentrasi pada pekerjaannya masing-masing.


"Pak, saya punya cita-cita menjadi p**is* tapi kok pesimis cita-cita itu bisa saya wujudkan," kata salah satu siswa tiba-tiba memecah keheningan.

"Nggak boleh pesimis. Semua harus diperjuangkan," kataku menasehati.

"Tapi hambatannya terlalu besar Pak," keluhnya.

"Kalau boleh tahu, apa hambatannya?"

"Nggak punya orang dalam Pak."


🤦‍♂🤦‍♂🤦‍♂

BERDIRI SAMA TINGGI



Hari ini, setiap dua siswa harus memperagakan dialog tentang "Souhaiter" (memberi ucapan harapan) dalam Bahasa Prancis.


"Giliran selanjutnya adalah Ayuk dan Mentari," seruku.


Dua anak itu, Ayuk dan Mentari (tentu saja nama samaran) segera maju ke depan kelas.


"Sebentar Pak," sergah Ayuk tiba-tiba kembali ke bengkunya dan melepas sepatunya.


"Kok sepatunya di lepas?" tanyaku.

"Biar sama tinggi Pak," jawab Ayuk yang tanpa sepatu dan hanya berkaos kaki kemudian menjejeri Mentari yang masih memakai sepatu. 


"Nih, sekarang sudah sama tinggi kan Pak," kata Ayuk sambil merangkul Mentari.


Sepatu mereka berdua adalah sepatu pantofel warna hitam yang ber-heel kurang lebih 2 cm. Kini memang keduanya terlihat sama tinggi.


"Baiklah. Kamu memang setia kawan dan berhati mulia Ayuk. Tidak mau temanmu terlihat lebih pendek darimu, kamu memilih untuk mengurangi tinggimu."


👏👏👏

BELIBET

 


"Ya Tuhan, nggak bisa Pak," keluh seorang siswa ketika kusuruh mengucapkan kata "felicitation" (selamat) dalam Bahasa Prancis dalam kompetensi 'Memberi Ucapan Selamat kepada Orang Lain'

"Kamu harus berusaha," seruku memberi semangat

"Aduh, lidah Jawa seperti saya nggak bisa ngomong Prancis Pak." 

"Pasti bisa. Teman-temanmu saja bisa," desakku.


Dia mencoba lagi.

"Fecilitationg," ucapnya pelan-pelan.

"Felisitasiong," tuntunku.

"Fesilisationg."

"Kebalik. Felisitasiong,"

"Fesisilationg. Susah Pak. Nggak bisa,"

"Coba pelan-pelan. Fe-li-si-ta-siong," ejaku pelan-pelan.


Nampak titik-titik keringat mulai muncul di wajahnya


"Nggak bisa Pak. saya menyerah saja. Toh saya nggak pernah ketemu orang Prancis." ujarnya.

"Siapa tahu ada orang Prancis datang ke sekolah kita," kataku.

"Ya biar teman-teman saja yang ngomong. Saya akan diam saja."

"Siapa tahu kamu ketemu orang Prancis tersesat di Batang."

"Nggak mungkin orang Prancis tersesat di Batang. Mustahil," sahutnya.

"Kalau kamu ke Bali. Ketemu orang Prancis. Terus dia nanya-nanya ke kamu."

"Saya tinggal pergi saja. Sudahlah Pak, jangan paksa saya belajar Bahasa Prancis," desaknya.

"Tapi Bahasa Prancis adalah bahasa internasional kedua setelah Bahasa Inggris. Penting bisa berbahasa Prancis. Mumpung ada yang mengajari."

"Saya orang desa Pak. Lidah saya belibet kalau ngomong Prancis. Apa pentingnya sih Bahasa Prancis."

"Tapi jaman sekarang, dunia sudah semakin modern. Orang berkomunikasi tidak lagi terbatas. Antar negara, antar benua. "

"Nggak apa-apa saya tetap di desa, daripada saya harus belajar ngomong Prancis yang susah Pak," kata dia nampak putus asa.

"Kamu nggak pingin ke Prancis," tanyaku.

"Ya pingin. Pingin naik ke menara Eifel," jawabnya.

"Saya doakan kamu bisa ke Prancis." kataku.

"Amiiiin. Ya Allooh amiiiiin." jawab dia dengan penuh antusias.


Kedua tangannya diangkat ke atas. Lalu diusapkan ke wajahnya berkali-kali. Matanya berbinar-binar.


"Makanya belajar Bahasa Prancis."

"Iya Pak," jawabnya mantap.


"Ayo ulangi. Fe-li-si-ta-siong," tuntunku.

"Fe-li-si-ta-siong."

"Fesitilasiong."

"Fe-li-si-ta-siong."

"Felitisationg"

"Fe-li-si-ta-siong."

"Felisisationg."

"Fe-li-si-ta-siong."

"Felisitasiong."


"Tres bien," kataku sambil mengacungkan kedua jempolku.

"Horeeee," teriak dia kencang sekali dilanjutkan berselebrasi keliling kelas.


🏅🏅🏅🏆🏆🏆😘😘😘


*) gambar hanya pemanis (bukan buatan)

HOBI



Pagi ini, di kelas XI MIPA 1, para siswa mengulangi dialog tentang "Perkenalan" dalam Bahasa Prancis. 


Kutanya satu per satu nama, alamat, umur dan hobi. Untuk hobi, karena setiap siswa mempunyai hobi yang berbeda, maka kuberikan kosa kata tentang hobi: chanter (menyanyi), danser (menari), faire du sport (berolahraga), ecouter de la musique (mendengarkan musik, jouer de la guitare (bermain gitar), cuisiner (memasak) ecrire (menulis), dan lire (membaca).


"Anggun, quel est ton hobby?" (Anggun, apa hobimu?) tanyaku kepada Anggun (nama samaran ya)

"J'aime lire," (saya suka membaca) jawab Anggun dengan mantap.


Aku suka mendengar ada anak yang hobi membaca.


"Apa yang kamu baca? Buku pelajaran? Novel? Komik? Majalah?" tanyaku lebih lanjut.

"Saya sebenarnya tidak suka membaca. Saya suka memasak," jawabnya.

"Kenapa kamu memilih 'lire'? Bukan 'cuisiner'?" desakku.

"Karena lebih mudah mengucapkan 'lire' daripada cuzin..hmm. apa itu.. kuzine...ah...susah Pak," jawabnya dengan polos.


Dan aku hanya tepuk jidat.


🤦‍♂🤦‍♂🤦‍♂


*)gambar hanya pemanis.

URINOIR








Dari Semarang, aku dengan partnerku, Bu Arie, tiba di bandara Soekarno Hatta. Naik sebuah taxi online, kami menuju tujuan terakhir kami, sebuah hotel di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat untuk mengikuti PDT (Pre-Departure Training) dalam rangkaian kegiatan Australia-Indonesia Bridge School Partnerships Program.

Udara dingin di pesawat, bandara dan taxi yang kutumpangi membuat kandung kemihku terasa penuh. Tak tahan untuk segera buang air kecil, aku buru-buru menanyakan letak toilet ketika tiba di lobi hotel.

Mba resepsionis menunjukkan letak toilet dan aku setengah berlari menuju toilet. Aku memilih salah satu urinoir yang berjajar di toilet. Kutunaikan hajatku dengan sukses. Ada perasaan lega. Wajahku kembali ceria. Senyumku mengembang.

Namun aku bingung setengah mati usai menunaikan hajat. Tidak ada air. Air di urinoir tak keluar. Segi empat hitam di atas urinoir kutekan-tekan. Tetap saja air tak keluar. Sial. Wajahku kembali pucat.

"Cebok pakai apa nih?"

Mau pakai tissu, tissunya jauh tergantung di dekat pintu.

"Masa mau dioser-oserke ke tembok," batinku.

"Mas, ini urinoirnya rusak ya? Kok airnya nggak bisa keluar?" tanyaku kepada anak muda baru masuk yang juga akan menunaikan hajat sepertiku. Nampaknya dia petugas hotel karena seragamnya sama dengan Mba resepsionis.

"Itu pakai sensor Pak. Mundur sebentar nanti airnya keluar sendiri."

Kulakukan apa yang anak muda itu tunjukkan. Dan airnya keluar. Segera aku maju dan cebok. Kulakukan berkali-kali. Maju mundur. Maju mundur. Sampai *****ku bersih.

Sejak saat itu, aku belajar banyak tentang urinoir otomatis seperti ini.

Urinoir (berasal dari Bahasa Prancis) adalah tempat kencing bagi laki-laki yang biasa ditempel di dinding.

Ada dua jenis urinoir yaitu manual dan otomatis.

Urinoir manual mengeluarkan air untuk menyiram dan untuk cebok dengan memencet tombol yang terletak diatas porselin putih dan air keluar di seluruh sisi dalam urinoir dan melalui pipa kecil stanless stell.

Urinoir Otomatis bekerja dengan sensor yang mendeteksi keberadaan seseorang untuk mengeluarkan air. Ketika belum selesai buang air kecil di urinoir maka sensor akan menunda keluarnya air di urinoir.

Sepertinya urinoir ini diseting untuk orang yang ceboknya menggunakan tissu (seperti orang barat) atau bahkan nggak cebok. Karena air untuk menyiram akan keluar secara otomatis setelah orangnya pergi.

Lha kita kan terbiasa cebok dengan air.🤦‍♂🤦‍♂🤦‍♂

Maka, untuk mengeluarkan air, kita pura- pura pergi. Mundurlah sebentar sekitar  5 sampai 10 detik. Jangan lupa bilang "daaaghh". Mundur bukan berarti kalah. Kita mundur untuk menang. Jangan lupa sambil mundur, pegangi t*t*t kita dengan kencang supaya sisa air kencing tidak keluar dan koprat-kapret ke mana-mana. Ketika air di urinoir keluar, maka kita harus cepat-cepat maju sebelum air berhenti mengalir.

Apabila merasa belum bersih, maka ulangi tindakan di atas.

Repot kan menggunakan urinoir otomatis?

Tapi urinoir ini sudah ada di tempat-tempat umum di Indonesia: bandara, hotel dan sebagainya. Maka kita tidak boleh bosan memegangi t*t*t maju mundur. Atau kita pakai tissu saja, nanti di rumah kita bersihkan pakai air.