Dung...dung....dung...dung.....dung. Suara kentongan raksasa di balai desa menggema ke seluruh penjuru desa. Suara itu berjeda beberapa detik kemudian diakhiri dengan suara dung dua kali menunjukkan sekarang waktu menunjukkan jam dua.
Kemudian "tong...tong...tong...tong..." menyusul terdengar suara kentongan dari langgar Eyang Azis dengan nada yang sama. Pak Rijal juga terbangun kemudian menuju ke depan rumah untuk memukul kentongan yang tergantung di depan rumah di dekat pintu. Kemudian diikuti oleh suara kentongan lain di kejauhan. Semua suara kentongan bernada sama diakhiri dengan dua kali pukulan setelah jeda beberapa detik.
Dengan mata yang masih setengah tertutup oleh jetet, Sri melangkahkan kaki ke dapur. Sri menghangatkan sayur pecak terong dan menggoreng tiga telur ayam yang diambil dari petarangan Si Jali.
"Sudah siap Sri?" tanya Mak Munhiyah menyusul dari belakang.
"Sudah Mak. Tinggal bikin teh dan kopi buat Bapak," jawab Sri.
"Iya. Biar emak yang bikin teh dan kopi.
Mak Munhiyah menyeduh teh dalam sebuah teko dan membuat kopi gula jawa untuk Pak Rijal dengan gelas complong.
Setengah jam kemudian, terdengar suara kentongan besar balai desa. Namun tak ada dua pukulan di belakangnya. Disusul dengan suara kentongan di mana-mana. Jam dinding menunjukkan pukul setengah tiga.
Nasi, sayur pecak terong dan telur goreng, teh hangat dan kopi gula jawa sudah tersaji di meja makan. Pak Rijal memimpin doa makan.
"Sri, kira-kira kamu bisa diterima kuliah nggak?" tanya Mak Munhiyah.
"Doakan ya Mak. Mudah-mudahan diterima. Bapak juga," jawab Sri.
"Iya. Tinggal berdoa kepada Gusti Allah," kata Pak Rijal.
"Kalau kamu diterima, kamu benar-benar mau sambil mondok? " tanya Mak Munhiyah.
"Insyaalloh Mak. Sri merasa pengetahuan agama Sri kurang sekali. Jadi Sri pingin mondok. Kalaupun nggak diterima Sri juga mau mondok saja," ungkap Sri.
"Iya Sri. Perempuan juga harus punya pengetahuan agama yang baik. Biar hidupmu tak terjerumus. Terus kamu sudah mantap di pondok yang ditunjukkan Mas Yanto?" lanjut Pak Rijal.
"Insyaalloh. Sri juga sudah tanya ke Maesaroh tentang pondok pesantren yang ditunjukkan Mas Yanto. Katanya sangat dekat dengan kampus UGM, IKIP, IAIN dan UII. Pokoknya wilayah kota," terang Sri.
"Nggak cari pondok yang lain saja Sri?" sela Mak Munhiyah.
"Nanti Sri cari informasi lagi tentang pondok pesantren lain yang ada di Jogja," jawab Sri.
"Kenapa si Mak harus nyari pondok pesantren lagi. Kok Emak kayak nggak setuku. Karena itu rekomendasi Mas Yanto?" tanya Pak Rijal.
Mak Munhiyah terdiam. Mukanya dilipat. Bibirnya membentuk lintasan parabola dengan nilai a< 0. Cemberut.
"Nggak usah membahas pondok dulu Mak, Pak. Wong belum jelas diterima apa tidak. Pengumumannya juga masih lama."
Dung...dung....dung...dung.....dung. Suara kentongan raksasa di balai desa kembali bergema. Diakhiri dengan "dung" empat kali. Tak terasa sekarang sudah jam empat. Sebentar lagi imsak.
Pak Rijal, Mak Munhiyah dan Sri bersiap-siap berangkat ke langgar Eyang Azis.