alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Rabu, 23 Maret 2022

MAKAN SAHUR

 Dung...dung....dung...dung.....dung. Suara kentongan raksasa di balai desa menggema ke seluruh penjuru desa. Suara itu berjeda beberapa detik kemudian diakhiri dengan suara dung dua kali menunjukkan sekarang waktu menunjukkan jam dua. 


Kemudian "tong...tong...tong...tong..." menyusul terdengar suara kentongan dari langgar Eyang Azis dengan nada yang sama. Pak Rijal juga terbangun kemudian menuju ke depan rumah untuk memukul kentongan yang tergantung di depan rumah di dekat pintu. Kemudian diikuti oleh suara kentongan lain di kejauhan. Semua suara kentongan bernada sama diakhiri dengan dua kali pukulan setelah jeda beberapa detik.


Dengan mata yang masih setengah tertutup oleh jetet, Sri melangkahkan kaki ke dapur. Sri menghangatkan sayur pecak terong dan menggoreng tiga telur ayam yang diambil dari petarangan Si Jali. 


"Sudah siap Sri?" tanya Mak Munhiyah menyusul dari belakang.

"Sudah Mak. Tinggal bikin teh dan kopi buat Bapak," jawab Sri.

"Iya. Biar emak yang bikin teh dan kopi.


Mak Munhiyah menyeduh teh dalam sebuah teko dan membuat kopi gula jawa untuk Pak Rijal dengan gelas complong.


Setengah jam kemudian, terdengar suara kentongan besar balai desa. Namun tak ada dua pukulan di belakangnya. Disusul dengan suara kentongan di mana-mana. Jam dinding menunjukkan pukul setengah tiga.


Nasi, sayur pecak terong dan telur goreng, teh hangat dan kopi gula jawa sudah tersaji di meja makan. Pak Rijal memimpin doa makan.


"Sri, kira-kira kamu bisa diterima kuliah nggak?" tanya Mak Munhiyah.

"Doakan ya Mak. Mudah-mudahan diterima. Bapak juga," jawab Sri.

"Iya. Tinggal berdoa kepada Gusti Allah," kata Pak Rijal.

"Kalau kamu diterima, kamu benar-benar mau sambil mondok? " tanya Mak Munhiyah.

"Insyaalloh Mak. Sri merasa pengetahuan agama Sri kurang sekali. Jadi Sri pingin mondok. Kalaupun nggak diterima Sri juga mau mondok saja," ungkap Sri.

"Iya Sri. Perempuan juga harus punya pengetahuan agama yang baik. Biar hidupmu tak terjerumus. Terus kamu sudah mantap di pondok yang ditunjukkan Mas Yanto?" lanjut Pak Rijal.

"Insyaalloh. Sri juga sudah tanya ke Maesaroh tentang pondok pesantren yang ditunjukkan Mas Yanto. Katanya sangat dekat dengan kampus UGM, IKIP, IAIN dan UII. Pokoknya wilayah kota," terang Sri.

"Nggak cari pondok yang lain saja Sri?" sela Mak Munhiyah.

"Nanti Sri cari informasi lagi tentang pondok pesantren lain yang ada di Jogja," jawab Sri.

"Kenapa si Mak harus nyari pondok pesantren lagi. Kok Emak kayak nggak setuku. Karena itu rekomendasi Mas Yanto?" tanya Pak Rijal.


Mak Munhiyah terdiam. Mukanya dilipat. Bibirnya membentuk lintasan parabola dengan nilai a< 0. Cemberut.


"Nggak usah membahas pondok dulu Mak, Pak. Wong belum jelas diterima apa tidak. Pengumumannya juga masih lama."


Dung...dung....dung...dung.....dung. Suara kentongan raksasa di balai desa kembali bergema. Diakhiri dengan "dung" empat kali. Tak terasa sekarang sudah jam empat. Sebentar lagi imsak.


Pak Rijal, Mak Munhiyah dan Sri bersiap-siap berangkat ke langgar Eyang Azis.



Senin, 21 Maret 2022

NGABUBURIT

Puasa hari pertama memang berat. Perut yang terbiasa penuh, tenggorokan yang tak pernah kekeringan dipaksa untuk menahan asupan makanan dan guyuran air sampai maghrib.


"Kita ngabuburit dekat kebun tebu di sebelah timur sungai yuk, melihat burung manyar," ajak Dirin tiba-tiba. Tadi pagi mereka gagal menyusun rencana. Urusan pinang dan marudin berbuntut panjang dan perlu penyelesaian secara serius yang membuyarkan seluruh musyawarah yang sedang mereka susun.


Dalam keadaan lemas lunglai, Dirin, Edi, Eko, Afif dan Leman tak kuasa untuk menolak ajakan Dirin. Dalam keadaan seperti itu ide mereka seperti mampat. Mereka hanya bisa mengiyakan.


Dipinggir kali, di bawah pohon maja (aegle marmelos), Dirin, Edi, Eko, Afif dan Leman duduk di atas batang pohon kelapa yang tumbang. Beberapa buah maja berwarna hijau mengkilap sebesar bola bowling di atas mereka sama sekali tak menarik karena tak bisa dimakan atau dimanfaatkan untuk apapun. 


Sambil menikmati angin semilir, mereka menikmati hijaunya sawah yang sudah mulai rapat. Nampak di kejauhan, Kang Sihin sedang membersihkan wangan dari rumput dan gulma supaya airnya laancar. Gemericik air sungai meredam panasnya matahari di siang menjelang sorer. "Shiiiiir.... Tiuuuuuu", suara burung sirtu hijau (aegithina tiphia) yang bertengger di batang pohon cangkring yang menjuntai ke atas sungai semakin menentramkan hati.


"Untung tadi kita dibilangin Eyang Azis. Kita jadi nggak melakukan perbuatan dosa," kata Dirin.

"Aku tidak jadi makan marudin harammu itu ya Rin," lanjut Afif.

"Alhamdulillah masih ada Eyang Azis yang suka mbilangin kita ya Fif. Jadi kita tidak terjerumus," tegas Dirin.


Burung kuntul berdiri di pematang menunggu belut atau katak yang lupa ingatan, siang-siang muncul karena tak memperhatikan jam. Burung paruh udang sedang mengawasi ikan bethik (anabas testudineus) di got yang airnya mengalir deras.


"Ini dia yang ditunggu-tunggu," kata Dirin.

"Ada apa Rin?" tanya Edi.

"Lihat di sana!"


Dirin menunjuk ke arah timur, ke perkebunan tebu di seberang sawah. Segerombolan burung manyar terbang di atas kebun tebu.  Ribuan burung itu terbang membuat tarian manyar yang sangat indah. 

"Mumpung Kaki Tadi nggak kelihatan. Kita ke kebun tebu yuk," ajak Edi.

"Mau ngapain?" tanya Eko.

"Biasa lah. Satu dua batang tebu kayaknya enak," jawab Edi.

"Hush, ini bulan puasa," sergah Afif.

"Ya nggak dimakan sekarang. Buat nanti malam lah," lanjut Edi.

"Ealah, bukan tebunya yang nggak boleh dimakan sekarang. Tapi mencurinya yang nggak boleh. Ini bulan puasa. Kata Eyang Azis, puasa tidak hanya menahan lapar dan haus. Tapi juga menahan diri untuk tidak mencuri, berbohong, ngomongin orang, dan lain-lain," terang Afif.


Edi tak bisa berkata-kata lagi. Tenggorokannya terasa semakin kering. 

JUDI

"Dirin," panggil Eyang Azis setelah jama'ah sholat dluhur mendatangi Dirin yang sedang bersama Eko, Afif ,Edi dan Leman di beranda langgar untuk membahas acara ngabuburit sore ini.

"Dalem Eyang. Ada apa Eyang?" tanya Dirin.

"Eyang mau tanya. Hari ini Dirin puasa kan?"

"Puasa Eyang," jawab Dirin. 


Hati Dirin sudah tak karuan. Ini pasti ada hubungannya dengan buah pinang tadi pagi.


"Tadi Eyang putri penasaran. Kok pagi-pagi Dirin sudah metik buah pinang. Jangan-jangan mau beli jajan," ungkap Eyang Azis.


Nah benar kan dugaannya.


"Sebenarnya iya Eyang. Tadi pagi hampir kelupaan. Mau beli marudin buat Afif," jelas Dirin.

"Iya Eyang saya juga hampir lupa kalau hari ini puasa. Jadi minta dibelikan marudin saat itu juga," sela Afif.

"Soalnya begini Eyang. Afif kan menang tebak-tebakan. Jadi berhak mendapat hadiah marudin,"  terang Dirin.

"Kan awalnya yang minta marudin kamu Rin. Aku kan mintanya buah salam," sanggah Afif.

"Tebak-tebakan apa?" tanya Eyang Azis.

"Nomor kendaraan yang lewat di perempatan patrol, ganjil atau genap. Afif menang dengan skore 7-4. Karena saya kalah, saya harus membelikan marudin untuk Afif. Makanya tadi pagi nyari buah pinang untuk dijual ke Eyang Putri," lanjut Dirin.

"Ealaaah... Kalian ingat nggak beberapa waktu lalu kenapa Mak Ruroh nangis-nangis mengadu ke eyang?" tanya Eyang Azis.

"Karena uangnya Mak Ruroh dihabiskan suaminya Kang Udin untuk judi," jawab Leman.

"Judinya apa?" pancing Eyang Azis.

"Tebak-tebakan nomor kendaraan bersama teman-temannya sesama tukang becak di perempatan patrol?" jawab Eko.

"Oh yang katanya setiap menebak harus pasang seribu perak itu ya Ko?" tanya Dirin.

"Iya," jawab Eko.

"Tapi kan itu pakai uang. Saya sama Afif cuma pakai marudin," kata Dirin membela diri.

"Kan sama saja. Kalau Kang Udin pakai uang. Kamu pakai marudin," tegas Eko.


Kali ini Dirin tak berkutik.


"Nah, Eko saja tahu." lanjut Eyang Azis.

"Tapi saya masih punya hutang harus membelikan Afif marudin. Gimana Eyang?"

"Mumpung belum beli, batalkan nggak usah beli. Nanti malam setelah tarawih, kalian jangan pulang dulu. Eyang putri sudah bikin marudin banyak untuk bandungan."

"Siap Eyang. Nanti biar kami yang menyiapkan tehnya. Afif, Leman, Eko, Edi. Siap ya?"

"Siap," jawab mereka serempak.

Sabtu, 19 Maret 2022

TEBAK-TEBAKAN

Hari pertama puasa, Dirin dan kawan-kawan sudah janjian untuk jalan-jalan ke perempatan patrol setelah sholat subuh.


"Rame ya!" celetuk Afif.

"Iya lah. Setiap puasa kan orang-orang jalan-jalan ke patrol lihat bus," jawab Eko.


Ya betul. Banyak orang yang jalan-jalan setelah subuh pada bulan ramadlan. Selain karena pada bulan ramadlan anak sekolah libur, pekerjaan kantoran masuk lebih siang, pekerjaan di sawah juga diundur sampai setelah lebaran, emak-emak sudah tidak memasak untuk sarapan. 


Jalan-jalan hanya bisa dilakukan pada bulan ramadlan. Selain bulan itu, tak ada orang yang menyengaja jalan-jalan karena aktivitas harian yang harus dilakukan sejak pagi. 


Tujuan bersama dari aktivitas jalan-jalan adalah perempatan patrol. Karena di patrol banyak kendaraan lewat yang bisa dilihat. Walaupun sudah tahu di perempatan patrol banyak kendaraan lewat, tapi tidak setiap waktu orang ke perempatan patrol untuk sekedar melihat bus atau truk yang lewat kecuali ada keperluan pergi ke kota. 


"Kita tebak-tebaka yuk!" ajak Afif ketika mereka sudah sampai di perempatan patrol dan duduk-duduk di bawah pohon mahoni.

"Tebakan apa Fif?" tanya Dirin.

"Nomor kendaraan yang lewat, ganjil atau genap?" terang Afif.

"Yang kalah beliin marudin ya!" kata Dirin.


Marudin adalah makanan terbuat dari singkong diparut, diberi bumbu, dikukus, dipotong-potong berbentuk jajaran genjang  lalu digoreng.


"Tapi aku nggak punya duit," kata Afif.

"Yah, gitu kok nantang tebak-tebakan,"

"Ya udah, yang kalah metikin buah salam di pinggir kali,"

"Nggak mau. Pokoknya marudin,"

"Waduh dari mana dapat uangnya?"

"Fif...fif. Kan kita bisa cari jambe. Jual ke Eyang Aziz putri. Uangnya buat beli marudin," jelas Dirin.


Jambe atau pinang adalah komponen pokok untuk makan sirih selain sirih, kapur enjet, dan tembakau. Hampir semua perempuan generasi 45 masih makan sirih dan mereka menanam pohon sirih di rumahnya tapi tidak dengan pohon pinang. Pohon pinang banyak tumbuh di pinggir kali. Inilah salah satu sumber mata pencaharian Dirin dan kawan-kawan untuk mendapatkan uang jajan.


"Oh iya. Ide bagus,"

"Ayo kita mulai,"


Mereka saling menebak kendaraan yang lewat. Masing-masing mempunyai sepuluh kali kesempatan untuk menebak. Skor akhir 7 - 4 untuk Afif. 


Sepulang jalan-jalan, Dirin segera ke pinggir kali mecari jambe muda yang pas untuk makan sirih. Setelah mendapatkan satu tangkai berisi puluhan pinang, Dirin berlari ke rumah Eyang Azis.


"Kok gasik sekali sudah nyari pinang,"

"Iya Eyang. Soalnya uangnya mau buat beli marudin,"

"Maaf ya Dirin, pinang eyang putri masih ada. Lagian ini kan bulan puasa. Eyang putri makan sirih cuma sekali setelah sahur. Lha Dirin pagi-pagi kok mau beli marudin. Dirin nggak puasa? 


Dirin merasa mau pingsan. Wajahnya berubah pucat. Tapi berhasil ditahannya.


"eh iya ding. Lupa Eyang,"


"Ya sudah Eyang,. Nanti sore saja jual pinangnya,"

Jumat, 18 Maret 2022

BULAN PUASA TELAH TIBA

Bulan Puasa benar-benar telah tiba. Dari langgar Eyang Aziz, kentongan terdengar bertalu-talu dan suara Kang Badi (tanpa TOA) terdengar mendayu-dayu mengumandangkan adzan isya'. Lampu teplok minyak tanah dipasang di empat sudut langgar.

Anak-anak telah berkumpul lebih dahulu di langgar untuk bersama-sama melantunkan puji-pujian khusus yang telah lama mereka rindukan yang hanya dilantunkan pada malam bulan ramadhan:


Nawaitu shouma ghodin 'an ada i

Fardhi syahri, romadloni hadzihi sanaati

Fardo lillahi ta'ala


Niat ingsun puoso tutuko ing sedino ngesuk

Saking nekani ferdune wulan romadlon sajerone tahun iki.


Malam pertama bulan Ramadlan ini, langgar Eyang Azis benar-benar penuh. Orang tua dan anak-anak tak mau melewatkan moment awal ramadlan. Langgar bagian depan dipenuhi laki-laki, sedangkan emak-emak berada di shaf bagian belakang. Melihat, jama'ah telah penuh, Kang Badi mengumandangkan Iqomah. Bilal tarawih tetap dipegang oleh Eyang Mahali, tak tergantikan.


Dua puluh raka'at tarawih ditambah tiga raka'at witir dilalui dengan penuh semangat. Selesai tarawih, sebagaimana biasa pada malam Ramadlan, beberapa laki-laki menunggu kegiatan selanjutnya yaitu "bandungan", membaca Al-Qur'an secara bergantian. Pak Rijal rutin mengikuti bandungan ini.


Beberapa emak juga tidak langsung pulang dan mengobrol sebentar sampai bandungan dimulai.


Eyang putri Azis dibantu Sri dan anak-anak perempuan yang biasa mengaji di langgar, mengeluarkan teh dan makanan kecil sekedarnya untuk emak-emak yang masih tinggal termasuk Mak Munhiyah.


Khusus untuk kelompok bandungan, disediakan teh satu ceret beserta makanan kecil. Untuk malam ini, pisang goreng.


Sembari duduk selonjor mengendorkan kaki, menikmati teh hangat, dan ngobrol santai, diam-diam mereka menunggu Eyang Aziz memberi wejangan. Kali ini, Eyang Azis mewajang: 


"Puasa ora mung raga. Ning kudu tekan batin lan jiwa."


(puasa itu tidak hanya fisik, tapi harus sampai ke batin dan jiwa)

MENYAMBUT LEBARAN


Satu minggu menjelang lebaran, Pak Rijal sudah membeli cat oker warna hijau muda di sebuah toko bangunan di kota kecamatan untuk mengganti cat rumahnya yang sebelumnya berwarna kuning kluwus. Tentu saja beserta perlengkapannya yaitu kuas. 


Kang Jumari memilih kapur untuk memperbaharui warna dinding rumahnya dari warna putih menjadi putih lagi. Bedanya warna putih sebelumnya sudah kusam dan pudar, warna putih yang baru lebih cerah dan terlihat baru. Cairan kapur didapat dengan membeli brangkal (bongkahan batu kapur) di toko kapur Pak Iskak. Batu kapur itu dicampur air dengan komposisi yang telah ditentukan. Air akan mendidih dan batu kapur akan meleleh. Setelah dingin, adonan tersebut diaduk dan dengan kuas yang terbuat dari dari seikat batang pohon padi siap digunakan untuk mengecat pagar, dinding rumah, dan apa saja dengan warna putih polos. Tak ada warna lain selain putih. Dan itu warna yang terpaksa disukai oleh orang-orang sekelas Kang Jumari dan teman-teman gepyoknya.


Mak Munhiyah  Yu Sumiati, Yu Muningah, Yu Honimah, Yu Musniah dan emak-emak yang lain sibuk mempersiapkan makanan yang akan disajikan di hari raya. Besta pisang kapok kuning, rengginang, kue satu adalah cemilan khas yang harus ada di meja setiap rumah.


Di dapur, Sri dan Mak Munhiyah menumbuk kacang hijau dan gula pasir yang telah disangrai di sebuah lumpang. "Duk, dak, duk, dak" alu Sri dan Mak Munhiyah yang terbuat dari kayu batang pohon kelapa tua bergantian menghujam ke dalam lumpang. Tak ada benturan satu sama lain. Seiring seirama, beraturan dan bergantian. Kacang hijau di dalam lumpang pun begitu tenang bersahaja menerima tumbukan. Tak ada loncatan atau taburan yang terburai keluar sampai benar-benar lembut dan siap untuk disaring dengan ayakan tepung sebelum dicetak jadi kue satu.


Di rumah Yu Sumiati tercium aroma sriping pisang yang telah digoreng matang sebelum diadon dengan gula cair dan kemudian dijemur seharian. Pisang yang digunakan adalah pisang kapok kuning yang masih mentah. Pisang kapok kuning seakan menjadi buah endemik desa Bajong. Di mana-mana bisa tumbuh dan buahnya selalu bagus. Hampir setiap orang menanam pisang ini. Maka, pisang ini dijadikan sajian utama pada Hari Raya Idul Fitri.


Yu Honimah sedang menjemur nasi ketan yang telah dicetak bulat pipih dan siap digoreng menjelang lebaran. Tak lupa kaleng bekas Khong Guan pemberian dari anak Yu Musniah dikeluarkan dari lemari dan dibersihkan kembali. Kaleng istimewa itu dikeluarkan setahun sekali dan khusus untuk diisi rengginang.


Tak mau ketinggalan dengan yang lain, Dirin dan kawan-kawannya penuh antusias dan kebahagiaan menyambut hari raya. Berbeda dengan teman-temannya macam anaknya Pak Hakam, juragan cengkeh, padi dan segala macam hasil bumi yang punya uang lebih untuk membeli petasan merk Leo, Kuda Terbang, mercon bantingan atau mercon cengisan di kota kecamatan, Dirin dan teman-temannya memilih untuk membuat petasan sendiri. Mereka menyiapkan batang bambu bagian pangkal  untuk membuat petasan bumbung. Bagian pangkal lebih tebal dan kuat dengan ruas yang pendek-pendek sehingga tahan terhadap ledakan. Bambu sepanjang satu meter berlubang di ujung dan dibiarkan tertutup di bagian pangkal.


Bermodal minyak tanah atau karbit serta lampu sentir sebagai pemantik api, mereka meniup dan menyulut lubang bambu masing-masing yang diletakkan dengan kemiringan 15 derajat agar minyak tanah di pangkal bambu tidak tumpah.


"Dung"

"Dung"

"Dung"


Bak meriam Belanda, suara petasan bumbung bersahutan. Asap mengepul dan terlempar dari ujung bambu. Tupai di pelepah daun kelapa gading menjingkat kaget, hampir jatuh, dan segera lari terbirit-birit.

Kamis, 17 Maret 2022

ES PUASA




Klining...klining..

Es...es...


Suara kliningan yang terbuat dari bel sepeda bekas yang diberi gagang kayu dan  bandul dari mur yang diberi tali ditengah2 kliningan menimbulkan bunyi hanya dengan menggoyang-goyangkan gagangnya. Dimantapkan dengan suara penjualnya "es..es" menunjukkan bahwa penjual es sedang berkeliling menjelang maghrib. 


Wanto, Toha, Tukimin dan Edi memanfaatkan momentum puasa untuk berjualan es menjelang buka puasa. Mereka mengambil es dari seorang juragan Cina di kota kecamatan. Hanya di kota kecamatan, es bisa diproduksi karena hanya kota kecamatan yang sudah dialiri listrik. Dan hanya pengusaha yang sebagian besar adalah orang Cina yang mempunyai freezer pembuat es.


Berjalan kaki melalui pematang sawah untuk mempersingkat jarak tempuh, mereka berangkat setelah asar dan sampai di desa tepat menjelang maghrib.


Masing-masing anak membawa termos es panjang bertutup kayu yang ketika dibuka berbunyi "pluk". Berkeliling dari rumah ke rumah, es dengan bentuk yang khas bergagang bambu yang mereka bawa terjual laris manis diserbu anak-anak.


Esoknya mereka akan kembali ke kota kecamatan untuk setor hasil penjualan dan kembali membawa es untuk dijual lagi.

LAMPU SENTIR RAMADLAN


Seminggu menjelang Ramadlan, aroma udara yang berubah, aroma puasa. Tak bisa digambarkan tapi terasa dengan jelas. Alam selalu memberitahu bahwa ramadlan akan segera tiba. Matahari bersinar sendu dan tak begitu menyengat. Sore hari terasa hangat, udara terasa sedikit kering tapi nyaman walaupun musim hujan baru saja berlalu. Suasana terasa syahdu.


Semua orang bergembira menyambut datangnya bulan Ramadlan. Semua orang bersiap-siap untuk menyambut bulan ini. Sri meluangkan waktu untuk membersihkan rumah dan halaman secara khusus, mengelap kaca jendela dan pintu, membersihkan sawang (rumah laba-laba) yang menggelantung di bawah usuk dengan sapu ijuk bertangkai panjang dan menyapu lantai semen yang di sana-sini sudah banyak yang berlubang, memotong teh-tehan dan membersihkan rumput di depan rumah. Mak Munhiyah mencuci mukena, sajadah dan sarung, membersihkan semak, rumput, memotong daun-daun pisang kering yang menjuntai dan menjadi sarang codot, menyapu sampah di kebun, dan membakarnya.


Pak Rijal menebang beberapa bambu berukuran kecil di kebun belakang rumah.


"Mau bikin lampu sentir ya Pak?" tanya Sri.

"Iya. Kan sudah adatnya bikin lampu sentir dari bambu setiap bulan puasa," jawab Pak Rijal.

"Bikin berapa Pak?" tanya Sri.

"Untuk depan rumah kanan kiri, dua lampu dengan satu sumbu. Untuk jalanan setapak di belakang rumah, bikin tiga lampu masing-masing tiga sumbu. Untuk dekat sumur bagian luar, satu lampu dengan satu sumbu. Nanti tugasmu setiap sore menyalakan lampunya dan mengecek minyak tanahnya,"

"Iya Pak," jawab Sri.


Dengan cekatan, Pak Rijal memotong bambu berukuran 1,5 meter sebagai tiangnya yang bagian bawahnya dibuat runcing untuk ditancapkan ke tanah. Untuk lampu sentir bersumbu satu, tiang berfungsi sekaligus sebagai lampu. Ada ruas tempat minyak di atasnya. Jadi ruas bambu bagian atas disisakan sepanjang kurang lebih 20 centimeter sebagai tempat minyak tanah.


Sedangkan untuk lampu sentir yang bersumbu tiga, Pak Rijal memotong satu ruas bambu tersendiri yang ujung kanan kirinya rapat. Kemudian dibuat tiga buah lubang sebagai tempat sumbu. Ruas ini dipasang secara hotisontal dengan sebuah tiang di bawahnya.


Untuk tempat sumbunya, Pak Rijal memanfaatkan kaleng bekas. Kaleng tersebut dipotong jadi sebuah lembaran. Dari lembaran ini, dibuat lingkaran berdiameter kurang lebih 4 centimeter dan ditengahnya dilubangi kurang lebih 5 milimeter sebagai tempat tatakan sumbu. Batang pegangan sumbu ini juga dibuat dari lembaran kaleng bekas. Kaleng dipotong persegi empat dengan ukuran 3 cm x 3 cm. Kemudian digulung  membentuk tabung dengan diameter kurang lebih 5 milimeter dan tinggi tabung 3 centimeter. Ujung batang pegangan sumbu ini dimasukkan ke tatakan dan dikencangkan. Untuk sumbunya, Pak Rijal memanfaatkan kain bekas daster Mak Munhiyah.


Sumbu, dan bambu dirangkai menjadi lampu sentir dan ditancapkan di tempatnya masing-masing. Sri menuangkan minyak tanah yang dibelinya di warung Pak Budi ke masing-masing lampu.


Lampu sentir siap dinyalakan di setiap malam bulan Ramadhan. Dengan lampu-lampu sentir yang dibuat oleh semua warga, orang tidak takut lagi pergi ke langgar atau masjid untuk "bandungan", membaca Al-Qur'an bersama sampai larut malam.


Setiap pagi, Sri tidak perlu mematikan lampu-lampu sentir ini satu per satu karena  ketika hari sudah siang, siapapun yang lewat akan meniup dan mematikan lampu sentir yang masih menyala.