alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Senin, 24 Agustus 2020

PERIKSA

"Pak Basuki. Ruang empat belas," suara keras dari toa kecil di sudut ruangan menggema di ruang tunggu Puskesmas.


Aku segera masuk ke ruang empat belas, ruang dokter umum. Ada tiga meja di sana. Meja pertama, aku ditemui dua orang ibu memakai APD (Alat Pelindung Diri) lengkap, baju macam jas hujan, sarung tangan karet, face shield. Di meja pertama ini, tekanan darahku diukur dengan tensimeter. Diikat dengan alat semacam perban berperekat kemudian dipompa dan dikempiskan. 

"100/70 Pak," katanya.

"Tinggi sekali ya Bu?" tanyaku penasaran.

"Ini rendah sekali Pak," jawabnya

"Sakit sudah sejak kapan Pak?" tanyanya

"Sejak hari Rabu bu,"

"Apa yang Bapak rasakan selama ini?"

Aku menceritakan semuanya. Tentu saja tentang sakitku. bukan tentang hutang-hutangku. Petugas yang satu mencatat semua data.


"Cukup Pak. Silahkan pindah ke bu dokter."


Aku menuruti perintahnya untuk bergeser ke meja sebelah yang ternyata dokter yang sebenarnya. Aku ditemui seorang dokter muda, (kayaknya) cantik, memakai masker, berambut pendek, berbaju khaky seragam PNS hari Senin, dan di lehernya berkalung stetoskop.


"Mohon geser lagi Pak. Sesuai dengan garis batas," kata bu dokter.


Rupanya ada garis di lantai, tepat di bawah kaki kursi dan tertulis "garis batas". Tadi aku duduk menghadap ke bu dokter, kaki dan lututku melanggar batas, maka sekarang aku harus duduk menyampingi bu dokter. Setelah aku duduk dengan tenang, bu dokter membacakan catatan yang tadi sudah ditulis oleh ibu di meja pertama. Aku hanya mengiyakan sambil menganggukkan kepala.


"Ok Pak. Cukup. Silahkan bapak pindah ke meja berikutnya!" perintah bu dokter.


Aku bergeser ke meja ketiga. Tak lupa, aku meminta surat keterangan dokter untuk ijin ke kantor.


Selesai.. Aku diberi dua lembar kertas hasil coretan tiga orang di ruang ini untuk diserahkan ke loket obat.


Bersamaan dengan namaku dipanggil di loket obat, surat keterangan pun telah jadi.


SAKIT

Sejak hari Rabu, aku tidak enak badan, kepalaku pusing. Hari itu aku ijin sakit walaupun akhirnya diganti menjadi WFH di program presensi online sehingga aku bisa absen dari rumah. Karena kupikir hanya butuh istirahat sebentar, aku tidak ke dokter. Cukup dengan sebutir pa**m*x membeli di warung tetangga.


Benar saja, sakit kepalaku sembuh, tapi pada malam hari perutku kembung. Istriku kuberdayakan untuk "ngeroki" punggungku dengan sempurna sampai terbentuk lukisan indah nan mempesona.


Namun, pada pukul 03.00 sepertiga malam, badanku mendadak demam. Kali ini, geliga dan dua buah selimut kumanfaatkan. Aku bertekad, paginya aku harus ke dokter. Ealah, setelah muter-muter ke dokter praktek, semuanya tertulis "HARI BESAR DAN HARI MINGGU TUTUP".  Ah iya, hari ini adalah Tahun baru hijriyah. Hari itu, aku gagal menemui dokter. Untungnya pada, badanku sudah terasa enak. Sudah tak panas dan lumayan bugar. Hari itu aku hanya membeli Vermin, ekstrak cacing di sebuah apotik yang tetap buka karena indikasinya mengarah ke sakit typus.


Namun pada malam Jum'at, aku kembali demam. Dan pada hari Jum'at aku kembali berkeliling mencari dokter, hasilnya masih sama dengan hari Kamis. Hari ini cuti bersama. Siangnya badanku kembali bugar.


Malam Sabtu dan hari Sabtu, aku sudah tak merasa sakit. Aku bahkan meneruskan membuat behel, besi kolom untuk mengecor balek rumahku. Dan hasilnya adalah aku kembali lemes dudes dan berkunang-kunang.


Hari Minggu ini, aku kembali merasa sakit

Badanku nggreges, kepala pusing dan perut mual. Selepas maghrib, aku demam. Badanku panas. Istriku membelikanku  obat penurun panas. Sebelum minum obat, istriku mengambilkanku makan. Sepiring sop dan nasi sedikit dengan lauk tahu. 


Sambil makan, istriku meneliti tanganku dengan senter di HP, jangan-jangan terkena demam berdarah.


"Ada bercak-bercak nih Pa," kata istriku menemukan bintik-bintik hitam di tanganku.

"Bukan. Itu belang bekas koreng," jawabku.

"Oh."


Setelah makan malam, obat kuminum dan dua buah selimut menempel di tubuhku.


Sambil memeluk tubuhku yang menggigil, dia berkata, "Ya Alloh, pindahkanlah panas suamiku ke tubuhku,"

So sweet kan. 


Tapi sambil menggigil, aku juga berdoa dalam hati, "jangan ya Alloh. Lebih baik kau sembuhkan saja. Biar nggak repot. Nanti kalau panasnya pindah ke tubuh istriku, giliran aku yang akan berdoa pindahkan panasnya ke tubuhku lagi. Engkau pasti bingung."

Kamis, 20 Agustus 2020

DOA YANG DIKABULKAN

"Kang, aku terlalu banyak dosa. Doaku sudah tidak maqbul," lapor Kyai Durrohim kepada sahabatnya.

"Kenapa Sampeyan bilang begitu. Urusan doa dikabulkan atau tidak itu bukan urusan kita. Kewajiban kita hanya berdoa," jawab Kyai Sobar.

"Tapi terkabulnya doa kan tanda kedekatan kita kepada Yang Kuasa," kata Kyai Durrohim.

"Tidak juga. Ada banyak tanda kita dekat dengan Yang Kuasa yaitu menerima ketentuan Gusti Allah. Mau dikabulkan atau tidak Gusti Allah yang memutuskan. Kita hanya bisa pasrah," jelas Kyai Sobar.

"Astaghfirullah, betapa aku kufur dengan qada qadar Yang Kuasa ya Kang," kata Kyai Durrohim merasa menyesal.

"Sebenarnya ada apa kok Sampeyan bilang doa Sampeyan sudah tidak makbul?" tanya Kyai Sobar.

"Begini Kang. Aku punya majelis taklim untuk orang-orang tua. Ya ngaji kitab, mgaji alif ba ta, yasinan, tahlilan atau barjanjenan. Salah satu jamaahku itu seorang janda miskin. Dia tak punya anak. Tak punya sanak famili. Pekerjaannya momong. Dia orangnya baik dan jujur. Semua orang menyukainya. Dia pernah minta doa kepadaku supaya matinya husnul khotimah. Dan kematiannya tidak merepotkan orang lain. Dia juga minta doa walaupun dia tak punya sanak famili, nantinya ada orang yang mendoakan, mengirimi fatihah," cerita Kyai Durrohim terhenti sejenak, matanya tampak berkaca-kaca,"Aku sudah mendoakan Kang. Dan ketika beberapa hari aku tidak di rumah menjenguk cucuku di Bandung, aku mendengar dia meninggal dunia karena kecelakaan. Aku tak sempat mengurusi jenazahnya. Yang ngurusi semuanya dari penguburannya sampai tahlilan tiga hari, tujuh hari adalah tetangga-tetangganya," jelas Kyai Durrohim.

"Ya bagus lah. Berarti tetangganya peduli dengannya," kata Kyai Sobar.

"Itu artinya dia merepotkan orang lain Kang. Lalu siapa yang mengirimi fatihah? Padahal sudah kudoakan Kang,"

"Semuanya pasti ada hikmahnya. Sebentar..sebentar.. Nama jamaah Sampeyan itu siapa? Orang mana? Meninggalnya kapan?" tanya Kyai Sobar.

"Namanya Sumiyati. Orang desaku. Meninggal kurang lebih tiga bulan yang lalu tertabrak sepeda motor anak sekolah di dekat alun-alun."

"Subhanalloh," kata Kyai Sobar agak tersentak.

"Ada apa Kang?" tanya Kyai Durrohim.

"Nggak apa-apa. Pernah mendengar ada orang perempuan mengalami kecelakaan dan meninggal sekitar tiga bulan yang lalu juga. Oh.. Ternyata itu orangnya?" kata Kyai Sobar berusaha menenangkan diri.

Kyai Sobar tak menyangka, orang yang tertabrak oleh anaknya tiga bulan yang lalu ketika anaknya berangkat ke sekolah adalah salah satu jamaah Kyai Durrohim. Setelah kecelakaan itu terjadi, Kyai Sobar terpaksa ikut mengurusi jenazahnya di rumah sakit. Biaya pemakaman dan tahlilan ditanggungnya. Bahkan sekarang, nama Sumiyati masuk dalam daftar orang yang didoakan dan dikirimi fatihah, yasin dan tahlil setiap malam Jum'at. Kedatangan Kyai Durrohim ke rumahnya membuat Kyai Sobar membuka kembali ingatan terhadap kejadian yang cukup menguras waktu dan energi karena harus berurusan pula dengan hukum.

"Gimana Kang?" kata Kyai Durrohim mengagetkan lamunan Kyai Sobar.

"Begini saja. Untuk membuktikan bahwa doa Sampeyan itu masih makbul atau tidak, sekarang Sampeyan doakan saya yang baik-baik. Doa apa saja, yang penting doa yang baik. Ingat doa yang tidak baik, akan kembali ke yang berdoa. Sekarang doakan saya dan Sampeyan sendiri yang bisa membuktikan apakah doa Sampeyan masih makbul atau tidak," jelas Kyai Durrohim

"Baiklah Kang. Saya berdoa dalam hati saja ya. Suatu saat saya akan sowan lagi."


Kyai Durrohim pamit pulang.


Setelah beberapa lama, Kyai Durrohim kembali sowan ke rumah Kyai Sobar.

"Kok ramai Kang. Seperti baru hajatan," sapa Kyai Durrohim.

"Iya ini baru saja aqiqahan adiknya Salma. Lama sekali Sampeyan tidak ke sini. Nggak pernah kabar-kabar juga," sambut Kyai Sobar.

"Itulah Kang. Aku ke sini mau membuktikan bahwa doaku masih maqbul. Dan subhanalloh, ternyata doaku masih makbul Kang," kata Kyai Durrohim sambil menahan senyum di bibirnya.

"Kenapa begitu lama Sampeyan membuktikan doa Sampeyan. Sebenarnya doa yang Sampeyan panjatkan untukku itu apa?"

"Alhamdulillah Kang. Doaku meminta Sampeyan diberi lagi keturunan yang sholih sholihah," jawab Kyai Durrohim tak bosa menahan senyumnya.

"Jadi.....," kata Kyai Sobar ternganga.

"Iya kang. Makanya aku menunggu sebilan bulan lebih untuk membuktikannya,"


Selasa, 11 Agustus 2020

MUSIM LAYANGAN

Ketika layangan belah ketupat mengangkasa tanpa ekor, itu tandanya layangan itu siap berperang. Siapapun harus waspada dan bersiap untuk diserang namun siapapun juga boleh menyerangnya. Tanpa ekor, gerakan layangan itu lebih gesit dan lincah untuk ditarik ulur dan dimainkan  ke kanan dan ke kiri untuk berperang dengan cara sangkutan untuk saling memutuskan benang lawannya. Itulah ciri-ciri layangan sangkutan.


Modal utama layangan sangkutan adalah benang gelasan. Benang warna warni yang telah dipoles dengan lem khusus dan serbuk kaca hingga agak kaku dan tajam ini menjadi andalan untuk memutuskan benang lawan. Bolehkah bermain layangan sangkutan dengan benang jahit, benang bangunan, atau senar pancing? Boleh. Tapi kalau putus jangan galau. Benang gelasan ini tersedia dengan berbagai kualitas dari kelas standar, festival dan premium, dengan harga yang bervariasi pula sesuai dengan kualitasnya. Tajamnya benang gelasan juga mengancam tangan pemain, ketidakhati-hatian pemain dalam menarik ulur layangan bisa mengakibatkan luka pada tangan.


Selain mengandalkan benang gelasan, pemain layangan sangkutan harus mempunyai keterampilan lebih untuk menyerang, menukik, menghujam, menggesek ataupun berkelit. Hentakan, tarikan, uluran serta manuver meliuk-liukan layangan sangat menentukan kemenangan dalam sangkutan. Tali goci tunggal (yaitu tali yang diikatkan di bagian atas dan bawah bodi/rangka layangan sebelum diikat dengan benang) juga memudahkan untuk meliuk-liukkan layangan.


Puncaknya adalah ketika salah satu layangan putus. Siapapun pemenangnya, itu menjadi kegembiraan semua penonton. Semua orang meninggalkan sang pemenang yang masih senyam-senyum menikmati kemenangan atau pemain yang meratapi kekalahannya. Sendirian. Kasihan ya. Tanpa aba-aba atau letusan pistol, lomba lari dimulai saat layangan putus. Saling kejar, saling dorong dan saling sikut menjadi pemandangan umum dalam lomba lari mengejar layangan putus ini karena tidak disediakan track khusus. Setiap orang berhak mengejar, menyalib, dan menikung. Saat itu, tak ada kawan sejati. Semuanya menjadi lawan. Pun tak peduli dengan harga layangan yang hanya Rp 1500. Perjuangan keras dengan berpeluh-peluh dan kadang berdarah-darah tersandung batu, menabrak pagar atau tertabrak motor, semua dilakukan untuk mendapatkan layangan putus ini. Demi harga diri untuk menunjukkan diri sebagai orang yang tercepat, terkuat, tertinggi, dan tergesit.


Ada aturan tak tertulis dalam perebutan layangan putus ini yaitu siapa yang pertama berhasil memegang tali atau layangannya itulah pemenangnya. Namun demikian, tidak dengan mudah menerapkan aturan ini karena semua orang dalam kerumunan massa berhak mengklaim siapa yang pertama memegang benang atau layangannya. Sering, layangan jadi koyak mengenaskan.


Selain layangan sangkutan, ada pula layangan non-sangkutan. Untuk menandakan bahwa layangan belah ketupat bukan layangan sangkutan adalah ekor. Layangan berekor ini dinaikkan dengan niat untuk ditonton keindahannya, gambarnya, warnanya, ataupun lekuk ekornya. Layangan ini biasanya bergambar menarik, berekor panjang warna-warni. Layangan ini menggunakan tali goci dobel (satu diikatkan ke bagian bahu kanan kiri dan satu ke bodi/rangka bawah) sehingga terbang dengan lebih tenang. Selain layang belah ketupat, layangan non-sangkutan juga berbentuk burung, pesawat, atau bentuk lainnya yang menarik. Layangan ini indah dilihat. Benang yang digunakan bukan benang gelasan yaitu benang yang lebih aman di tangan. Terkadang diberi sendaren yaitu tali pipih atau pita untuk menghasilkan bunyi ketika terterpa angin. Ada konsensus bahwa layangan non-sangkutan tidak tidak boleh diganggu dan disangkut. Layangan ini mempunyai langitnya sendiri

Sabtu, 08 Agustus 2020

TERTARBRAK MOTOR

Membaca berita Ken tertabrak motor saat bersepeda di dinding facebook milik bundanya, aku kaget dan berusaha mencari berita yang valid. Di berita itu, diceritakan sepedanya luka-luka, namun Ken tak menderita apa-apa dan hanya kaget. Untuk mengobati kekagetannya, Ken mendapat hadiah dua buah es krim dari sang bunda. Hmm...yummi.


Pagi ini aku berkesempatan bertemu dengan korban secara langsung.


"Ken, kamu kemarin ketabrak motor ya?" tanyaku kepada Ken yang bersepeda lewat depan rumahku bersama Kan.

"Kok sudah tersebar beritanya," kata Ken tanpa meng-iya-kan pertanyaanku.

"Ketabrak di mana?" lanjutku.


Ken diam dan tak mau menjawab, seakan ingin menutupi kejadian sesungguhnya. Dari sikapnya, aku menduga Ken khawatir berita tersebut menyebar ke mana-mana dan menjadi viral. Kemudian banyak wartawan datang untuk mencari berita sesungguhnya. Polisi juga datang memeriksa TKP dan mengurus perkaranya. Tenaga medis juga datang memeriksa kondisi Ken. Belum lagi tante-tantenya, bude-budenya yang datang menjenguk lalu menggerayangi seluruh tubuhnya, "mana yang sakit?..mana yang sakit?". Pasti merepotkan.


"Di sana tuh," kata Kan membantu menjawab sambil menunjukkan tempat Ken tertabrak motor yang ternyata tak jauh dari rumahku.


"Sakit nggak Ken?" tanyaku lebih lanjut


Ken tak juga mau menjawab. Diam seribu bahasa.


"Nggak sakit kok," jawab Kan memecah kebisuan antara aku dan Ken.


"Pakde kok tanya itu terus sih?" sergah Ken.


"Soalnya Pakde pingin es krimnya. Enak tuh." jawabku.


Ken masih enggan menimpali pernyataanku dan melanjutkan bermain sepeda bersama Kan.

Kamis, 06 Agustus 2020

TAWAR-MENAWAR

DOA MINTA HUJAN


Beberapa minggu ini, di Jawa telah memasuki musim kemarau walaupun di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa daerah masih turun hujan dan terjadi banjir. Udara terasa dingin di malam hari dan panas di siang hari. Tumbuhan mulai meranggas. Debu beterbangan ke mana-mana. 

Siang menjelang sore ini kulihat mendung menggelayut di langit.
"Alhamdulillah, mendung. Ya Allloh, turunkan hujan yang deras," kataku.
"Jangan lah," sanggah temanku.
"Eh kenapa? Tanah sudah kering, tanaman layu, debu beterbangan," kataku
"Genteng rumahku pecah. Belum kuganti,"
"Wah, repot nih. Makanya segera diganti," suruhku.
"Kalau sudah sampai rumah rasanya capek. Jadi malas mau ngapa-ngapain. Termasuk mengganti genteng pecah," jelasnya.
"Wah payah," kataku
"Ya Alloh jangan hujan dulu ya Alloh. Nunggu genteng rumahku kuganti," kata temanku.
"Iya tapi kapan mau diganti? Kalau begini, jadi repot. Dah sana segera pulang untuk mengganti genteng. Itu sudah mendung. Mau hujan," lanjutku

"Ya Alloh jangan hujan ya Alloh," sergahnya kembali.

Aku geleng-geleng kepala. Agak gemas juga. Tapi aku tetap pada pendirianku untuk tetap berdoa minta hujan.

"Ya Alloh berilah kami hujan," kataku cukup dalam hati.

(Sampai tulisan ini kuupload belum juga turun hujan. Mudah-mudahan kawanku segera mengganti genteng rumahnya supaya doanya kompak.)

Senin, 03 Agustus 2020

DUA BUAH KOIN LIMA RATUSAN


Sudah langganan, setiap minggu sore Mba penjual yakult datang ke rumahku. Biasanya anakku yang menemuinya dan menyelesaikan urusan. Tapi kali ini, anakku sedang main entah kemana dan kebetulan aku sedang duduk santai di teras. Berseragam khas merah putih dan ranjang khas di belakang motornya, kali ini dia mengajak anaknya yang berumur kira-kira 4 tahun.

"Tiga mba," kataku.

Mba penjual itu mengambilkan tiga pak yakult dari ranjang, sementara anaknya tetap berdiri di motor maticnya yang distandar, dan aku masuk ke rumah untuk mengambil uang.
Kubawa lembaran lima puluh ribu dan kusodorkan ke mba penjual.

"Permisi Bapak," sapa mas pengamen yang tiba-tiba datang sambil mulai memetik gitar. "Jreengg."

Kubiarkan dulu mas pengamen menyanyikan lagu karena urusanku dengan mba penjual yakult belum selesai. Ternyata sebelum memberikan kembalian kepadaku, mba penjual yakult terlebih dahulu mengambil dua buah koin lima ratusan dari tasnya dan diserahkan kepada mas pengamen.

"Maturnuwun," kata mas pengamen sambil berlalu pergi. Ternyata mas pengamen mendekati anak mba penjual yakult yang berdiri di atas motor dan menyerahkan dua buah koin lima ratusan yang diterima dari ibunya. Aku memperhatikan dengan seksama. Rupanya mas pengamen tak mau dibayar karena belum menyanyi. Aku memakluminya. Biasanya juga seperti itu. Setiap mengamen di rumahku, dia tak mau menerima uang sebelum lagunya habis.

Setelah selesai urusannya denganku, mba penjual yakult permisi dan kembali ke motornya.

"Bu, ini," kata anaknya sambil menyodorkan dua koin lima ratusan kepada ibunya.
"Ini uang dari mana?" tanya ibunya kaget.
"Dari omnya," jawab anaknya.
"Om siapa?" tanya ibunya lagi
"Om tadi,"

Aku memperhatikan ibu anak ini berbicara. Aku ingin menyampaikan kejadian sebenarnya, namun sang ibu salah tingkah ketika melihatku memperhatikannya. Seakan tak mau urusan rumah tangganya kucampuri , dia tersenyum dan nampak agak kikuk kepadaku dan permisi.

"Monggo Pak. Terima kasih," kata mba penjual yakult sambil menarik gas motornya dan meninggalkan rumahku.

Setelah mereka berdua meninggalkan rumahku, aku hanya bisa tersenyum kecut.
"Biarlah dua buah koin lima ratusan itu menjadi permasalahan mereka berdua. Semoga bisa diselesaikan dengan baik-baik," kataku dalam hati.