Kamis, 31 Oktober 2019
ARUNG JERAM
Pelampung dan helm sudah kami pakai. Kemudian kami berbaris untuk menentukan anggota kelompok dan terbagilah kami menjadi 8 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 4-6 orang. Sebelum berangkat, pemandu mengajak kami berfoto bersama-sama dengan berbagai gaya di depan background besar "Rainbow Rafting". Pasti untuk promosi.
Dengan mobil bak terbuka kami diantar menuju hulu Sungai Comal di Kecamatan Randudongkal, Kabupaten Pemalang kurang lebih lima menit dari basecamp. Perahu karet diturunkan, dayung kami pegang dan segera naik ke atas perahu.
Aturan umum dalam arung jeram adalah dilarang membawa barang-barang berharga yang rawan basah: tas, dompet, uang, sepatu, kamera, ijazah, akte kelahiran, sertifikat tanah, dan lain-lain. Handphone boleh dibawa asal ditempatkan di wadah plastik anti air.
Baru beberapa meter perahu kami melaju, guide kami Mas Anton meminggirkan perahu kami.
"Kok minggir mas?" tanya Pak Kas.
"Pak Bu, kita briefing dulu sebentar".
Mas Anton memberi petunjuk cara memegang dayung yang benar, cara duduk yang benar, dan memberikan beberapa aba-aba seperti "kanan, kiri, depan, belakang, dan boom".
"Paham Bapak Ibu?
"Paham," jawab kami serempak.
Sebelum berjalan, kami berdoa terlebih dahulu. Tentu doa agar kami diberi keselamatan selama melakukan arung jeram. Bukan doa minta rejeki atau jodoh. Tapi boleh juga diselipi doa-doa seperti itu. Siapa tahu tiba-tiba ada yang ngasih duit atau tiba-tiba ada yang menyatakan cinta pada saat perahumu hampir terbalik.
Diawali melewati jeram honey dan jeram welcome yang cukup landai. Nama-nama jeramnya memakai bahasa Inggris supaya keren. Ada 1 perahu di depan kami dan 6 lainnya yang ada di belakang kami. Memasuki jeram batu tapa, tubuh kami mulai diguncang. Perintah kanan dan kiri mulai keluar. Di jeram zigzag, kami mulai merasakan adrenalin kami mulai naik. Jeram ini lumayan curam dan berkelok-kelok. Perahu kemi berkali-kali terbentur bebatuan. Berkali-kali aba-aba "boom" keluar dari mulut Mas Anton. Kami harus duduk di tengah-tengah perahu. Memasuki jeram kejepit, kami harus bekerja keras untuk bergeser ke kanan dan ke kiri. Jeram ini sangat sempit sehingga perahu kami harus melaju dengan agak miring.
Dalam perjalanan, pemandangan tebing sungai Comal ini sangat menarik. Pepohonan dan bebatuan yang tertata oleh alam begitu memikat.
Ada pohon nangka yang miring ke tengah sungai. Mas Anton menamakan pohon ini dengan sebutan "pohon lelah". Mungkin hidupnya terlalu lelah menopang beban rumah tangga. Atau lelah memperjuangkan kekasih hatinya yang akhirnya pergi.
"Kita memasuki Kedung Leng," kata Mas Anton.
Seketika aku teringat lagu "Kuncung" milik Didi Kempot.
"Cilikanku rambutku, dicukur kuncung
Katokku, soko karung gandum
Klambiku, warisane mbah kakung
Sarapanku sambel korek, sego jagung...
Kosokan watu ning kali nyemplung ning kedhung (byur)"
Mendengar nama Kedung Leng, aku membayangkan kedung ini sempit dan dalam."Leng" adalah nama lubang semut, gangsir atau tikus.
"Kedung ini memiliki kedalaman 20 meter," lanjut Anton, "konon ada penghuni lain di bawah kedung ini," suaranya tiba-tiba direndahkan. Membuat bulu kudukku berdiri.
Tidak seperti bagian sungai yang lain, arus di kedung ini sangat tenang. Bahkan ada arus yang hanya berputar-putar di atasnya. Suasana di sekelilingnya pun sangat hening. Hanya beberapa burung kecil yang lerlihat melintas di atas kami. Entah rasa apa yang tiba-tiba menyergapku. Hiiii....
Para pemancing di atas tebing memilih diam dan hanya memperhatikan kami lewat. Mereka memancing di kedung karena airnya yang tenang dan pasti lebih banyak ikannya.
Tidak ada setengah menit kami melewati kedung ini tapi terasa begitu lama.
Setelah melewati kedung leng, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada pemandu kami.
"Penghuni lain yang di Kedung Leng siapa Mas?" tanyaku. Aku berharap jawabannya semacam Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong, Dewi Lanjar, Dewi Ratih dan tokoh-tokoh mistis yang melegenda lainnya. Pasti menarik dan mengejutkan.
"Makhluknya ikan besar-besar. Makanya banyak yang mancing" jawabnya
Aku kecewa dengan jawaban ini tapi aku memahami mengapa dia tak mau menjawab. Pasti penghuninya akan marah namanya disebut-sebut, data dirinya disebarluaskan, fotonya diunggah di medsos dan dia tidak mau terjadi sesuatu yang tak diinginkan karena tiap hari lewat sini.
Setelah melewati kedung leng, kami masih melewati jeram dowo dan jeram-jeram lainnya. Di sebelah kiri jeram dowo, kami melihat pohon tumbang.
"Ini pasti pohon terlalu lelah," kataku
"Benar, dia telah berjuang mati-matian tapi gagal," kata bu Nanin.
Sampailah kami di bawah jembatan desa Kecepit tempat kami menyelesaikan rute arung jeram kami.
Kami kembali ke basecamp dengan mobil bak terbuka lagi. Tepat pukul 16.00 kami sampai di basecamp, berbilas dan bersiap kembali ke Batang. Selesai sudah arung jeram yang merupakan lanjutan kegiatan LDK (Latihan Kader Dasar) OSIS yang dijadwalkan tanggal 4-5 Oktober 2019.
Selasa, 29 Oktober 2019
PAK UJI
Mengenal Pak Uji mungkin sebuah kebetulan tapi mengenangnya merupakan suatu keasyikan. Orangnya baik hati, ceria, suka bercerita, suka bercanda, pandai menyanyi, dan suka curi-curi foto dan menggoda ibu-ibu dan sedikit playboy. Jangankan cuma bu Erni atau bu Yeni, ibu plt kepala sekolah saja dirayunya sampai spechless kembang kempis.
Di sekolah, Pria asli Purworejo berputra dua dan bercucu dua juga ini cukup dermawan. Beliau sering mentraktir rekan-rekannya sarapan. Kemuning tentu menjadi warung andalannya. Hobinya adalah minum es teh manis di kulkas sekolah yang entah milik siapa.
Di rumah, beliau adalah tetangga yang baik. Rumahku dan rumah beliau masih dalam naungan RT yang sama. Beliau pernah meminjamiku sebuah kipas angin dan stop kontak karena aku kepanasan. Yang pada akhirnya, beliau tidak berkenan kipas angin dan stop kontak itu dikembalikan. Diikhlaskan. Aku pun tambah berterima kasih.
Bahkan awal aku di Batang, beliau mengenalkan sate kambing khas Pekalongan. Sore-sore dijemput di kontrakan dan diajak naik mobil Honda City bersama istri beliau, Bu Ida yang cantik dan baik hati makan sate di alun-alun Pekalongan.
Sebagai tetangga yang baik, Pak Uji dan keluarga sering membelikan jajan untuk anakku. Roti terutama. Karena tahu anakku tak doyan nasi. Dan sebagai tetangga yang baik pula, aku selalu mengucapkan terima kasih dan senyuman sepantasnya atas pemberiannya.
Terima kasih kuucapkan kepada Pak Uji beserta keluarga telah menjadi teman, kakak, orang tua, senior, dan tetangga yang baik. Semoga Tuhan membalas dengan sesuatu yang lebih baik.
Tepat pada hari ini, 30 Oktober 2019 kuucapkan Selamat Ulang Tahun. Selamat menjalani masa pensiun yang mengasyikan. Selamat memelihara burung. Selamat momong cucu. Semoga panjang umur dan sehat selalu. Tetaplah terjalin silaturahmi.
Rabu, 23 Oktober 2019
PERTAMA KALI MENGAJAR BAHASA PERANCIS
"Ayo ajari aku Bahasa Perancis sekarang," kata beliau sambil menarik tanganku. Aku yang sedang duduk santai di depan "koperasi pondok" bersama teman-teman segera menghabiskan sepotong kue pukis di tanganku. Sesampainya di kamar yang terletak di asrama Abu Bakar itu, beliau mengambil whiteboard kecil dan spidol boardmarker.
"Tulis di sini Bahasa Perancis dari yang paling sederhana," kata beliau.
"Waduh Tadz... Saya kan baru belajar. Belum bisa apa-apa. Saya harus nulis apa?," jawabku kurang percaya diri. Dalam waktu 4 bulan masih sedikit sekali Bahasa Perancis yang kupelajari.
"Apa saja yang penting ditulis," paksa beliau.
Di pojok kamar yang sempit berhimpit lemari-lemari baju dari kayu albasiah, buku-buku, rak sepatu, dan lantai beralaskan bambu, aku menuliskan kata-kata sederhana: bonjour, bonsoir, comment allez-vous?, dan kata-kata lain yang baru aku pelajari sekitar 4 bulan di jurusan Bahasa Perancis UGM.
Hanya setengah jam aku menjelaskan arti kata dan cara membacanya yang tentu saja berbeda dengan Bahasa Indonesia. Mungkin karena penjelasanku yang kacau balau dan tidak jelas, setengah jam sudah terlalu panjang dan membosankan. Aku sendiri baru pertama kali (mengajar) dan tak kuduga orang yang pertama kali kuajari adalah seorang ustadz senior di Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta. Salah tingkah, grogi, dag dig dug, keringat dingin, tiba-tiba pusing, kebelet pipis, kebelat BAB campur aduk jadi satu. Huft.
Ustadz kelahiran Gombong, Kebumen, Jawa Tengah yang juga dosen IAIN Sunan Kalijaga ini betul-betul manusia yang haus ilmu. Selain hafal kitab Alfiah ibnu Malik dan ahli fiqh, beliau masih terus membaca, dari buku berbahasa Indonesia, berbahasa Arab sampai berbahasa Inggris. Dan sekarang, beliau ingin belajar Bahasa Perancis. Walaupun reputasi beliau begitu melejit, beliau tetap rendah hati, murah senyum, ramah, baik hati, tidak sombong, sederhana, dan ganteng.
"Sudah cukup segini saja. Sampeyan punya bukunya? Buku Bahasa Perancis yang sederhana?," tanya beliau.
"Punya Tadz. Buku kuliah," jawabku
"Sekarang ambil. Saya pinjam bukunya biar bisa belajar sendiri,"
"Nah...dari tadi kek," kataku dalam hati. Plong. Lega. Kini aku merasa lebih aman dan nyaman. Terasa lepas dari kandang macan walaupun macannya baik hati.
Sami'na wa atho'na (mendengar dan menaati) adalah sikap santri kepada kyai dan ustadznya. Tanpa ba bi bu, aku segera ngibrit menuju kamarku di asrama Ali bin Abi Tholib untuk mengambil buku kuliahku. Buku tipis fotocopian bersampul biru itu kukeluarkan dari dalam tas kuliahku dan segera ku bawa ke kamar beliau.
"Ini Tadz," kataku sambil menyerahkan buku tersebut.
"Kupinjam dulu ya," kata beliau.
"Iya Tadz," jawabku.
Karena buku yang kupinjamkan kepada beliau adalah buku pegangan wajib kuliahku maka setelah satu minggu berlalu, aku menanyakan buku tersebut kepada beliau.
"Maaf Tadz, buku saya mau saya pakai buat kuliah," kataku di kamar beliau
"Waduh, tak taruh di mana ya" kata beliau sambil mencari di rak buku yang sebagian besar berisi kitab-kitab kuning. Setelah beberapa saat mencari, tak juga ditemukan.
"Gini aja. Besok kalau ketemu saya kembalikan," kata beliau.
"Iya Tadz," kataku tanpa bisa berkata apa-apa.
Aku segera meninggalkan kamar beliau karena harus segera berangkat ke kampus.
Di kampus, karena buku itu adalah buku wajib yang harus dibawa setiap kuliah "Expression Oral" maka aku terpaksa memfoto copy lagi buku tersebut. Tentu saja, akhirnya aku mengikhlaskan buku yang dipinjam oleh ustadzku itu karena aku sudah punya yang baru.
Mungkin karena kesibukan beliau yang sedang mempersiapkan diri untuk mendaftar S2, les Bahasa Perancis denganku hanya sekali itu, tidak pernah berlanjut. Sampai terdengar kabar bahwa beliau berhasil diterima S2 di Universitas Leiden, Belanda.
Setelah beliau kuliah S2 dan berlanjut S3 di Bonn University German, sampai aku lulus kuliah, bahkan sampai sekarang, sampai beliau menjadi Sekretaris Jenderal Kementrian Agama Republik Indonesia, aku belum pernah bersua beliau.
"Tulis di sini Bahasa Perancis dari yang paling sederhana," kata beliau.
"Waduh Tadz... Saya kan baru belajar. Belum bisa apa-apa. Saya harus nulis apa?," jawabku kurang percaya diri. Dalam waktu 4 bulan masih sedikit sekali Bahasa Perancis yang kupelajari.
"Apa saja yang penting ditulis," paksa beliau.
Di pojok kamar yang sempit berhimpit lemari-lemari baju dari kayu albasiah, buku-buku, rak sepatu, dan lantai beralaskan bambu, aku menuliskan kata-kata sederhana: bonjour, bonsoir, comment allez-vous?, dan kata-kata lain yang baru aku pelajari sekitar 4 bulan di jurusan Bahasa Perancis UGM.
Hanya setengah jam aku menjelaskan arti kata dan cara membacanya yang tentu saja berbeda dengan Bahasa Indonesia. Mungkin karena penjelasanku yang kacau balau dan tidak jelas, setengah jam sudah terlalu panjang dan membosankan. Aku sendiri baru pertama kali (mengajar) dan tak kuduga orang yang pertama kali kuajari adalah seorang ustadz senior di Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta. Salah tingkah, grogi, dag dig dug, keringat dingin, tiba-tiba pusing, kebelet pipis, kebelat BAB campur aduk jadi satu. Huft.
Ustadz kelahiran Gombong, Kebumen, Jawa Tengah yang juga dosen IAIN Sunan Kalijaga ini betul-betul manusia yang haus ilmu. Selain hafal kitab Alfiah ibnu Malik dan ahli fiqh, beliau masih terus membaca, dari buku berbahasa Indonesia, berbahasa Arab sampai berbahasa Inggris. Dan sekarang, beliau ingin belajar Bahasa Perancis. Walaupun reputasi beliau begitu melejit, beliau tetap rendah hati, murah senyum, ramah, baik hati, tidak sombong, sederhana, dan ganteng.
"Sudah cukup segini saja. Sampeyan punya bukunya? Buku Bahasa Perancis yang sederhana?," tanya beliau.
"Punya Tadz. Buku kuliah," jawabku
"Sekarang ambil. Saya pinjam bukunya biar bisa belajar sendiri,"
"Nah...dari tadi kek," kataku dalam hati. Plong. Lega. Kini aku merasa lebih aman dan nyaman. Terasa lepas dari kandang macan walaupun macannya baik hati.
Sami'na wa atho'na (mendengar dan menaati) adalah sikap santri kepada kyai dan ustadznya. Tanpa ba bi bu, aku segera ngibrit menuju kamarku di asrama Ali bin Abi Tholib untuk mengambil buku kuliahku. Buku tipis fotocopian bersampul biru itu kukeluarkan dari dalam tas kuliahku dan segera ku bawa ke kamar beliau.
"Ini Tadz," kataku sambil menyerahkan buku tersebut.
"Kupinjam dulu ya," kata beliau.
"Iya Tadz," jawabku.
Karena buku yang kupinjamkan kepada beliau adalah buku pegangan wajib kuliahku maka setelah satu minggu berlalu, aku menanyakan buku tersebut kepada beliau.
"Maaf Tadz, buku saya mau saya pakai buat kuliah," kataku di kamar beliau
"Waduh, tak taruh di mana ya" kata beliau sambil mencari di rak buku yang sebagian besar berisi kitab-kitab kuning. Setelah beberapa saat mencari, tak juga ditemukan.
"Gini aja. Besok kalau ketemu saya kembalikan," kata beliau.
"Iya Tadz," kataku tanpa bisa berkata apa-apa.
Aku segera meninggalkan kamar beliau karena harus segera berangkat ke kampus.
Di kampus, karena buku itu adalah buku wajib yang harus dibawa setiap kuliah "Expression Oral" maka aku terpaksa memfoto copy lagi buku tersebut. Tentu saja, akhirnya aku mengikhlaskan buku yang dipinjam oleh ustadzku itu karena aku sudah punya yang baru.
Mungkin karena kesibukan beliau yang sedang mempersiapkan diri untuk mendaftar S2, les Bahasa Perancis denganku hanya sekali itu, tidak pernah berlanjut. Sampai terdengar kabar bahwa beliau berhasil diterima S2 di Universitas Leiden, Belanda.
Setelah beliau kuliah S2 dan berlanjut S3 di Bonn University German, sampai aku lulus kuliah, bahkan sampai sekarang, sampai beliau menjadi Sekretaris Jenderal Kementrian Agama Republik Indonesia, aku belum pernah bersua beliau.
Senin, 21 Oktober 2019
UMI
"Mas...Umi kerja dimana?" tanya seorang ibu muda milenial bergamis besar warna violet kepada anakku.
"guru TK," jawab anakku
Aku yang mendengar percakapan tersebut mendadak tersenyum kecut campur pahit. Khawatirku anakku nanti memanggil mamanya dengan sebutan "Umi". Ini jangan sampai terjadi.
"Mas.. Kamu jangan ikut-ikutan ibu-ibu itu manggil mamamu "Umi" ya."
"Kenapa Pa?"
"Lha mamamu namanya Umi. Umi Solikhah. Paham?"
"Hehehe,"
"Hush...nyengenges."
# disarikan dari cerita rakyat: "Asal-usul Papa-Mama".
Jumat, 18 Oktober 2019
JODOH
"Ma... Seandainya dulu aku jadi milih kuliah di UI, kita ga bakal ketemu ya,"
"Tetap ketemu. Tuhan sudah mencatat jodoh manusia sebelum lahir."
"Jodoh kan harus ikhtiar juga. Toh manusia juga disuruh memilih jodoh dengan kriteria kecantikannya,, kekayaannya, keturunannya, dan agamanya. Jadi aku juga harus berikhtiar dan pasti ikhtiarnya ke orang2 yang di Jakarta. Jadi kemungkinan nyantol dulu sama orang Jakarta. Ga ketemu Mama."
"Tetap saja Papa ditunjukkan jalan untuk ke Jogja terus ndilalah ketemu Mama."
"Aku tuh orang rumahan yang malas pergi-pergi. Ngapain ke Jogja."
"Ya pasti ada kepentingan apa yang harus diselesaikan di Jogja. Kemudian ketemu mama."
"Kalaupun ke Jogja ada kepentingan, mana sempat lirak-lirik. Di Jakarta kan banyak artis. Cantik-cantik."
"Papa ga usah mengelak dari takdir. Ga usah sok Jabariyah. Wong sudah jodohnya Mama kok ya."
"Mama tuh yang terlalu Qodariyah. Takdir itu tetap ada ikhtiar Ma. Siapa tahu dulu Papa ketemu artis cantik terus menikah dengannya"
Tiba-tiba, anakku nyeletuk.
"Lha aku anake sopo?"
Selasa, 08 Oktober 2019
RAKET NYAMUK
"Ciaat....ciaaat. Jangkrik tenan ini nyamuk. Masih sore kok sudah nggigit," teriakku sambil menyabetkan raket nyamuk penuh emosi.
"Eh eh.. Nyamuk kok dibilang jangkrik. Nyamuk ya nyamuk. Jangkrik ya jangkrik," kata istriku mengingatkanku.
Musim kemarau belum juga berakhir. Nyamuk di rumahku semakin banyak. Padahal sudah tidak ada air menggenang di rumahku. Hampir tiap minggu, kami menguras bak mandi. Kaleng dan botol bekas juga kami pastikan tidak tergenang air. Sungai di depan rumahku bahkan sudah lama kering. Jangankan nyamuk, ikan saja tidak bertahan. Tapi, entah dari mana datangnya, tiap menjelang petang nyamuk-nyamuk ini menyerbu rumahku. Seakan-akan mereka tahu bahwa penghuni rumah ini gemuk-gemuk, manis-manis, darahnya banyak dan gurih.
Sialnya, sore ini nasibku kurang beruntung. Senjata andalanku hancur. Raket nyamukku berkeping-keping. Aku terlalu bersemangat dan terlalu bernafsu memukul nyamuk-nyamuk yang beterbangan. Tak sengaja, raketku menghantam lemari. Gagangnya patah. Tak bisa dipakai lagi.
Nampak nyamuk-nyamuk bersorak gembira. Suara denging mereka semakin keras berpesta merayakan hancurnya raketku.
Raket nyamuk ini sudah lama kupakai sejak 5 bulan yang lalu. Aku lebih suka menggunakan raket untuk memberantas nyamuk dibandingkan menggunakan obat nyamuk bakar, semprot maupun elektrik. Sensasinya lebih terasa. Suara yang keluar dan kilatan loncatan arus listrik membuat adrenalinku semakin naik ketika aku berhasil memukul nyamuk. Aku jadi bertambah semangat untuk membunuh lebih banyak nyamuk.
Walaupun kadang aku berpikir bahwa membunuh nyamuk itu dosa juga. Mereka juga makhluk yang ingin hidup seperti yang lain. Takdir yang membuat mereka harus mengkonsumsi darah manusia. Seandainya mereka ditakdirkan vegetarian. Makan buah, daun-daunan atau rumput. Pasti aman. Umur mereka akan lebih panjang. Tapi Tuhan telah menakdirkan seperti itu. Makanan mereka adalah darah manusia. Setiap malam mereka harus mendekati manusia. Taruhannya adalah nyawa. Manusia jelas tidak mau terganggu dengan kehadiran mereka. Penyakit demam berdarah, malaria dan cikungunya yang mereka bawa membuat manusia mati-matian mempertahankan diri dari gigitan nyamuk. Berbagai cara dilakukan untuk memberantas mereka. Tapi nyamuk tetap sabar. Mereka menjalani takdir mereka dengan ikhlas. Mungkin kematian seperti inilah yang dinamakan mati syahid bagi nyamuk. Mati dalam keadaan berjuang untuk melanjutkan kehidupan. Aku hanya bisa berdoa semoga mereka husnul khotimah.
Dan aku menjalani takdirku juga. Tanpa raket nyamuk aku bagaikan arjuna tanpa panah pasupatinya. Bagaikan macan ompong juga. Aku tak berdaya. Maka, aku segera membeli raket nyamuk baru di sebuah toko elektronik.
"Jangan sampai kena air, jangan digetok-getokkan, hindari benturan," pesan sang penjual, ibu-ibu agak gendut.
"Ada garansinya bu?" tanyaku. Aku berharap sekali barang elektronik ini ada garansinya karena cara pemakaianku membutuhkan itu.
"Maaf nggak ada,"
Aku kecewa. Tapi tetap saja kubeli raket nyamuknya.
Benar saja, sesampai di rumah, nyamuk-nyamuk semakin banyak. Segera kukeluarkan senjata baruku.
"Ciaat....ciaaat," teriakku. Kali ini tidak pakai "jangkrik".
Rabu, 02 Oktober 2019
PISANG BERMASALAH
Waktu menunjukkan pukul 13.00. Udara panas kota Semarang, membuat kami berenam (aku, Pak Kas, Pak Ros, Bu Sri Wati, Bu Anggi, Bu Mar) mencari suatu yang dingin-dingin. Setelah menyelesaikan urusan di kantor BKD provinsi Jawa Tengah, mata kami tertuju pada warung jus buah tepat di seberang jalan depan kantor BKD.
Tersedia bermacam-macam buah untuk kami pilih dan kemudian penjualnya membuatkan jus pesanan kami. Ada mangga, jeruk, terong belanda, tomat dan lain-lain.
"Jus apokat 6," pesan kami sepakat kepada penjualnya, seorang laki-laki setengah baya.
Menunggu dengan hanya mendengarkan mesin blender menderu tanpa aktivitas adalah sesuatu yang sangat membosankan, apalagi ditambah perut kosong. Melihat pisang ambon warna kuning dan besar-besar di keranjang di antara buah-buah segar lainnya, segera kami ambil sekedar untuk mengganjal perut.
Beberapa saat kemudian, tersaji jus apokat dalam gelas plastik lengkap dengan sedotannya.
"Segarnya," gumamku sambil ngobrol ngalor ngidul.
Selesai menikmati jus apokat dan beberapa pisang, kami segera berhitung.
"Sudah Pak. Jus apokatnya 6 pisangnya 7, Berapa?" tanya Pak Kas.
"Waduh...itu pisang bukan untuk dimakan. Tapi untuk dijus."
Selasa, 01 Oktober 2019
MENANAM POHON
Merasa telah dilantik menjadi anggota Siaga di sekolahnya, jiwa Kibe merasa terpanggil untuk menjalankan salah satu nilai Dasa Dharma yaitu "cinta alam". Beruntung, Kibe dilahirkan di desa. Orang tuanya adalah petani. Sedari kecil sudah diajarkan memelihara pohon.
"Menanam pohon itu tidak hanya sekedar menanam. Setelah ditanam, pohon tidak boleh dibiarkan. Harus dirawat, dipupuk dan disiram agar tumbuh dengan subur," pesan ayahnya.
Namun demikian, Kibe tidak mau hanya sekedar ikut-ikutan memelihara tanaman milik orang tuanya yang sudah ada. Dia ingin mempunyai tanaman sendiri. Tentu akan menjadi kebanggaan ketika dia berhasil menanam dan merawat pohon sampai besar. Suatu hari, Kibe menemukan pohon pepaya kecil yang tumbuh dipinggir kali. Dicabutnya pohon itu untuk ditanam di belakang rumahnya.
Bulan September. Musim kemarau sedang pada puncaknya. Angin kering seakan membakar semua yang dilewati. Pohon pepaya yang ditanam oleh Kibe nampak agak layu. Walaupun permukaan tanah di kanan kirinya telah ditutupi dengan pelepah pohon pisang yang sudah ditebang, masih saja angin panas ini tidak kompromi dengan pohon baru ini. Terpaksa Kibe menambah pelindung di atasnya dengan pelepah pohon pisang yang agak panjang dan lebar yang ditekuk menjadi segitiga untuk menutupinya dari sengatan sinar matahari.
"Aman. Tinggal nanti sore disiram".
Kibe ingat pesan kakeknya bahwa menyiram pohon tidak boleh dilakukan pada siang hari ketika matahari bersinar terik karena bisa mati.
Sore itu, Kibe menengok tanaman kesayangannya di belakang rumah. Dia menyiram pohon pepayanya dengan air comberan yang dibuat untuk membuang air limbah dapun. Selain menyiram, Kobe memberi pupuk juga. Bukan pupuk buatan kimia/anorganik atapun pupuk kandang tapi pupuk cair alami nan hangat hasil sendiri. Kata bu guru, urine mengandung nitrogen, phospor dan kalium yang sangat berguna bagi tanaman. Tapi pupuk cair ini masih terlalu murni, panas dan keras, belum mengalami fermentasi. Cukup berbahaya untuk tanaman jika langsung mengenai pohonnya. Cukup disiramkan di sekelilingnya. Melingkar. Bagaimana caranya? Kibe punya teknik tersendiri.
Selesai memupuk, Kibe mendekati pohon pisang yang masih berdiri tegak dan belum berbuah. Dikelupasnya kelopak luar pohon yang sudah mengering dan banyak semutnya. Kelopak kedua kelihatan masih hijau dan mengkilap. Permukaanya terasa dingin dan halus untuk membersihkan sisa-sisa urine yang masih menempel.
Kini, setiap sore Kibe mempunyai aktivitas rutin. Menyiram dan memupuk pohon pepaya. Setiap sore itu pula pohon pisang menjadi korbannya dan semakin lama semakin pesing.
Atas kegigihan Kibe, pohon pepayanya berhasil tumbuh dengan subur dan menghasilkan buah yang besar-besar.
"Menanam pohon itu tidak hanya sekedar menanam. Setelah ditanam, pohon tidak boleh dibiarkan. Harus dirawat, dipupuk dan disiram agar tumbuh dengan subur," pesan ayahnya.
Namun demikian, Kibe tidak mau hanya sekedar ikut-ikutan memelihara tanaman milik orang tuanya yang sudah ada. Dia ingin mempunyai tanaman sendiri. Tentu akan menjadi kebanggaan ketika dia berhasil menanam dan merawat pohon sampai besar. Suatu hari, Kibe menemukan pohon pepaya kecil yang tumbuh dipinggir kali. Dicabutnya pohon itu untuk ditanam di belakang rumahnya.
Bulan September. Musim kemarau sedang pada puncaknya. Angin kering seakan membakar semua yang dilewati. Pohon pepaya yang ditanam oleh Kibe nampak agak layu. Walaupun permukaan tanah di kanan kirinya telah ditutupi dengan pelepah pohon pisang yang sudah ditebang, masih saja angin panas ini tidak kompromi dengan pohon baru ini. Terpaksa Kibe menambah pelindung di atasnya dengan pelepah pohon pisang yang agak panjang dan lebar yang ditekuk menjadi segitiga untuk menutupinya dari sengatan sinar matahari.
"Aman. Tinggal nanti sore disiram".
Kibe ingat pesan kakeknya bahwa menyiram pohon tidak boleh dilakukan pada siang hari ketika matahari bersinar terik karena bisa mati.
Sore itu, Kibe menengok tanaman kesayangannya di belakang rumah. Dia menyiram pohon pepayanya dengan air comberan yang dibuat untuk membuang air limbah dapun. Selain menyiram, Kobe memberi pupuk juga. Bukan pupuk buatan kimia/anorganik atapun pupuk kandang tapi pupuk cair alami nan hangat hasil sendiri. Kata bu guru, urine mengandung nitrogen, phospor dan kalium yang sangat berguna bagi tanaman. Tapi pupuk cair ini masih terlalu murni, panas dan keras, belum mengalami fermentasi. Cukup berbahaya untuk tanaman jika langsung mengenai pohonnya. Cukup disiramkan di sekelilingnya. Melingkar. Bagaimana caranya? Kibe punya teknik tersendiri.
Selesai memupuk, Kibe mendekati pohon pisang yang masih berdiri tegak dan belum berbuah. Dikelupasnya kelopak luar pohon yang sudah mengering dan banyak semutnya. Kelopak kedua kelihatan masih hijau dan mengkilap. Permukaanya terasa dingin dan halus untuk membersihkan sisa-sisa urine yang masih menempel.
Kini, setiap sore Kibe mempunyai aktivitas rutin. Menyiram dan memupuk pohon pepaya. Setiap sore itu pula pohon pisang menjadi korbannya dan semakin lama semakin pesing.
Atas kegigihan Kibe, pohon pepayanya berhasil tumbuh dengan subur dan menghasilkan buah yang besar-besar.
Langganan:
Postingan (Atom)