Jam makan siang sudah kelewat terlalu jauh.
Sekarang sudah pukul 17.00 WIB. Bunyi “krucuk..krucuk..krucuk” dari perut terdengar
jelas. Rupanya, para binatang di perutku sudah berteriak-teriak kelaparan. Aku
katakan “ para binatang” karena aku tak tahu sebenarnya makhluk hidup apa saja
yang menghuni perutku. Kata orang sih cacing. Tapi aku belum begitu percaya.
Bisa saja ada binatang yang lain yang menghuni perutku.
Aku segera menyalakan motorku. Sore-sore
begini, tujuanku hanya satu: warung pertigaan jalan gajah mada. Warung
menghadap timur ini buka hanya beberapa jam pada sore hari, mulai pukul 16.00
sampai menjelang maghrib. Di sana tersedia makanan favoritku: Semur jengkol dan
mendoan.
“Ngeeeng...” dalam waktu sepuluh menit aku
telah sampai. Seperti biasa, warung ini sudah penuh orang. Banyak yang antri.
Aku langsung menuju ke belakang. Kulihat kompor sedang menyala dan wajan masih
mengepul. Di dalamnya, mengapung tempe tepung yang baru saja dicemplungkan.
“Mba, 5 mendoan,” kataku
Segera mba penjaga gorengan mengangkat tempe dengan
tepung yang masih basah setengah matang.
“Pak..” sapa seseorang dari sampingku.
“Eee..Dev. Kok kamu di sini?” tanyaku
penasaran. Devi adalah siswaku yang paling pandai. Bahasa
Perancisnya selalu
mendapat nilai tertinggi. Dia sudah lulus tahun kemarin dan sekarang kuliah di Univeritas Negeri Semarang.
“Ini ibu saya Pak,” jawabnya sambil menunjuk
ibu setengah baya di sampingnya.
“Yang benar? Ibumu?” tanyaku tak percaya
“Iya Pak benar,” jawabnya meyakinkanku
“Kok kamu nggak pernah cerita dan nggak pernah
kelihatan di sini?” kataku.
Warung ini adalah langgananku. Aku sering
membeli lauk di sini. Selain lengkap (ada sayur lodeh, opor ayam, sayur buncis,
kacang panjang, cak kangkung, lele goreng, ikan goreng, telor sayur, telor
asin, bakwan, tahu isi, pisang goreng, tempe goreng dan masih banyak lagi), di
sini selalu tersedia mendoan dan semur jengkol kesukaanku. Sudah lama aku
berlangganan di sini. Yang kutahu hanya ada seorang ibu setengah baya (yang
ternyata ibunya Devi) bersama 2 orang yang membantunya (seorang pemuda dan
seorang pemudi) dan baru kali ini aku melihat Devi di sini.
“Kalau liburan saja Pak sama pas romadlon”
“Ini sedang libur po?” tanyaku
“Belum Pak. Minggu tenang. Senin besok mulai UAS,”
jelasnya.
Belum sempat cerita panjang lebar.
“Nopo malih Pak?” tanya Ibunya
Devi
Aku ragu akan menjawab. Ada Devi. Tapi apa
boleh buat, dari pada keinginanku tak terpenuhi, akhirnya keluar juga kata-kataku.
“Wonten jengkol
Bu?” tanyaku sambil mengacungkan jari telunjukku di depan bibirku kepada Devi.
Maksudnya agar dia tak bercerita kepada siapapun bahwa aku suka semur jengkol. Padahal
dia sudah lulus, tak mungkin bercerita lagi di sekolah. Tapi pikiranku selalu
saja curiga kepada setiap orang yang mengetahui aku suka jengkol. Bagaimanapun,
walaupun menurutku enak, jengkol mempunyai citra negatif sebagai makanan karena
menimbulkan bau yang tak sedap di mulut dan di limbah ekskresinya. Hal ini
telah meneror otakku yang paling dalam dan menimbulkan rasa malu bahwa aku
mempunyai rasa suka terhadap jengkol. Kali ini aku harus menahan rasa malu. Aku
harus menanggung malu sedikit. Biarlah Devi tahu aku suka jengkol. Salah
sendiri semur jengkol ibunya sedap tak tertandingi, bikin ngiler. Semur jengkol
yang istimewa. Biarlah anak istimewa ini mengetahui sedikit rahasiaku. Toh aku
juga telah mengetahui sedikit rahasianya bahwa anak istimewa ini lahir dari ibu
yang istimewa juga terutama semur jengkolnya. Anak dan Ibu sama-sama istimewa.
Top deh.
Jengkol jadi Jempol !
BalasHapus