alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Selasa, 02 Juli 2019

BUNGA ZIARAH

Memasuki Bulan Ramadhan, banyak orang melakukan ziarah kubur ke makam leluhur. Termasuk aku. Sehari sebelum Ramadhan, aku bersama keluargaku berniat menziarahi makam anak ketigaku, Nafi'atul Ummah yang meninggal pada tanggal 18 Mei 2013 yang dimakamkan di pemakaman Gondanglegi, Kauman, Batang.

Sama seperti pada setiap Hari Kamis,  sehari sebelum memasuki Bulan Ramadhan di perempatan Sawahan sepanjang jalan Ahmad Yani juga banyak penjual bunga menggelar dagangannya untuk keperluan ziarah. Dengan berbekal termos es/nasi yang tutupnya dibuka dan di atasnya diletakkan sebuah tampah dan di atas tampah tersebut digelar beberapa lembar daun pisang, mereka menata bunga melati, kenanga dan mawar.

Aku mendekati dua orang penjual bunga yang kebetulan duduk berjejer.
"Waduh...beli yang mana ini ya?" tanyaku kepada dua penjual bunga tersebut.
"Sa'kersone panjenengan" (terserah Anda) jawab salah satu penjual bunga tersebut.
Aku bingung. Dua orang ini sama-sama memakai daster. Sama-sama berjilbab. Sama-sama duduk di atas dingklik kecil. Sama-sama memakia sandal jepit. Sama-sama berkalung jarik di lehernya. Sama-sama gendut juga. Pilih yang mana ya?
Akhirnya kuputuskan membeli bunga di penjual sebelah kanan. Keputusan yang tidak memakai pertimbangan apapun. Penjual sebelah kiri tampak tersenyum mendengar keputusanku untuk tidak membeli dagangannya. Tak nampak raut sedih atau iri atas lakunya dagangan temannya. Pun tak ada usaha untuk membujukku untuk menambah bunga dan membeli dagangannya. Seakan dia sudah menyadari bahwa rejeki sudah ada yang mengatur.
"Ngersa'aken pinten Pak?" (membutuhkan berapa Pak?)
"Setunggal pincuk pinten Bu?" tanyaku. Pincuk adalah daun pisang yang dibentuk prisma yang tidak seimbang panjang sisinya dan ditusuk dengan sebuah biting, (potongan lidi sepanjang 3-4 cm yang ujung-ujungnya dibuat runcing) agar bentuk prisma pada daun pisang itu tidak lepas.
"Sepuluh ribu sudah komplit, ada melati, kenanga dan mawar"
"Njih sampun, sepuluh ribu mawon," jawabku.
Sang penjual menakar bunga melati dengan sebuah cangkir plastik ditambah kurang lebih 5 kuntum kenanga dan sejumput mawar merah ke dalam pincuk daun pisang.

Setelah kuserahkan uang sepuluh ribuan, kubawa sepincuk bunga yang telah dimasukkan ke dalam plastik kresek warna merah. Sampai kutersadar mengapa aku tidak membeli sepincuk lagi di pedagang sebelah kiri. Mungkin akan lebih adil dan membuat mereka tidak saling iri satu sama lain. Sama-sama mendapat rejeki. Tapi penyesalanku hanyalah sekedar penyesalan dan tak membuatku kembali ke penjual bunga itu. Ahirnya aku hanya menenangkan diri dengan bergumam: "rejeki sudah ada yang mengatur."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar