Mengisi liburan, setiap sore setelah sholat 'asar aku dan anak laki-lakiku Azam (11) bermain badminton. Bukan di lapangan badminton sungguhan tapi di jalanan depan rumah. Beruntung kami tinggal di perumahan karena jalanan relatif sepi.
Tanpa net tanpa batas lapangan. Jalan dibagi dua dengan kapur atau dengan apapun dan lapangan badminton pun jadi. Batas ini untuk menandai wilayah masing-masing. Sedangkan batas samping dan belakang sama sekali tanpa batas. Peraturannya, pukulan yang terlalu melebar dan tidak terjangkau maka dianggap keluar.
Permainan kami mulai. Pukulan demi pukulan kami lakukan. Poin demi poin pun kami kumpulkan. Kedudukan 7-5, 7 untukku dan 5 untuk Azam.
Tiba-tiba Azam menghentikan serve-nya dan berkata: "Kan dan Ken datang".
Aku menengok ke belakang. Dua anak itu berjalan dari arah belakangku menuju ke arah kami. Azam terdiam menunggu apa yang akan diperbuat oleh dua anak ini.
Dan sudah kuduga:
"Aku sebelah sini. Kan, kamu sebelah sana," teriak Ken sambil menempatkan diri jongkok di pinggir lapangan sejajar dengan garis tengah yang kami buat. Kan di sebelah kanan, Ken di sebelah kiri.
"Ayo...mulai lagi," perintah Ken kepada kami.
Seperti biasanya, dua anak ini menempatkan diri sebagai ballboy (pemungut bola/shuttlecock). Mereka akan memperebutkan shuttlecock yang jatuh ke tanah dan kemudian memberikan kepada kami.
Untuk menghindari perebutan yang tidak diinginkan maka aku membagi lapangan badminton kami menjadi dua lagi yaitu lapangan dibelah menjadi dua, kanan dan kiri. Sebelah kiri adalah milik Ken dan Ken berhak mengambil shuttlecock yang jatuh di lapangan sebelah kiri. Sebelah kanan adalah milik Kan dan Kan berhak mengambil shuttlecock yang jatuh di sebelah kanan.
"Ok. Sudah dibagi ya. Jangan rebutan," kataku kepada Kan dan Ken.
"Sampai sepuluh ya!" kata Ken sambil membuka telapak tangannya dan menunjukkan 10 jarinya.
"Iya," jawabku.
Maksudnya adalah mereka meminta kesempatan untuk mengambil shuttlecock sampai 10 kali.
Permainan pun kami lanjutkan.
Dan sekarang perhitungan poinnya harus diubah. Poin tidak ditentukan oleh pukulan yang masuk. Berakhirnya pertandingan pun bukan ditentukan oleh kalah dan menang di antara aku dan Azam. Tapi sampai Ken dan Kan memungut shuttlecock 10 kali.
"1-0 untuk Ken," kataku mulai menghitung poin karena Ken berhak memungut shuttlecock yang jatuh di wilayahnya.
"Sabar..sabar, yang kalah nggak boleh marah," kata Ken menyindir Kan yang belum mempunyai kesempatan memungut shuttlecock.
"1-1"
"2-1"
...
3-5
Ketika Kan mendapatkan kesempatan untuk memungut shuttlecock pun, dia berkata: "sabar..sabar. nggak boleh marah. Aku juga sabar tadi," sambil tersenyum sinis kepada Ken. Kadang sambil mencibir. Wajah Ken berubah kecut. Dan sebaliknya. Kalau sudah seperti ini, aku juga ikut berkomentar: "Yang sabar. Nggak boleh marah. Nggak boleh mengejek."
....
"8-7"
...
...
"8-10"
Kami pun harus berhati-hati. Kini, Kan sudah mencapai angka 10 dan Ken ketinggalan. Nilai mereka harus sama. Jangan sampai terjadi duel antara dua anak ini lagi seperti yang terjadi beberapa hari yang lalu. Maka, aku dan Azam berusaha menjatuhkan shuttlecock ke wilayah Ken yang baru mendapat angka 8.
Dan akhirnya, kedudukan 10-10. Pertandingan badminton berakhir dengan aman.
Sebuah pertandingan badminton yang aneh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar