“Hallo. Assalamu’alaikum. Maaf Pak, mau tanya besok hari
Minggu njenengan di rumah tidak?” tanya Bu Achmawati via telepon. Beliau adalah ketua Yayasan Pembangunan Persada (YPP) yang
menaungi SMK Pembangunan 1 dan 2, sekolah tempat aku mengajar dari tahun 2003-2010 di Kebumen.
“Emang ada apa Bu?” tanyaku penasaran. Bagaimana tak
penasaran. Orang dari Kebumen, sebuah kota di pantai selatan Jawa Tengah
menanyakan keberadaanku di Batang, sebuah kota di pantai utara Jawa Tengah.
Jarak antara kedua kota itu sekitar 360 km diukur dari jalan yang harus
ditempuh.
“Kami mau silaturahmi ke rumah njenengan. Insyalloh
kami berangkat jam 06.00 pagi. Ada sekitar 20 orang yang ikut,” kata Bu Achmawati
Aku tercekat sebentar. Tak ada kata-kata yang bisa keluar
dari lidahku. Aku tak menyangka. Teman-temanku yang berada di tempat yang jauh
akan mengunjungiku. Beberapa saat aku terdiam. Aku tak menyangka.
“Bagaimana Pak?” tanya Bu Achmawati
“Hmm eh iya iya, saya di rumah. Nggak ke mana-mana. Kok kadingaren
Bu. Ada angin apa yang membuat teman-teman mau ke rumah saya?” tanyaku
penasaran.
“Nggak ada apa-apa Pak. Hanya ingin silaturahmi saja,” jawab
Bu Wati
Sampai pembicaraan selesai dan telepon ditutup, aku masih terbengong-bengong
di depan ruang guru. Rasanya masih tak percaya.
Pulang sekolah kukabari istriku untuk mempersiapkan diri
menerima tamu jauh. Sore itu, kami menyusun rencana strategis untuk menyambut
tamu. Bersih-bersih, Menyiapkan tikar, Konsumsi sampai oleh-oleh.
Setelah bersih-bersih, aku meminjam tikar dan karpet RT.
Istriku berpikir keras untuk menyajikan konsumsi yang pantas walaupun Bu
Achmawati melarang kami untuk repot-repot.
“Tidak perlu repot-repot. Snack, makan siang sudah kami
siapkan dari rumah. Panjenengan cukup menyiapkan tikar saja,” kata Bu Achmawati
yang takan kekurangan hanya untuk membiayai perjalanan dengan paket lengkap.
Akan tetapi, sebagai tuan rumah, tak pantas kalau kami tidak
memberikan sajian walaupun ala kadarnya. Istriku menelpon Mba Inayah untuk
memesan Nagasari dan kacang, Bu Supri untuk menyiapkan es durian dan Pak No
untuk mendatangkan gerobak baksonya ke rumah kami. Tak lupa kami mencari
oleh-oleh khas Batang untuk teman-temanku. Berbagai alternatif makanan ringan
ternyata tak ada yang bercirikan Batang. Akhirnya, kami putuskan untuk membeli batik.
Walaupun batik adalah oleh-oleh khas Pekalongan, tapi di Batang pun sebenarnya
ada industri batik walaupun kalah tenar dengan kota tetangga.
Pukul 13.00 WIB, setelah menempuh perjalanan selama 7 jam teman-temanku
tiba di rumahku. Turun dari bus, mereka membawakanku 1 dus oleh-oleh khas Kebumen yaitu lanting. Satu per satu mereka menyalami dan memelukku. Matahari yang menyengat dan udara lembab bulan Januari membuat
suasana rumah begitu panas.
“Wah, cocok nih. Es Durian,” kata Pak Totok mengomentari
sajian awal kami.
Udara panas tak mengurangi rasa kangen kami. Obrolan kami
terdengar gayeng. Cerita masa lalu diungkapkan kembali, tentang sekolahku dulu,
tentang kondisi guru dan siswanya. Benar-benar membuatku kangen untuk kembali
seperti dulu.
Sebelum pulang, teman-temanku menyempatkan sholat dan mandi dengan air
kota Batang yang sejuk.
Pukul 17.00 WIB kami benar-benar harus berpisah karena esok
hari mereka masih punya kewajiban untuk mengajar.
Terima kasih kawan-kawan, kalian tak bisa kulupakan.
Perpisahan yang tak harus kutangisi, tapi air mataku tak
kuasa kubendung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar