Setelah sholat dzuhur berjama'ah di mushola, aku duduk di hall, ruang terbuka beratap di dekat mushola, sambil memakai kaos kaki dan sepatu. Udara sejuk musim hujan bulan Januari ini merasuk ke kulit. Melihatku duduk, beberapa siswa menyalamiku (tentu saja sambil cium tangan), kemudian merubungku. Mereka adalah siswa-siswa kelas XII.
"Pak, apa benar Ujian Nasional tahun ini dilaksanakan dengan cara online?"
"Kata siapa?"
"Kata Waka Kurikulum Pak?"
"Wah, saya belum dengar itu. Sampai saat ini POS (Prosedur Operasi Standar) Ujiannya saja belum keluar."
"Lha tapi kalau online beneran gimana Pak?"
"Yah, dilihat saja. Komputer di sekolah ini ada berapa? Siswanya ada berapa? Jumlah mata pelajaran yang diujikan ada berapa? Satu mata pelajaran membutuhkan waktu berapa menit? Bayangkan, sekolah kita mempunyai komputer 20 unit. Kalian harus masuk ruang ujian secara bergantian per kelompok 20 siswa. Setiap kelompok membutuhkan waktu 2 jam. Butuh waktu berapa hari untuk melaksanakan Ujian Nasional secara online? Belum lagi di daerah terpencil yang mungkin belum ada komputer dan bahkan belum ada listrik. Bagaimana melaksanakannya? Kalau Ujian Nasional online akan dilaksanakan tahun ini, pemerintah perlu biaya berapa? Untuk membelikan komputer untuk setiap sekolah se-Indonesia, melatih tenaga operatornya, melatih gurunya, melatih siswanya cara mengerjakan Ujian secara online. Padahal kurang 3 bulan lagi. Mungkinkah? Kayaknya tak mungkin. Kalau hanya untuk uji coba, bisa saja. Kalian jadi kelinci percobaan pertama. Mau?"
"Ya nggak mau dong Pak. Objek percobaan biasanya jadi korban Pak. Masa kami mau dijadikan korban."
"Yah, berdo'a saja mudah-mudahan Ujian Nasional tahun ini biasa-biasa saja. Bagaimanapun bentuk ujiannya, yang penting kalian belajar. Ok?"
"Ok Pak!"
Bel berbunyi. Waktu istirahat pun berakhir.
Rabu, 28 Januari 2015
Selasa, 27 Januari 2015
RAS 3 in 1
Jarang sekali aku memperhatikan fisik siswa-siswiku secara
detail. Tapi kali ini beda. Aku merasa tergelitik untuk memperhatikan salah
satu siswaku ini. Namanya “S”, tentu saja tak boleh menyebut nama karena aku
menulis tulisan ini belum se-ijin-nya. “S” ini bertubuh tinggi dan mempunyai kulit
lumayan hitam. Setiap melihat sesuatu yang hitam, aku jadi terbayang ayam
cemani (maaf, bayanganku memang agak nakal). Ayam cemani adalah ayam asal
Temanggung yang mempunyai bulu, kulit, daging dan darah hitam. Ayam ini unik, langka,
dan mahal. Ke-hitam-annya benar-benar membuat ayam ini nampak keren. Aku sempat
terkagum-kagum, bahkan tergila-gila dengan ayam ini. (Sejak kecil ingin
memeliharanya, sampai sekarang belum kesampaian)
Kembali ke “S”. Walaupun tak sehitam ras negroid tapi dibandingkan
warna kulit rata-rata temannya, kulit anak ini lebih hitam. Pada awalnya, aku
mengira anak ini berdarah Papua atau Afrika. Tapi dilihat dari hidungnya,
perkiraan awalku harus kuperbaiki. Ras negroid cenderung mempunyai hidung yang
agak pesek. Sedangkan dia, hidungnya mancung, cenderung mengarah ke ras kaukasoid,
ras orang-orang Eropa dan Arab. Hidungnya memang mancung. Aku mengatakan seadanya
dan sebenarnya. Tentu saja aku membandingkannya dengan hidung secara umum, bukan dengan
hidungku. Tahu sendiri kan ... aku selalu "menyerah sebelum bertanding" kalau membicarakan
hidung. Cukup kukatakan: hidungku memang sangat mongoloid dari lahirnya.
(Jangan bilang pesek ya !)
Rambutnya yang ikal dan hitam membuatnya lebih ke-Arab-an
karena kaukasoid Eropa cenderung mempunyai rambut mengombak dan warna
pirang. Tapi dilihat matanya yang sayu, jelas sekali dia berdarah mongoloid melanesia.
Entahlah, aku jadi bingung tapi sekaligus tergelitik. Dalam tubuhnya yang tinggi,
wajahnya yang tampan, kulitnya yang hitam, rambutnya yang keriting, hidungnya
yang mancung, dan matanya yang sayu mengalir 3 ras dunia sekaligus. Wuih,
hebat.
Dulu waktu kelas X dan kelas XI, si "S" ini masih nampak kerempeng, tapi di
kelas XII sekarang dia nampak gagah dan atletis. Aku membayangkan, jika anak
ini terjun ke dunia modeling, pasti tak perlu waktu untuk menjadi seorang model tenar. Dengan tubuh tinggi besar, gagah, hidung
mancung dan kulit hitam dan rambut kribo, dia pasti nampak lebih strong dan
macho.
Sekali lagi, unik. Apalagi kalau dia bisa membuktikan
darahnya juga hitam. Woow, pasti lebih keren.
Emangnya Cemani?
Rabu, 21 Januari 2015
CCTV
Salah satu perangkat keamanan adalah CCTV. CCTV berasal dari bahasa Inggris yang artinya closed circuit television yang berarti menggunakan sinyal yang bersifat tertutup, tidak seperti televisi biasa yang merupakan sinyal siaran (http://id.wikipedia.org/wiki/Televisi_sirkuit_tertutup).
Setelah beberapa kali terjadi pencurian di kelas dan pelanggaran merokok di pojok kantin, di setiap sudut dan setiap ruang kelas sekolahku sekarang dipasang CCTV. Dengan adanya CCTV ini diharapkan kondisi keamanan dan ketertiban sekolah dapat dipantau selama 24 jam. Dengan demikian, tak terjadi lagi hal-hal yang tak diinginkan.
Namun demikian, keberadaan CCTV ini mendapat reaksi beragam dari para siswa, terutama dengan adanya CCTV di sudut kiri atas kelas. Para siswa kelas XII yang sebentar lagi menghadapi ujian merasa nyawanya terancam karena gerak-gerik mereka ketika ujian akan terpantau. Kenapa harus takut? Untuk yang satu ini, aku gagal paham.
Sementara itu, para siswa kelas X dan XI merasa kebebasan mereka terganggu. Mereka tak bisa ganti pakaian di kelas saat pelajaran olahraga padahal ruang ganti hanya satu. Itu artinya mereka harus siap mengantri. Mereka jadi takut bercanda dengan temannya.
Pastinya, mereka jadi agak kikuk dengan adanya CCTV. Gerak-gerik mereka seakan-akan ada yang mengawasi. Mereka mengalami camera nerveus alias grogi karena ada kamera. Mulai sekarang, senyum mereka pun nampak semakin manis, bicara mereka sangat sopan, gerakan tangan, kaki, dan tubuh semakin tertata. Semuanya jadi dibuat-buat.
"Ada apa dengan kalian?" tanyaku ketika aku masuk kelas dan melihat mereka begitu kaku.
Jawaban pertama: senyum. Jawaban kedua: "tidak apa-apa Pak."
"Ah, tidak segitunya kali.." kataku sambil memulai pelajaran setelah mengetahui penyebab berubahnya sikap mereka
"Anak-anak, kita mulai pelajaran hari ini dengan berdo'a....." kata-kataku meluncur pelan dan rapi.
Aku kok jadi ikut-ikutan nerveus. Seakan-akan di belakangku ada kepala sekolah yang sedang mengawasiku. Kutengok ke belakang. Tak ada siapa-siapa. Kutengok ke kiri atas. Ada CCTV.
"Huft.."
Setelah beberapa kali terjadi pencurian di kelas dan pelanggaran merokok di pojok kantin, di setiap sudut dan setiap ruang kelas sekolahku sekarang dipasang CCTV. Dengan adanya CCTV ini diharapkan kondisi keamanan dan ketertiban sekolah dapat dipantau selama 24 jam. Dengan demikian, tak terjadi lagi hal-hal yang tak diinginkan.
Namun demikian, keberadaan CCTV ini mendapat reaksi beragam dari para siswa, terutama dengan adanya CCTV di sudut kiri atas kelas. Para siswa kelas XII yang sebentar lagi menghadapi ujian merasa nyawanya terancam karena gerak-gerik mereka ketika ujian akan terpantau. Kenapa harus takut? Untuk yang satu ini, aku gagal paham.
Sementara itu, para siswa kelas X dan XI merasa kebebasan mereka terganggu. Mereka tak bisa ganti pakaian di kelas saat pelajaran olahraga padahal ruang ganti hanya satu. Itu artinya mereka harus siap mengantri. Mereka jadi takut bercanda dengan temannya.
Pastinya, mereka jadi agak kikuk dengan adanya CCTV. Gerak-gerik mereka seakan-akan ada yang mengawasi. Mereka mengalami camera nerveus alias grogi karena ada kamera. Mulai sekarang, senyum mereka pun nampak semakin manis, bicara mereka sangat sopan, gerakan tangan, kaki, dan tubuh semakin tertata. Semuanya jadi dibuat-buat.
"Ada apa dengan kalian?" tanyaku ketika aku masuk kelas dan melihat mereka begitu kaku.
Jawaban pertama: senyum. Jawaban kedua: "tidak apa-apa Pak."
"Ah, tidak segitunya kali.." kataku sambil memulai pelajaran setelah mengetahui penyebab berubahnya sikap mereka
"Anak-anak, kita mulai pelajaran hari ini dengan berdo'a....." kata-kataku meluncur pelan dan rapi.
Aku kok jadi ikut-ikutan nerveus. Seakan-akan di belakangku ada kepala sekolah yang sedang mengawasiku. Kutengok ke belakang. Tak ada siapa-siapa. Kutengok ke kiri atas. Ada CCTV.
"Huft.."
Senin, 19 Januari 2015
TRY OUT
"Gurunya kejam. Masa, try out masuk jam 06.00."
Itulah status salah satu siswaku di media sosial. Status bernada protes muncul karena mulai hari Senin ini sampai hari Sabtu pukul 06.00 sampai dengan pukul 08.00 akan dilaksanakan try out untuk siswa kelas XII dalam rangka persiapan menghadapi Ujian Nasional. Akan tetapi, tak mungkin aku memberi komentar yang mendukungnya karena aku dalam posisi termasuk salah satu pihak yang diprotes. Kebijakan tentang jadwal pelaksanaan try out tersebut telah diputuskan oleh kepala sekolah. Tak mungkin juga aku berkomentar menentangnya karena pelaksanaan try out sudah diputuskan pada pukul 06.00.
Walaupun jadwal try out ini telah merubah semuanya, merubah jadwal bangun tidur, sarapan, mandi, berdandan dan juga metabolisme tubuh. Acara pagi hari juga harus disetting ulang karena semua kegiatan pagi di rumah sebelum pergi ke sekolah harus dipercepat satu jam. Mudah-mudahan saja perubahan ini menelorkan sesuatu yang lebih baik. Jadi bisa sholat subuh tepat waktu, jadi bisa membantu orang tua, jadi bisa menghirup udara segar dan jadi tidak terlambat ke sekolah.
Dia hanya menulis keberatan ini dalam status sosial media dan tak berani menyampaikannya secara langsung kepada gurunya. Mungkin malu? sungkan? takut? Aku memilih hanya me-like statusnya. Dengan demikian, setidaknya dia tahu sudah ada salah satu guru yang telah memabaca statusnya dan mendengar keluhannya.
Semoga dengan bangun lebih pagi, dia juga mendapatkan kebaikan.
Itulah status salah satu siswaku di media sosial. Status bernada protes muncul karena mulai hari Senin ini sampai hari Sabtu pukul 06.00 sampai dengan pukul 08.00 akan dilaksanakan try out untuk siswa kelas XII dalam rangka persiapan menghadapi Ujian Nasional. Akan tetapi, tak mungkin aku memberi komentar yang mendukungnya karena aku dalam posisi termasuk salah satu pihak yang diprotes. Kebijakan tentang jadwal pelaksanaan try out tersebut telah diputuskan oleh kepala sekolah. Tak mungkin juga aku berkomentar menentangnya karena pelaksanaan try out sudah diputuskan pada pukul 06.00.
Walaupun jadwal try out ini telah merubah semuanya, merubah jadwal bangun tidur, sarapan, mandi, berdandan dan juga metabolisme tubuh. Acara pagi hari juga harus disetting ulang karena semua kegiatan pagi di rumah sebelum pergi ke sekolah harus dipercepat satu jam. Mudah-mudahan saja perubahan ini menelorkan sesuatu yang lebih baik. Jadi bisa sholat subuh tepat waktu, jadi bisa membantu orang tua, jadi bisa menghirup udara segar dan jadi tidak terlambat ke sekolah.
Dia hanya menulis keberatan ini dalam status sosial media dan tak berani menyampaikannya secara langsung kepada gurunya. Mungkin malu? sungkan? takut? Aku memilih hanya me-like statusnya. Dengan demikian, setidaknya dia tahu sudah ada salah satu guru yang telah memabaca statusnya dan mendengar keluhannya.
Semoga dengan bangun lebih pagi, dia juga mendapatkan kebaikan.
Jumat, 16 Januari 2015
KUNJUNGAN TEMAN
“Hallo. Assalamu’alaikum. Maaf Pak, mau tanya besok hari
Minggu njenengan di rumah tidak?” tanya Bu Achmawati via telepon. Beliau adalah ketua Yayasan Pembangunan Persada (YPP) yang
menaungi SMK Pembangunan 1 dan 2, sekolah tempat aku mengajar dari tahun 2003-2010 di Kebumen.
“Emang ada apa Bu?” tanyaku penasaran. Bagaimana tak
penasaran. Orang dari Kebumen, sebuah kota di pantai selatan Jawa Tengah
menanyakan keberadaanku di Batang, sebuah kota di pantai utara Jawa Tengah.
Jarak antara kedua kota itu sekitar 360 km diukur dari jalan yang harus
ditempuh.
“Kami mau silaturahmi ke rumah njenengan. Insyalloh
kami berangkat jam 06.00 pagi. Ada sekitar 20 orang yang ikut,” kata Bu Achmawati
Aku tercekat sebentar. Tak ada kata-kata yang bisa keluar
dari lidahku. Aku tak menyangka. Teman-temanku yang berada di tempat yang jauh
akan mengunjungiku. Beberapa saat aku terdiam. Aku tak menyangka.
“Bagaimana Pak?” tanya Bu Achmawati
“Hmm eh iya iya, saya di rumah. Nggak ke mana-mana. Kok kadingaren
Bu. Ada angin apa yang membuat teman-teman mau ke rumah saya?” tanyaku
penasaran.
“Nggak ada apa-apa Pak. Hanya ingin silaturahmi saja,” jawab
Bu Wati
Sampai pembicaraan selesai dan telepon ditutup, aku masih terbengong-bengong
di depan ruang guru. Rasanya masih tak percaya.
Pulang sekolah kukabari istriku untuk mempersiapkan diri
menerima tamu jauh. Sore itu, kami menyusun rencana strategis untuk menyambut
tamu. Bersih-bersih, Menyiapkan tikar, Konsumsi sampai oleh-oleh.
Setelah bersih-bersih, aku meminjam tikar dan karpet RT.
Istriku berpikir keras untuk menyajikan konsumsi yang pantas walaupun Bu
Achmawati melarang kami untuk repot-repot.
“Tidak perlu repot-repot. Snack, makan siang sudah kami
siapkan dari rumah. Panjenengan cukup menyiapkan tikar saja,” kata Bu Achmawati
yang takan kekurangan hanya untuk membiayai perjalanan dengan paket lengkap.
Akan tetapi, sebagai tuan rumah, tak pantas kalau kami tidak
memberikan sajian walaupun ala kadarnya. Istriku menelpon Mba Inayah untuk
memesan Nagasari dan kacang, Bu Supri untuk menyiapkan es durian dan Pak No
untuk mendatangkan gerobak baksonya ke rumah kami. Tak lupa kami mencari
oleh-oleh khas Batang untuk teman-temanku. Berbagai alternatif makanan ringan
ternyata tak ada yang bercirikan Batang. Akhirnya, kami putuskan untuk membeli batik.
Walaupun batik adalah oleh-oleh khas Pekalongan, tapi di Batang pun sebenarnya
ada industri batik walaupun kalah tenar dengan kota tetangga.
Pukul 13.00 WIB, setelah menempuh perjalanan selama 7 jam teman-temanku
tiba di rumahku. Turun dari bus, mereka membawakanku 1 dus oleh-oleh khas Kebumen yaitu lanting. Satu per satu mereka menyalami dan memelukku. Matahari yang menyengat dan udara lembab bulan Januari membuat
suasana rumah begitu panas.
“Wah, cocok nih. Es Durian,” kata Pak Totok mengomentari
sajian awal kami.
Udara panas tak mengurangi rasa kangen kami. Obrolan kami
terdengar gayeng. Cerita masa lalu diungkapkan kembali, tentang sekolahku dulu,
tentang kondisi guru dan siswanya. Benar-benar membuatku kangen untuk kembali
seperti dulu.
Sebelum pulang, teman-temanku menyempatkan sholat dan mandi dengan air
kota Batang yang sejuk.
Pukul 17.00 WIB kami benar-benar harus berpisah karena esok
hari mereka masih punya kewajiban untuk mengajar.
Terima kasih kawan-kawan, kalian tak bisa kulupakan.
Perpisahan yang tak harus kutangisi, tapi air mataku tak
kuasa kubendung.
GELISAH UN 2015
Tahun 2015, nilai ujian nasional (UN) tidak akan menjadi
syarat kelulusan siswa. Penentu kelulusan adalah sekolah. Hal tersebut
ditegaskan Mendikbud Anies Baswedan usai melakukan pertemuan dengan kepala
dinas pendidikan se-Indonesia pada hari ini. (29/12/2014).
Sejak munculnya pernyataan mendikbud tersebut, para siswa malah
nampak gelisah. Dengan tidak mempengaruhi nilai UN terhadap kelulusan berarti
tidak mengharuskan mereka memperoleh nilai tertentu untuk dinyatakan lulus.
“Bagaimana ini Pak, Ujian Nasional?” tanya salah seorang
siswa.
“Kamu kan sudah tahu sendiri pernyataan Menteri Pendidikan.
Kamu kok malah sedih? Nilai UN sudah tak mempengaruhi kelulusan kalian. Yang menentukan
kelulusan kalian adalah bapak ibu guru di sekolah. Jadi, nilai UN berapapun tak
berpengaruh,” jawabku
Jawabanku menghentikan kata-katanya. Wajahnya nampak aneh.
“Tapi kan nilai Ujian Nasional tetap penting Pak. Di ijazah
kan ditulis. Misalnya nilai Ujian Nasional-nya jelek kan malu. Jadi nilai Ujian
Nasional harus tetap tinggi,” timpal siswa yang lain.
“Iya, harus seperti itu. Jadi kalian harus belajar keras
untuk meraih nilai tinggi,” kataku,
“Tidak dengan bocoran,” lanjutku.
Masih ada raut kegelisahan di wajah mereka
“Aneh”
Langganan:
Postingan (Atom)