Maintenant, nous avons parler de boisson, especialement café.
Café est kopi en Indonesie.
En 1669, un délégué de Sultan Mohammed IV, le gouverneur de Turquie
Otoman va à Paris. Il porte des grains mystérieux par sacs. Un jour, ils s’appellent café. En 1672, un
entrepreneur Armenien qui s’appelle Pascal vend le café au public.
Et je suis amoureux de café. Bien sure, je peux faire le
café delicieux.
“Pak, nanti malam kami
ke rumah Bapak ya?” kata salah satu siswaku
“Mau ngapain?” tanyaku
“Pingin ngopi, boleh ya Pak?” jawab dia.
“Ya boleh, nanti sms ya, siapa tahu saya pas lagi pergi”
kataku
“Ok Pak, makasih”
Sekitar pukul 19.30 WIB, enam orang siswaku datang ke rumah.
Kupersilahkan masuk dan tentu saja kusediakan kopi spesial buat mereka ditambah
kacang rebus dan jeruk. Sengaja kubuatkan satu ceret kopi biar mereka bisa nambah.
“Ayo, silahkan diminum,” kataku
Kami pun ngobrol ngalor ngidul. Tak lupa
kuperkenalkan istri dan anak-anakku. Bukan pelajaran yang kami bicarakan. Kami
lebih banyak bicara tentang hal lain. Aku bercerita tentang pengalamanku semasa
muda dan keluargaku. Mereka bercerita tentang cita-cita dan hobi mereka.
Tak terasa, jam dinding di rumahku sudah menunjukkan pukul
22.00 WIB. Mereka pun pamit pulang. Kopi, kacang rebus dan jeruk pun ludes.
“Merci beaucoup untuk kopinya, Monsieur. C’est très
delicieux. Kapan-kapan boleh main lagi ya Pak?”
Alhamdulillah, aku bisa menyambut tamu dengan baik. Kopi telah membuat mereka merasa nyaman di rumahku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar