Semburat jingga di ujung pagi, mengiringi langkahku merengkuh beribu cemara laut yang memanjang dari Sigandu sampai Ujungnegoro.
Riuh rendah kehidupan para pesepeda mulai menggeliat. Bercucur keringat, meningkatkan imun, menghempaskan Covid-19 yang semakin menggila.
Langkah demi langkah, tergapai loket masuk pantai Ujungnegoro.
Kubuka kaca mobilku.
"Selamat pagi. berapa orang Pak?" tanya seorang pemuda keluar dari ruang loket.
"Dua orang mas," jawabku sambil menunjuk satu istriku yang berada di belakang setir.
"Eh, Pak Bela. Silahkan lanjut saja."
Aku terpana dia menyebut namaku. Kuamati lebih cermat. Ah, iya. Dia muridku. Tapi siapa namanya, aku lupa.
"Eh berapa? ini uangnya," kataku sembari menyodorkan uang dua puluh ribuan.
"Nggak Pak. Buat Bapak gratis. Free." jawabnya.
"Nggak boleh gitu. Masuk ya harus bayar," desakku.
"Beneran Pak. Ga usah bayar. Gratis," jawabnya bertahan.
Perdebatan tanpa batas yang harus segera kuakhiri dengan jawaban menyerahku.
"Ya sudah lah. Terima kasih ya,"
Dari pos loket, seorang petugas mengarahkan kami ke tempat parkir.
"Mas, itu tadi yang berbaju merah siapa namanya ya. Saya kok lupa ya," tanyaku ke Mas Parkir.
"Miftah Arif Pak. Dulu murid Bapak ya?" tanyanya.
"Iya. Saya lupa namanya. Soalnya sudah lama lulusnya."
Debur ombak beradu dengan batuan karang di pantai ujungnegoro. Pasir lembut nan sejuk menjadi saksi keindahan pantai utara. Beberapa rajungan keluar dari lubangnya. Sekedar menengok siapa gerangan yang berkunjung di pagi yang indah ini.
"Oh, Pak guru rupanya" mungkin itu yang terucap di bibir-bibir rajungan itu karena tahu aku diloloskan dari loket tiket begitu saja tanpa bayar.
Kusapa mereka. Tapi mereka tak mau mendekat. "Jangan Dekat-dekat. Cukup dari situ saja. Kami belum tahu guru macam apa Anda. Jangan-jangan Anda sama saja dengan para pemburu rajungan yang selama ini mengejar-ngejar kami untuk dibikin peyek,"
Aku jongkok. Kuulurkan tanganku tanda persahabatan. Tapi mereka masih saja curiga. Semakin kudekatkan tanganku. Mereka masih juga enggan bersapa. Bahkan lari bersembunyi ke dalam lubang
"Tak apalah, kau masih curiga. Aku maklum adanya."
Kunikmati ombak yang menggelitik kakiku berkali-kali. Kuhirup angin laut sepoi-sepoi.
Kerengkuh seonggok pasir. Kurasakan gemerisiknya bersama rumah-rumah kerang yang tercecer ditinggal penghuninya ke surga.
Pagi ini segera berlalu. Mentari telah menyapaku. Sinarnya hangat membelai kulitku. Saatnya pulang.
Di pelataran parkiran, kusempatkan menyapa penjual ciwel dan nasi jagung. Dua bungkus ciwel seharga empat ribu rupiah dan tiga bungkus nasi jagung seharga lima ribu rupiah kuhempaskan ke dalam plastik kresek dan kubawa pulang.
"Ya terus terus. Kiri..kiri." teriak Mas pemarkir.
Kusodorkan selembar uang lima ribuan.
"Nggak usah Pak. Buat Bapak gratis,"
Ealah, rupanya semua penghuni di Pantai Ujungnegoro ini sudah bersekongkol dengan Miftah Arif untuk menggratiskan semuanya kepadaku.
Kalau begitu, aku akan lebih sering datang ke sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar