alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Kamis, 24 Desember 2020

DURIAN

Musim durian telah tiba. Tempat nongkrong para penjual durian musiman telah ditempati. Salah satunya adalah di sebelah selatan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kalisari Batang. Penjual dengan mobil bak terbuka ini adalah langgananku. Selain terkenal murah, penjualnya ahli dalam memilihkan durian yang manis, manis kepahit-pahitan, dan anyeb (tak manis). 

 

"Ma, tadi di sebelah Rumah Sakit ada penjual durian langganan kita," kataku sesampaiku di rumah.

"Kok nggak beli?" tanya istriku.

"Nggak. Soalnya lupa nggak bawa HP," jawabku

"Apa hubungannya? Beli durian kan pakai duit?" istriku bingung.


"Soalnya nggak bisa mem-foto. Tak ada foto, status-ku kurang valid,"


"Niat makan durian atau niat bikin status?," kata istriku dengan muka dilipat-lipat. 🤕

TOTEBAG




"Maaf Pak, kami tidak menyediakan tas plastik. Kami menawarkan totebag. Silahkan bisa dipilih!" kata kasir di salah satu toko buku terbesar di Indonesia yang ada di Purwokerto.


Karena buku yang kami beli lumayan banyak dan tak mungkin kami tenteng dengan tangan, kami memilih salah satu totebag yang tersedia. Ada banyak tema gambar yang terdapat di totebag tersebut. Penghijauan, lingkungan hidup, pengelolaan sampah dan ikon kota Purwokerto. Kami memilih ikon kota Purwokerto yaitu Bawor, tokoh pewayangan bersenjata kudi yang hanya dimainkan pada pementasan wayang kulit di wilayah banyumas dan sekitarnya.


Tapi satu tas ini tidak mampu memuat buku yang kami beli. Akhirnya kami beli totebag lain bergambar masjid agung "Baitussalam" sebuah masjid yang berdiri megah di sebelah barat alun-alun Putwokerto.


Terus terang, buah tangan seperti inilah yang kami cari di Purwokerto, berupa benda yang bisa dipajang dan tahan lama walaupun hanya berupa totebag. Selama ini kami hanya membawa getuk goreng Sokaraja sebagai oleh-oleh yang sekali telan langsung habis tak berbekas.

TARIK TAMBANG GAGANG SAPU



Mereka menemukan "alat" untuk bermain. Sebuah gagang sapu bekas yang sapunya sudah rusak.


"Ayo, kita main tarik tambang!" ajak Ken kepada Kan, Be dan Na.


Kan bersama Na, adik perempuannya di satu sisi dan Ken bersama Be, adik sepupunya di sisi lain.


"Satu, dua, tiga, mulai," teriak Ken memberi aba-aba untuk memulai saling menarik ganang sapu.


Mereka saling menarik dengan sekuat tenaga sambil tertawa-tawa. Belum ada yang menang ketika nenek mereka keluar rumah.


"Sudah berhenti... Nanti jatuh," teriak sang nenek.


Tak ada kata berhenti. Teriakan sang nenek tak diacuhkan sama sekali. Mereka terus melanjutkan permainan mereka. Akhirnya nenek mereka menyerah, berhenti berteriak dan kembali masuk rumah. Mereka berhenti dengan sendirinya setelah mereka merasa capek sebelum ada yang menang di antara mereka.


"Sudah capek ah. Kita main yang lain saja yuk!" ajak Kan sembari mencari benda apa yang sekiranya dapat digunakan untuk bermain.


Bahagianya melihat mereka bermain mengisi liburan sekolah.

Minggu, 20 Desember 2020

TIKET



Gelisahku kembali melanda. Tiada yang hak menjadi bathil. Tiada manusia lepas dari khilaf dan salah. Tapi salah yang telah jelas tak seharusnya dikhilafkan.


"Ah, cuma sepuluh ribu. Jumlah yang tak berarti,"


Bagi Imam Al Ghazali, seekor lalat yang nampak hina dina pun menjadi perantara untuk masuk surga.


Huft, entahlah. Yang penting sepuluh ribunya kubayarkan. Itupun masih berat untuk ikhlas.

Sabtu, 19 Desember 2020

PANTAI UJUNGNEGORO, BATANG



Semburat jingga di ujung pagi, mengiringi langkahku merengkuh beribu cemara laut yang memanjang dari Sigandu sampai Ujungnegoro.

Riuh rendah kehidupan para pesepeda mulai menggeliat. Bercucur keringat, meningkatkan imun, menghempaskan Covid-19 yang semakin menggila.


Langkah demi langkah, tergapai loket masuk pantai Ujungnegoro.

Kubuka kaca mobilku.


"Selamat pagi. berapa orang Pak?" tanya seorang pemuda keluar dari ruang loket.

"Dua orang mas," jawabku sambil menunjuk satu istriku yang berada di belakang setir.

"Eh, Pak Bela. Silahkan lanjut saja."


Aku terpana dia menyebut namaku. Kuamati lebih cermat. Ah, iya. Dia muridku. Tapi siapa namanya, aku lupa.


"Eh berapa? ini uangnya," kataku sembari menyodorkan uang dua puluh ribuan.

"Nggak Pak. Buat Bapak gratis. Free." jawabnya.

"Nggak boleh gitu. Masuk ya harus bayar," desakku.

"Beneran Pak. Ga usah bayar. Gratis," jawabnya bertahan.


Perdebatan tanpa batas yang harus segera kuakhiri dengan jawaban menyerahku.

"Ya sudah lah. Terima kasih ya,"


Dari pos loket, seorang petugas mengarahkan kami ke tempat parkir.

"Mas, itu tadi yang berbaju merah siapa namanya ya. Saya kok lupa ya," tanyaku ke Mas Parkir.

"Miftah Arif Pak. Dulu murid Bapak ya?" tanyanya.

"Iya. Saya lupa namanya. Soalnya sudah lama lulusnya."


Debur ombak beradu dengan batuan karang di pantai ujungnegoro. Pasir lembut nan sejuk menjadi saksi keindahan pantai utara. Beberapa rajungan keluar dari lubangnya. Sekedar menengok siapa gerangan yang berkunjung di pagi yang indah ini.

"Oh, Pak guru rupanya" mungkin itu yang terucap di bibir-bibir rajungan itu karena tahu aku diloloskan dari loket tiket begitu saja tanpa bayar.


Kusapa mereka. Tapi mereka tak mau mendekat. "Jangan Dekat-dekat. Cukup dari situ saja. Kami belum tahu guru macam apa Anda. Jangan-jangan Anda  sama  saja dengan para pemburu rajungan yang selama ini mengejar-ngejar kami untuk dibikin peyek,"


Aku jongkok. Kuulurkan tanganku tanda persahabatan. Tapi mereka masih saja curiga. Semakin kudekatkan tanganku. Mereka masih juga enggan bersapa. Bahkan lari bersembunyi ke dalam lubang 

"Tak apalah, kau masih curiga. Aku maklum adanya."


Kunikmati ombak yang menggelitik kakiku berkali-kali. Kuhirup angin laut sepoi-sepoi.

Kerengkuh seonggok pasir. Kurasakan gemerisiknya bersama rumah-rumah kerang yang tercecer ditinggal penghuninya ke surga.


Pagi ini segera berlalu. Mentari telah menyapaku. Sinarnya hangat membelai kulitku. Saatnya pulang.


Di pelataran parkiran, kusempatkan menyapa penjual ciwel dan nasi jagung. Dua bungkus ciwel seharga empat ribu rupiah dan tiga bungkus nasi jagung seharga lima ribu rupiah kuhempaskan ke dalam plastik kresek dan kubawa pulang.


"Ya terus terus. Kiri..kiri." teriak Mas pemarkir.

Kusodorkan selembar uang lima ribuan.

"Nggak usah Pak. Buat Bapak gratis,"


Ealah, rupanya semua penghuni di Pantai Ujungnegoro ini sudah bersekongkol dengan Miftah Arif untuk menggratiskan semuanya kepadaku.


Kalau begitu, aku akan lebih sering datang ke sini.

Rabu, 02 Desember 2020

MANGGA GAJAH






Untuk kedua kalinya aku membeli mangga yg ukurannya lebih besar dari mangga biasa. Bobotnya mencapai 1 kilogram.


"Mba, ini mangga apa?" tanyaku kepada Mba penjual mangga.

"Mangga gajah," jawabnya singkat.

"Minggu kemarin aku membeli mangga gajah warnanya hijau. Kok sekarang kuning. Apa nggak salah Mba?" protesku. 


Mangga yang hijau cenderung bulat, sedangkan mangga yang kuning cenderung lonjong. Aku yakin jenis mangga ini berbeda. Tapi mengapa namanya sama-sama gajah.


"Kan sama-sama besar. Jadi namanya gajah,"

"Harusnya namanya dibedakan Mba. Kan yang satu hijau yang satu kuning,"

"Wah sampeyan pasti nggak pernah ke kebun binatang. Jadi nggak tahu tentang gajah. Gajah itu bermacam-macam. Ada gajah Afrika, gajah Jawa, gajah Sumatera. Semuanya berbeda-beda tapi namanya tetap gajah. Mangga gajah juga seperti itu, ada yang kuning ada yang hijau," jelas Mba penjual.


Kali ini aku terdiam dan hanya membatin "perasaan di kebun binatang hanya ada satu jenis gajah". Tapi aku tetap memilih diam daripada tambah dikatain 'sampeyan tak pernah sekolah'.