Jumat, 17 April 2020
AKUN BARU
Media sosial selayaknya digunakan untuk hal-hal positif, salah satunya adalah untuk menjalin silaturahmi dengan orang lain. Melalui medsos, pertemanan dan persahabatan yang telah lama terputus bisa dijalin kembali. Bahkan cinta sekalipun bisa bersemi kembali. Yang terakhir tidak baik bagi orang yang telah berkomitmen pada pasangannya. Untuk yang masih jomblo, tak masalah.
Media sosial juga bisa digunakan untuk menebar kebaikan. Dengan postingan positif, kita dapat menebar kasih sayang, persahabatan, kejujuran dan nilai-nilai positif lainnya. Dan itu menjadi tabungan pahala.
Media sosial adalah media terbuka. Siapapun bisa membaca, berkomentar, menyampaikan saran, pendapat, dan kritik. Walaupun demikian, ada etika di dalamnya. Ada orang lain yang wajib dijaga perasaannya dan dijaga haknya. Jadi, bermedos itu wajib bijak.
Pemilik akun pun harus bertanggung jawab terhadap isi postingannya dan berbesar hati untuk menerima segala masukan, saran, pendapat dan kritik terhadap postingan yang diunggahnya. Di dalam perbedaan pandangan, masukan, saran, dan kritik, akan ada hikmah dan ilmu yang bisa diambil untuk kebaikan. Sekali lagi, sikap dan etika dalam memberi saran, pendapat dan juga menanggapi harus dijaga. Demi kebaikan.
Bermedsos bisa memiliki nilai-nilai yang mulia. Karena itu, hindarkan media sosial dari berita-berita bohong, postingan yang dapat menyinggung orang lain, yang memecah persatuan dan postingan negatif lainnya.
Mengapa akun facebookku baru? Ini sesuai dengan tujuan awalku membuat akun yaitu agar bermanfaat bagi orang lain. Akun lamaku dibajak oleh orang tak dikenal dan tak diketahui. Mengapa dibajak? Mungkin karena ada sesuatu yang bisa diambil manfaatnya dari akunku yang menurutku sebenarnya biasa saja. Aku bersyukur ada orang yang tertarik dengan akunku. Tapi sampai diungkapkan dengan cara membajaknya, itu yang membuatku kaget. Haruskah seperti itu?
Aku hanya bisa berharap, mudah-mudahan bisa bermanfaat dan semoga tidak dimanfaatkan untuk merugikan orang lain.
Minggu, 12 April 2020
LINDA
"Pak Bas, belanja Pak," sapa seorang perempuan berjilbab dan bermasker warna biru di sebuah minimarket.
"Iya... Hmmm....siapa ya?" tanyaku penasaran. Aku berhenti memilih barang yang akan kubeli hanya untuk berkonsentrasi terhadap perempuan itu.
"Linda Pak. Saya angkatannya Lukita," jawabnya, "Pak Bas nulis buku ya?" lanjutnya
"Iya," jawabku singkat.
Rupanya dia sudah tahu kalau aku baru saja bertemu Lukita karena Lukita membeli bukuku "Kelasku [mungkin] Surgaku. (maaf sambil promosi ya. Ayo beli jangan sampai kehabisan stok!). Dan dia merefensikan nama Lukita agar aku sedikit mengingatnya. Lukita adalah alumni sekolahku, kalau tidak salah lulus tahun 2014.
Aku merasa heran, aku sudah memakai masker dua lapis warna coklat yang menutupi mukaku dan hanya kelihatan mataku. Bagaimana dia mengenaliku? Padahal tubuhku yang 5 tahun lalu terlihat atletis dan perut sixpack, kini sudah berubah lumayan drastis, 70 derajat lah.
Lalu apa yang membuatnya mengenaliku?
Setelah aku berpikir sejenak, akhirnya aku paham kenapa dia mengenaliku? Rambutku sudah seperti ini sejak dulu, memutih dan rontok di bagian depan. Pasti dia mengenaliku dari bagian ini.
Akan tetapi, aku sama sekali tak bisa mengenali Linda. Aku mempunyai banyak siswa bernama Linda dan aku tak tahu ini Linda yang mana tanpa melihat wajahnya. Aku juga tak berani memintanya untuk membuka maskernya. Kondisi masih gawat. Corona masih mengancam.
Ya Tuhan, betapa menderitanya diriku ini. Berbicara dengan orang yang mengenaliku tapi aku tak mengenalinya. Seperti berada dilorong kegelapan dimana aku tak bisa melihat apa-apa tapi orang lain melihatku,
mengawasiku dan mengancamku. Sumpah, ini sebuah penderitaan.
Aku benar-benar merasa bersalah tidak bisa mengenali Linda. Tapi baiklah, aku akan mengingat namanya supaya suatu saat bertemu tanpa masker aku segera mengenalinya. Mudah-mudahan tak sampai terbawa ngelindur saat tidur.
CURIGA
Walaupun ada himbauan untuk tidak keluar rumah, aku terpaksa keluar rumah membeli kertas HVS untuk menyelesaikan administrasi sekolah.
Naik sepeda motor dan bermasker, aku menuju tempat fotocopy untuk membeli kertas.
"Pak Bas, apa kabar?" suara seorang perempuan di sampingku.
"Eh, Wulan. Alhamdulillah baik," jawabku.
Wulan adalah almuni sekolahku, lulus dua tahun yang lalu. Dia tak memakai masker.
"Eh, kok tahu ini Pak Bas?" tanyaku sambil menunjuk masker di wajahku
"Tahu dong, kan bukan cuma wajah yang jadi ciri Pak Bas," jawabnya sambil senyum nyelekit.
Dalam hati, aku sudah bisa memastikan bahwa rambutku yang sudah memutih dan rontok di bagian depan menjadi ciri khasku.
Serta merta dia menyodorkan tangannya minta salaman. Aku tak kuasa untuk menolak dan kusodorkankan tanganku. Wulan salaman dan cium tangan. Tapi tiba-tiba dia tersentak. Mungkin baru tersadar, "kenapa harus salaman dan cium tangan,"
Aku yang bersedia salaman dan dicium tangannya juga merasa kikuk dan mulai timbul rasa curiga.
"Jangan-jangan di tanganku sudah menempel virus corona dari tangan dan hidung Wulan." kataku dalam hati
Sebaliknya, pasti dia juga curiga kepadaku. Jangan-jangan di hidung dan tangannya sudah terpapar virus corona dari tanganku.
Sampai rumah, aku segera mencuci tanganku menggunakan sabun. Pasti juga sama yang dilakukan Wulan, sampai rumah Wulan mencuci tangan menggunakan sabun.
Tak hanya tangan, hidungnya juga.
Senin, 06 April 2020
PUASA
Hari Senin ini, istri dan anak perempuanku berpuasa nyarutang. Sebagaimana adat orang berpuasa, makanan untuk berbuka pun dipersiapkan secara matang dan istimewa. Sejak jam empat, tumis kangkung, tempe goreng dan teh hangat mulai dipersiapkan oleh istri dan anakku. Akan tetapi, masih saja ada makanan yang perlu dibeli untuk menambah keistimewaan berbuka puasa. Anakku ingin roti, mie bihun, nuget dan molen pisang.
Sebagai orang yang paling bertenaga, aku menjadi orang yang harus berkeliling untuk memenuhi hasrat itu. Maka, saat itu juga, aku berkeliling mengunjungi pedagang roti, indomaret dan pedagang molen pisang. Naik motor, memakai masker.
Makanan tersebut berhasil kudapatkan dan sampai rumah setengah jam sebelum waktu maghrib. Tanpa menunggu istri dan anakku berbuka, kubuka bungkusan molen pisang dan mencicipinya.
"Hmm, enak sekali molen pisang ini," kataku sembari menggigit separoh.
"Ih Papa nih. Sudah nggak puasa, mingin-mingini orang berpuasa," protes anakku sambil mengaduk teh.
"Iya Pa. Nggak boleh gitu. Mbok menghargai orang yang lagi berpuasa. Nunggu sampai maghrib. Nanti makan bersama-sama," kata istriku yang masih menyelesaikan tumis kangkungnya
"Lha Papa kan nggak berpuasa," sanggahku sambil menghabiskan separoh molenku.
"Ya tahu. Makanya gendut. Tuh lihat perutnya sudah seperti orang hamil lima bulan," kata istriku.
"Iya. Sudah nggak puasa. Nggak sehat. Gendut. Mingin-mingini orang berpuasa. Dosanya berlipat-lipat," imbuh anakku ketus.
"Makanya besok kalau kita puasa, ikut puasa," imbuh istriku
"Papa nggak perlu puasa. Kan sudah ada yang berpuasa, papa ikut dapat pahalanya."
"Kok bisa?" tanya anakku.
"Molen ini siapa yang beli? Nuget, mie bihun, roti, siapa yang beli?" tanyaku
"Papa," jawab istri dan anakku serempak.
"Barang siapa memberi makan orang yang berpuasa, pahalanya sama dengan orang yang berpuasa," kataku mengakhiri.
Sabtu, 04 April 2020
MOLEN
Pedagang molen tersebar di seluruh penjuru tanah air. Kuyakin, di negara ini tak ada yang tak kenal makanan bernama molen. Makanan yang bentuknya menyerupai truk molen pengaduk semen dan diperkirakan berasal dari Bandung ini kini sudah meng-indonesia.
Tahu caranya membuat molen?
Sekarang, ada berbagai macam rasa molen karena isian molen semakin bervariatif. Ada pisang, nanas, nangka, keju, ubi kayu, coklat, ketan hitam, dan kacang hijau. Isian ini dibungkus dengan kulit molen.
Kulit molen terbuat dari adonan tepung terigu, tepung kanji, gula dan garam yang diaduk, diuleni dan dibuat lembaran-lembaran.
Biasanya, para pedagang molen sudah membawa isian dan kulit molen ini dalam keadaan siap goreng. Kulit molen tinggal dipipihkan kembali dengan pasta maker (alat untuk memipihkan kulit molen). Untuk selanjutnya, isian molen ini dibungkus dengan kulit molen. Kulit molen diletakkan di telapak tangan dan diberi isian kemudian digulung. Jadi satu molen. Kulit dipotong untuk membuat molen berikutnya. Kecepatan tangan menentukan banyaknya molen yang dibuat.
Semuanya memakai tangan terbuka. Apakah Anda tidak takut dengan penyebaran virus corona melalui tangan pedagang molen? Tak perlu khawatir. Seperti ini penjelasannya. Bisa dipaatikan bahwa akan terjadi perpindahan virus yang ada di telapak tangak pedagang ke adonan atau kulit molen. Setelah virus yang ada di telapak tangan pindah ke adonan dan kulit molen, maka virus itu akan segera dilempar ke wajan yang berisi minyak panas dengan temperatur 100 derajat celcius. Virus itu pasti mati (kecuali ada virus yang sakti yang sudah mempelajari ilmu kadigdayan, rawa rontek, waringin sungsang, lembu sekilan, rogoh sukma dan lain-lain). Jadi pasti aman.
Nah, yang perlu diperhatikan adalah cara membungkus molen. Biasanya pedagang molen menggunakan plastik atau kardus. Pedagang molen mengambil molen menggunakan penjepit makanan. Kalau dikhawatirkan plastik atau kardus tersentuh tangan pedagang, segera pindahkan molen ke piring atau wadah baru di rumah, kemudian buanglah plastik atau kardus tersebut. Ingat, sebenarnya tangan pedagang tadi sudah bebas virus karena virus sudah masuk wajan juga. Jadi, sebenarnya tak perlu mengkhawatirkan penyebaran virus lewat pedagang molen.
Seandainya Anda masih khawatir ada virus yang menempel di molen, saya sarankan sampai rumah cucilah molen dengan sabun dan air mengalir.
Kamis, 02 April 2020
BERMAIN BOLA
Pagi ini Ken, Kan dan Lin bermain bola. Bola plastik putih bergaris merah itu ditendang bergantian. Sampai akhirnya, bola itu meluncur dan nyemplung ke kali.
"Biar aku yang ambil," kata Ken.
"Di kali ada virus korona lho," kata Lin mengingatkan.
"Di kali ya nggak ada virus korona. Kalau ada, ikannya sudah pada mati," bantah Ken.
Akhirnya Ken turun ke kali untuk mengambil bola.
"Aku ikut," teriak Kan.
"Aku nggak ikut ya. Takut nggak bisa naik," kata Lin yang menyadari tubuhnya yang lebih besar dari Ken dan Kan.
Ken dan Kan turun bersama-sama ke kali untuk mengambil bola. Mereka berhasil mengambil bola yang telah terbawa arus yang tidak begitu deras karena ketinggian air yang hanya se-mata kaki. Akan tetapi, pinggiran kali yang berbeton tinggi membuat Kan dan Ken kesulitan untuk naik. Dengan usaha keras, mencari batu untuk pancikan (penyangga) kaki dan berpegangan pada beton tepian kali akhirnya mereka merayap dan berhasil naik. Tentu dengan baju yang basah dan kotor.
"Jangan bilang ibuku lho,"
Rabu, 01 April 2020
KALAU MAU BERSIH HARUS BERANI KOTOR
"Pa, ada telek wirok," teriak istriku dari teras.
Aku yang sedang berada di belakang dan mendengar teriakan istriku, segera berlari ke depan.
"Apa sih Ma. Heboh amat," jawabku ikut heboh.
"Itu lho kotoran tikus wirok di pojokan. Jorok. Tikus kok buang kotoran di sini sih," kata istriku sambil jengkel dan menunjukkan sekumpulan butiran kotoran tikus wirok di pojok teras.
Ada 5 butir. Bentuknya lonjong seperti tablet penambah kalsium. Ukuran panjangnya 1,5 - 2 cm dan diiameternya sekitar 0,75 cm. Warnanya hitam dan mengkilap tandanya kotoran ini masih basah. Baunya menyengat.
"Besok ditulisi 'Dilarang buang air besar di sini'. Mama ya aneh. Tikus itu bebas mau berak di mana pun." jelasku
"Tapi kan biasanya di tempat kotor," kata istriku
"Ya sekali-sekali di tempat yang bersih. Sudahlah, tinggal dibuang saja sih. Tuh pakai sapu," kataku
"Jangan pakai sapu. Nanti sapunya kena," bantah istriku
Aku tengak-tengok mencari sesuatu yang bisa dipakai untuk membuang kotoran ini. Tapi tak ada. Tak ada daun kering, sabut kelapa, kertas bekas atau benda lain yang bisa digunakan untuk membuang kotoran tikus ini.
"Pakai tisu. Ambil tisu sana," suruhku.
Istriku masuk ke rumah untuk mengambil tisu.
"Nih Pa!" sambil menyodorkan dua lembar tisu.
"Mama sendiri yang ngambil," kataku
"Nggak mau. Jorok,"
"Biar tahu rasanya pegang kotoran tikus," kataku
"Huekk..nanti Mama nggak bisa makan tiga hari," kata isriku membela diri.
"Ya alhamdulillah. Jadi langsing,"
"Hiiih,"
"Gitu saja kok sampai nggak makan tiga hari. Latihan dengan yang jijik. Kotor sedikit nggak apa-apa. Coba sini tangannya," kataku sambil menarik tangan istriku yang masih memegang tisu.
Kudekatkan tangannya ke kotoran tikus wirok tersebut.
"Hiii," teriaknya spontan sambil melempar kertas tisunya dan lari.
Akhirnya aku sendiri yang mengambilnya. Kulipat tisu jadi empat agar lebih tebal. Kuambil kotoran tikus wirok itu satu per satu. Lunak. Tak perlu kucium lagi. Lalu kubuang ke kali depan rumah bersama tisunya.
"Kalau mau bersih harus berani kotor Ma..!"
Langganan:
Postingan (Atom)