Aku merasa Ujian Nasional kali ini berjalan dengan sukses.
Selain tidak ada kekhawatiran “tidak lulus” juga tak ada lagi kebisingan
“bocoran”. Maka, aku menilai langkah menteri pendidikan nasional yang telah
menghapus ketentuan kelulusan berdasarkan pada nilai Ujian Nasional sangat
tepat.
Namun, melihat nilai-nilai Ujian Nasional di sekolahku yang kurang sesuai dengan kondisi siswa,
otakku protes.
“Masa anak di bawah standard berhasil meraih 5 besar dalam
nilai Ujian nasional”, protesku.
Aku memilih diam. Selain aku menganggap apalah arti nilai
Ujian Nasional sekarang yang tidak lebih hanya sekedar hiasan Ijazah. Apalah
arti ranking nilai Ujian Nasional kalau hasil dengan kemampuannya tak sesuai.
“Mungkin dia sedang bejo,” kataku dalam hati.
Akhirnya rasa penasaran dan protes dari otakku terjawab
ketika suatu hari aku bertemu dengan salah satu pelaku Ujian Nasional tahun ini
di sebuah warung bakso. Sebuah pertemuan yang tanpa disengaja. Karena sudah
lama tidak berangkat ke sekolah, segala cerita tentang sekolah dia tumpahkan kepadaku
(bukan ke mangkok bakso). Salah satu curhatan yang berhasil aku tangkap adalah
dia protes mengenai kunci jawaban Ujian Nasional yang tidak merata.
“Iurannya sama kok hasilnya beda,” kata dia.
Aku spontan berkomentar:
“Ternyata kalian jadi iuran,
kirain batal,” kataku.
“Hehe.. Sudah kadung iuran sih
Pak,” jawabnya
“Kan sudah tak ada gunanya pakai
bocoran, tak menentukan kelulusan,”.
“Biar nggak malu-maluin orang tua
Pak,” kata dia beralasan
“Masih pakai bocoran kok nggak
bising kayak tahun-tahun kemarin?” tanyaku
“Nggak bising ya Pak? Itu artinya
kami sudah bermain cantik.”
(Maaf beribu maaf aku tujukan
kepada seluruh para pelaku pendidikan, utamanya kepada Mas menteri Anies
Baswedan. Tulisan ini hanya menunjukkan kenyataan yang masih terjadi di
lapangan, dan aku tak bisa berbuat apapun. Pahit memang pahit... tapi harus aku
ceritakan juga. “Qulil haqa walau kaana muuron”. Mudah-mudahan ada
hikmahnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar