Pagi tadi blanko ijazah untuk SMA telah turun. Tugasku sebagai pengelola nilai adalah meneliti kembali nilai yang akan dimasukkan ke dalam ijazah. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya yang mencantumkan nilai UN, ijazah tahun ini tak ada kolom nilai Ujian Nasional. Yang ada hanya nilai Raport dan Ujian Sekolah.
Untuk itu, tak ada alasan lagi, para siswa takut nilai Ujian Nasional mereka jelek. Tak ada lagi alasan untuk berbuat curang (mencontek) dalam Ujian Nasional karena takut nilai Ujian Nasional mereka yang terpampang di ijazah kurang memuaskan.
Ini pemberitahuan untuk peserta Ujian Nasional tahun depan. Jangan takut nilai Ujian Nasionalnya buruk. Berbuat jujurlah. Tak ada lagi yang perlu ditakutkan untuk berbuat jujur.
Selasa, 23 Juni 2015
Minggu, 14 Juni 2015
MENJADI PEGAWAI PROVINSI
UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah telah disahkan pada
tanggal 2 Oktober 2014. Di dalamnya terdapat perincian pembagian urusan Pemerintahan
bidang pendidikan. Salah satunya adalah sub urusan manajemen pendidikan yang berisi
:
a. penetapan standar nasional pendidikan
dan pengelolaan pendidikan tinggi menjadi kewenangan Pemerintah Pusat;
b. pengelolaan pendidikan menengah dan
pendidikan khusus menjadi kewenangan Daerah Provinsi; dan
c. pengelolaan pendidikan dasar,
pendidikan anak usia dini, dan pendidikan nonformal menjadi kewenangan daerah kabupaten
kota.
Dengan berlakunya undang-undang tersebut, semua guru di sekolah
menengah dan sekolah khusus di wilayah Jawa Tengah dikabarkan akan menjadi pegawai provinsi. Walaupun realisasi
undang-undang ini masih dalam tahap proses tapi undang-undang ini disambut
gembira oleh para guru sekolah menengah termasuk aku karena kami akan menjadi
pegawai provinsi dan tidak lagi menjadi pegawai kabupaten/ kota. Dengan menjadi
pegawai provinsi, kami berharap kesejahteraan kami akan lebih meningkat.
Sudah diketahui umum bahwa pegawai pemerintah provinsi Jawa
Tengah mempunyai hak untuk memperoleh TPP (Tambahan Penghasilan Pegawai).
Dasar hukum pemberian tambahan penghasilan Pemprov Jateng awalnya tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 51 Tahun 2013 tanggal 21 Agustus 2013 yang diperbaharui dengan Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 43 Tahun 2014 tentang besarnya TPP Pemprov Jateng yang berlaku sejak bulan September 2014 yaitu sebagai berikut:
Menggiurkan bukan ?
Kamis, 11 Juni 2015
PERPISAHAN
Perpisahan kelas XII adalah salah satu acara yang
ditunggu-tunggu oleh semua orang. Selain santai, acara ini penuh dengan
pertunjukan menarik yang dipersembahkan oleh para siswa. Acara ini
diselenggarakan di Dufan Convention Center Pekalongan.
Kebetulan di acara ini, bersama Pak Prapto dan Bu Erni, aku ditunjuk menjadi panitia sebagai seksi acara. Seksi acara bertugas untuk mempersiapkan dan
mengatur seluruh acara dari awal sampai akhir. Oleh karena itu, aku menjadi
orang yang paling awal datang ke tempat acara dan paling akhir meninggalkan tempat
acara.
Sejak pukul 06.30 WIB aku sudah siap di belakang panggung. Persiapan
telah aku lakukan: pembawa acara, pengisi acara, dan properti telah lengkap. Pada
pukul 07.30, para siswa kelas X dan XI telah memasuki ruangan. Para siswa kelas
XII belum memasuki ruangan karena ada kirab sebelum mereka memasuki ruangan,
jadi mereka terlebih dahulu berkumpul di halaman gedung.
Pada acara perpisahan kali ini, tamu undangan perempuan dan
para siswi kelas XII diwajibkan mengenakan kebaya. Para siswa daan tamu
undangan laki-laki mengenakan baju batik lengan panjang. Mungkin karena harus
berdandan ke salon, maka banyak para siswi dan tamu undangan yang terlambat hadir.
Untuk itu, acara pun molor. Acara baru dimulai pukul 08.30.
Diawali dengan kirab para siswa kelas XII dari halaman
menuju ke dalam ruangan. Acara ini langsung dikoordinasi oleh Bu Arie selaku
ketua pelaksana. Aku mempersiapkan pembawa acara yang memandu acara kirab ini.
Pak Prapto mempersiapkan tata cahaya, audio dan video. Bu Erni mempersiapkan
para penari pengiring kirab. Dengan HT (Handie Talkie) di tanganku, aku terus berkoordinasi
dengan Bu Arie, Bu Erni dan Pak Prapto.
Setelah kirab dan para siswa kelas XII teah memasuki ruang,
acara dilanjutkan dengan sambutan-sambutan, serah terima siswa dari kepala
sekolah kepada wali siswa dan acara tari dan musik band dari siswa-siswa kelas
XII maupun kelas X dan XI. Pelaksanaan acara ini harus kami persiapkaan dengan
matang di belakang panggung dengan memperhitungkan seluruh durasi. Untuk itu,
aku sama sekali tak beringsut dari belakang panggung.
Sepanjang acara, para juru foto dan kameramen mondar-mandir
mengambil gambar semua kegiatan, para tamu undangan dan wajah-wajah para siswa
kelas XII yang pada hari ini akan segera dilepas. Gambar tersebut ditayangkan
secara live di 2 layar besar di samping panggung. Sesekali aku mengintip ke
panggung untuk melihat gambar yang tayangkan di layar-layar tersebut. Wajahku sendiri
sama sekali tak pernah muncul di layar lebar tersebut.
Bertugas sebagai seksi acara seperti ini, aku tak sempat masuk
ke dalam jepretan kamera atau video shooting. Aku juga tak sempat ng-eksis atau
narsis. Yach begitulah, kegiatan perpisahan kelas XII kali ini berjalan dengan
sukses tanpa fotoku.
Di situ, kadang aku merasa sedih.
Rabu, 10 Juni 2015
PAK UJI MANTU
Tanggal 15 Mei 2015 Bapak Drs. Uji Prasetyo menikahkan putra pertamanya, Raditya Adi Nugraha, S.Pd. yang menyunting gadis Kebumen bernama Yanuar Sulistiyaningrum, S.Pd., M.Sc. (putri Bapak Sujaryadi, S.Pd dan Ibu Sugiyarti). Sudah
menjadi kebiasaan di sekolah kami apabila ada rekan guru mempunyai hajat, rekan
yang lain harus siap membantu terutama yang rumahnya paling dekat.
Persiapan pernikahan ini sudah dimulai beberapa minggu
sebelum hari H. Panitia telah dibentuk. Jauh-jauh hari, rekan-rekan guru sudah
menanyakan kepadaku tentang peran apa yang aku pegang dalam kepanitiaan hajatan
Pak Uji. Maklum, aku adalah salah satu orang yang rumahnya paling dekat dengan
Pak Uji (satu RT).
“Saya bukan panitia,” jawabku karena Pak Uji pernah mengatakan
kepadaku bahwa panitia ditunjuk dari orang-orang satu dawis (dasa wisma).
“Wah, manusia tak berguna,” kata rekan-rekanku.
Aku harus bilang apa lagi. Nyatanya, aku bukan panitia.
Ternyata dua hari sebelum pelaksanaan akad nikah (ijab qabul) yang akan dilaksanakan di tempat mempelai perempuan yaitu di Kebumen, aku
diminta untuk mengantarkan barang-barang hantaran ke Magelang. Walaupun
aku tetap bukan panitia, aku sudah merasa menjadi manusia berguna. Aku serasa
panitia. Dari Magelang inilah, keluarga besar Pak Uji transit sebelum menuju
rumah mempelai putri di Kebumen. Jadi, aku cukup mengantar barang hantaran tersebut
sampai Magelang dan sekaligus mengambil cendera mata di Jogja untuk acara
ngunduh mantu yang akan dilaksanakan pada tanggal 23 Mei 2015 di Batang.
Pada tanggal 22 Mei 2015 dilaksanakan acara Walimatul ‘Ursi.
Aku bertugas untuk meminjam dan mengembalikan sound system dari sekolah. Aku tetap bukan panitia.
Pada hari H acara ngunduh
mantu (23 Mei 2015) yang dilaksanakan di gedung Korpri (sekitar 2 km dari rumah Pak Uji), aku
bertugas mengantar souvenir dan panitia dari rumah menuju tempat acara. Pada jam 09.00 aku sudah
stand by. Setelah tugas awal selesai, aku menjadi manusia biasa. Aku mengikuti
acara hajaan Pak Uji sebagai tamu undangan. Aku mengajak istri dan anak-anakku. Aku masuk
dan bersalaman dengan para among tamu yang memakai pakaian
seragam batik yang pastinya dibelikan oleh Pak Uji. Batik warna hijau. Mereka nampak rapi berjajar menyambut para tamu, termasuk aku.
“Wah, batiknya bagus. Seandainya aku menjadi panitia, pasti
aku juga mengenakan batik itu. Sayang, aku bukan panitia,” kataku dalam hati.
Selesai acara, sekitar pukul 12.30, aku harus melaksanakan
kembali tugasku. Aku menjemput kembali para panitia dari gedung Korpri ke
rumah. Aku masih terngiang seragam batik itu.
Dua hari kemudian, Pak Uji mengucapkan terima kasih dan memberikan
amplop yang isinya bisa untuk membeli lebih dari 10 potong batik seragam itu.
Alhamdulillah. Terima kasih Pak Uji.
Tapi aku tetap saja terngiang batik seragam itu. Rasanya
belum puas kalau belum mendapatkan batik gratisan.
Kamis, 04 Juni 2015
LOMBA KARAOKE
Sebuah sindrom kembali mendatangiku. Lomba yang disambut
dengan berbunga-bunga oleh banyak orang, justru menjadi sindrom bagiku. Dalam
rangka ulang tahun ke-15, pada tanggal 30 April 2015, sekolah akan mengadakan
lomba karaoke. Lomba ini wajib diikuti oleh guru per mata pelajaran. Setiap
mata pelajaran harus mewakilkan gurunya untuk mengikuti lomba ini. Guru bahasa
Perancis hanya ada 2 orang, aku dan Bu Sri Rejeki, S.Pd.. Celakanya, Bu Sri
Rejeki, S.Pd. dilarang untuk mengikuti lomba ini karena dianggap sudah pandai
menyanyi. Artinya, akulah yang harus maju mengikuti lomba ini.
Sudah aku coba berulang kali untuk memperbaiki rasa tentang
nada dan lagu di otakku. Tak bisa juga. Jangankan 7 oktaf, bunyi do saja berubah jadi re.
Tapi dengan terpaksa aku mencoba dan berusaha keras untuk
berlatih menyanyi. Segala lagu aku coba. Siapa tahu ada lagu yang pas: lagu
pop, rock, campursari, lagu Inggris, lagu Perancis. Selama 2 hari aku berlatih
sampai telinga anak dan istriku sakit. Hasilnya, tenggorokanku radang.
Ternyata hanya lagu-lagu semacam balonku, bintang kecil, ibu
kita kartini yang nadanya bisa masuk di tenggorokanku. Dengan nada yang tak
lebih dari 5 not tersebut, aku cocok. Tapi sayang beribu sayang, kondisi dan
situasi tak memungkinkanku untuk tampil dengan lagu itu.
Walaupun tenggorokanku sudah sakit, akhirnya aku memantapkan
hati untuk tidak mengikuti lomba karaoke tersebut.
Namun demikian, agar mata pelajaranku tetap berpartisipasi, aku beralih
haluan. Aku mengajak Bu Uswatun Khasanah, S.P. yang ternyata juga suka
bershalawat untuk berkolaborasi. Beliau adalah guru Prakarya dan Kewirausahaaan
yang juga seorang ustadzah. Aku yang memainkan rebana, beliau yang bershalawat.
Tahu tidak, mengapa aku tidak gagap dengan not di rebana? Karena rebana hanya mempunyai 2 not, tong dan dung. Setelah berlatih sebentar, maka aku dan Bu Uswatun mantap untuk tampil shalawatan. Walaupun akhirnya para siswa penggemar rebana ikut juga, tak apalah.
Malah tambah ramai.
Tahu tidak, mengapa aku tidak gagap dengan not di rebana? Karena rebana hanya mempunyai 2 not, tong dan dung. Setelah berlatih sebentar, maka aku dan Bu Uswatun mantap untuk tampil shalawatan. Walaupun akhirnya para siswa penggemar rebana ikut juga, tak apalah.
Malah tambah ramai.
KAMI BERMAIN CANTIK
Aku merasa Ujian Nasional kali ini berjalan dengan sukses.
Selain tidak ada kekhawatiran “tidak lulus” juga tak ada lagi kebisingan
“bocoran”. Maka, aku menilai langkah menteri pendidikan nasional yang telah
menghapus ketentuan kelulusan berdasarkan pada nilai Ujian Nasional sangat
tepat.
Namun, melihat nilai-nilai Ujian Nasional di sekolahku yang kurang sesuai dengan kondisi siswa,
otakku protes.
“Masa anak di bawah standard berhasil meraih 5 besar dalam
nilai Ujian nasional”, protesku.
Aku memilih diam. Selain aku menganggap apalah arti nilai
Ujian Nasional sekarang yang tidak lebih hanya sekedar hiasan Ijazah. Apalah
arti ranking nilai Ujian Nasional kalau hasil dengan kemampuannya tak sesuai.
“Mungkin dia sedang bejo,” kataku dalam hati.
Akhirnya rasa penasaran dan protes dari otakku terjawab
ketika suatu hari aku bertemu dengan salah satu pelaku Ujian Nasional tahun ini
di sebuah warung bakso. Sebuah pertemuan yang tanpa disengaja. Karena sudah
lama tidak berangkat ke sekolah, segala cerita tentang sekolah dia tumpahkan kepadaku
(bukan ke mangkok bakso). Salah satu curhatan yang berhasil aku tangkap adalah
dia protes mengenai kunci jawaban Ujian Nasional yang tidak merata.
“Iurannya sama kok hasilnya beda,” kata dia.
Aku spontan berkomentar:
“Ternyata kalian jadi iuran,
kirain batal,” kataku.
“Hehe.. Sudah kadung iuran sih
Pak,” jawabnya
“Kan sudah tak ada gunanya pakai
bocoran, tak menentukan kelulusan,”.
“Biar nggak malu-maluin orang tua
Pak,” kata dia beralasan
“Masih pakai bocoran kok nggak
bising kayak tahun-tahun kemarin?” tanyaku
“Nggak bising ya Pak? Itu artinya
kami sudah bermain cantik.”
(Maaf beribu maaf aku tujukan
kepada seluruh para pelaku pendidikan, utamanya kepada Mas menteri Anies
Baswedan. Tulisan ini hanya menunjukkan kenyataan yang masih terjadi di
lapangan, dan aku tak bisa berbuat apapun. Pahit memang pahit... tapi harus aku
ceritakan juga. “Qulil haqa walau kaana muuron”. Mudah-mudahan ada
hikmahnya)
Langganan:
Postingan (Atom)