Gedung itu megah sekali. Jendelanya berkaca lebar-lebar dan bersih. Di depannya berjajar pot-pot berisi berbagai macam bunga. Bercat krem nampak bersih. Ada tiga anak tangga untuk memasukinya.
“Wow, gedung apa ini?”
Di depan pintu aku ternganga sementara anak-anak yang lain
berebut memasukinya. Kuikuti anak yang lain, masuk pelan-pelan sembari
mengamati pintu, gagang pintu, lantai, plafon, meja, kursi, dan mesin tik.
Hari ini aku akan belajar mengetik. Mesin tik, walaupun
sudah pernah kulihat di kelurahan tapi baru kali ini aku bisa menatapnya secara
langsung dan sebentar lagi menyentuhnya. Berbeda dengan mesin tik di kelurahan
yang hanya satu-satunya berada di meja Pak Carik berwarna abu-abu blutek, mesin
tik di ruangan ini banyak sekali berjajar di atas meja. Warnanya putih gading
dan mengkilap. Ini pasti mahal sekali. Pantas saja, sekolah menempatkan benda-benda
ini di ruangan yang begitu megah dan gedung ini di bangun di bagian depan
sekolah agar semua orang bisa berdecak kagum. Siapapun yang lewat di depan
sekolah dan sedikit berjinjit dapat melihat barang-barang mewah ini.
“Ayo, anak-anak hari ini kita akan praktik mengetik dengan
sepuluh jari,” teriak Pak Sudirman berdidi di depan. Kemudian beliau
menunjukkan papan tuts besar di dinding depan bagian atas yang berisi
huruf-huruf yang persis sama dengan yang ada di mesin tik. Rupanya itu adalah
gambar tuts mesin tik yang diperbesar.
“Siapkan jari-jari kalian di atas tuts,” lanjut Pak Sudirman
dengan suara khasnya.
Aku menempatkan jari-jariku di atas tuts mesin tik. Sedikit
gemetar. Dimulai dari jari kelingking tangan kiri yang harus kutempatkan di
atas huruf A. Kemudian jari manis kiri di atas huruf S, jari tengah kiri di
atas huruf D, jari telunjuk kiri di atas huruf F, jari telunjuk kanan di atas
huruf J, jari tengah kanan di atas huruf K, jari manis kanan di atas huruf L,
dan jari kelingking kanan di atas ;.
“Sekarang lihat ke depan, jangan lihat tutsnya.”
“Nanti kalau salah pegang gimana Pak?” Tanya salah satu
temanku.
“Rasakan jari telunjuk kanan dan kiri kalian. Di tuts huruf
F dan J ada jendulan kecil. Itu sebagai patokan agar jari kalian tidak
kelayaban ke mana-mana. Jari telunjuk kalian jangan sampai pergi dari tuts yang
ada jendulannya tersebut.”
Kuraba pelan dan kurasakan benar adanya. Ada jendulan kecil
di tuts huruf F dan J.
“Sekarang mulai. Tekan jari sesuai huruf yang saya
sebutkan,” kata Pak Sudirman.
Aku tertegun. Sebentar lagi aku akan mengoperasikan mesin
hebat ini. Sebuah mesin yang bisa menulis dengan rapi seperti di buku paket dan
lurus tanpa penggaris. Istimewa.
“A,” teriak Pak Sudirman.
“Tak..” suara serempak dari mesin tik-mesin tik berbarengan.
Aku tersentak, kaget dan bingung. Namun sekejap kemudian aku
menguasai keadaan, kemudian kupencet jari kelingking kiriku dengan keras “tak”.
Semua temanku menengok ke arahku.
“A,” teriak Pak Sudirman lagi.
Kali ini aku tak mau tetinggal. Kupencet jari kelingking
kiriku dengan semangat “tak”.
Pelajaran “A” diulang-ulang sampai 10 kali. Jari kelingking
kiriku sungguh pegal sebelum pindah ke huruf S dan seterusnya.
Pelajaran mengetik selesai. Sungguh indah pengalamanku hari
ini walaupun jari-jariku sakit semua.