alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Rabu, 14 Juli 2021

MENCARI IKAN LAGI

 Di akhir musim penghujan ini, volume air sungai semakin mengecil. Ikan pun semakin menghilang. Yang tersisa adalah anak-anak ikan yang masih kecil dari telur yang telat menetas. Pasti induk ikan ini salah perhitungan karena sebentar lagi sungai akan mengering. Biasanya telur ikan menetas pada awal musim hujan sehingga anak-anak mereka dapat bertumbuh kembang dengan baik. Dalam kondisi menjelang kemarau dan sungai biasanya mengering, ke manakah mereka akan mencari perlindungan? Oh kasihan. Kini, mereka hidup sendiri. Induk-induk mereka entah pergi ke mana. Tapi itulah alam. Ada yang pandai berhitung ada yang tidak pandai.


Saat-saat seperti ini dimanfaatkan oleh Ken dan Kan untuk menangkap anak ikan yang masih kecil dan nampak jinak. Sore menjelang asar, berbekal seser, gelas plastik dan botol beling, Ken dan Kan turun ke sungai mereka mencari ikan.


"Ken Kan ini di sini banyak ikannya," teriakku sambil menunjukkan tempat anak ikan berkumpul. Cukup dengan melambaikan tangan untuk membentuk bayangan di tempat berkumpulnya ikan, Ken dan Kan memahami isyaratku dan segera menyerok anak-anak ikan.


"Jangan pakai seser. Pakai gelas plastik saja. Pelan-pelan," kataku memberi komando.


Mata seser yang mereka gunakan terlalu lebar untuk menyerok anak ikan yang masih sangat kecil.


"Kan, ayo mandi, sudah sore," teriak pengasuh Kan tiba-tiba.


Beberapa saat Kan nampak berdiskusi serius dengan Ken membahas hasil tangkapan mereka dan tak mempedulikan panggilan Mba pengasuhnya. 


"Ayo pada naik. Sudah sore. Mandi. Terus berangkat TPQ," teriakku setelah terdengar suara adzan asar dari toa mushola.

"Yahhh...," gerutu Ken yang selalu berdoa supaya TPQnya libur supaya tidak ada tes TPQ.


Mereka bergegas naik. Aku membantu memegang botol beling, gelas plastik dan sesernya.


"Ini nanti dipelihara dimana Ken?" tanyaku

"Di ember," jawabnya singkat.


"Yah, di ember. Minta beliin aquarium dong," 


(maaf sedikit kalimat provokasi supaya ayah ibunya membelikan aquarium untuk memelihara hasil tangkapan Ken dan Kan) 🤭🤗😁


Jumat, 12 Februari 2021

MOBIL JAMU KELILING

(Seri ke-28)

Aduhai jamu j*** pujaanku terkenal sepanjang masa. Kasiatnya terbukti.... Saudara-saudara berjumpa lagi dengan jamu j***. Encok, pegel linu, kecapekan, semua akan sembuh dengan jamu j***. Kukuruyuuuuk." Lagu dan suara promosi dengan pengeras suara di atas sebuah mobil itu memanggil para pembelinya.
Mobil box kecil itu berhenti di perempatan. Sebuah mobil dengan warna dominasi kuning dan putih serta bergambar mozaik ayam jantan yang menjadi logo dari produk jamu tersebut. Mobil itu terkesan hingar bingar karena lampu terpasang di atas, di samping dan di belakang. Pintu belakang dibuka dan ada rak-rak untuk memajang jamu. Berbagai jenis jamu yang ditawarkan. Sebuah meja kecil dikeluarkan. Di atasnya ada gelas, sendok, tremos, dan telur ayam kampung sebagai tempat untuk melayani pembeli. Salah satu penjual dengan sigap melayani para pembeli, baik yang diseduh dan diminum langsung di tempat maupun yang beli jamu sachetan untuk dibawa pulang. Musik tak henti berputar sambil memperkenalkan produk jamu yang dijual. Mobil ini datang secara rutin sebulan sekali dengan ciri yang sama.
Tidak hanya orang tua yang datang untuk membeli jamu. Anak-anak datangl untuk menonton atraksi orang bertubuh kecil atau (maaf cebol). Berpakaian rapi, kemeja, celana jeans dan bersepatu, orang bertubuh kecil itu menari, melompat, dan salto di atas atap mobil tersebut mengikuti irama musik yang diputar, kadang bermain sulap, melucu, menyapa dan bercanda dengan para pembeli. Dan sesekali menirukan suara kluruk ayam jantan. Kedatangan penjual jamu ini menjadi hiburan tersendiri bagi desa yang jauh dari hingar bingar itu.
Mendengar ramai-ramai dengan musik khasnya, Mak Munhiah tak mau ketinggalan.
"Sri, temani emak beli jamu yuk,"
Walaupun masih kesal dengan sikap emaknya tadi siang, Sri yang masih berkutat dengan novelnya, segera meletakkan novelnya dan menemani emaknya.
“Sekalian cari hiburan,” kata Sri dalam hati.
Mak munhiah membeli jamu pegal linu yang diseduh dan diminum di tempat sekaligus membeli beberapa sachet jamu kuat pria untuk Pak Rijal serta param pusaka untuk persediaan luluran ketika badan pegal-pegal.
"Sri, kamu nggak pingin minum jamu?" tanya Mak Munhiah.
"Nggak Mak. Sri sehat-sehat kok." jawab Sri.
"Minum jamu itu bukan untuk yang sakit saja lho Mba. Untuk yang cantik juga bisa biar tetap cantik dan tetap sehat tentunya. Ini ada jamu biar kulit tetap kenceng dan halus," rayu penjualnya genit.
Sri tersenyum kecut menanggapi penjual jamu itu.

Rabu, 27 Januari 2021

BELAJAR MENGETIK

 

Gedung itu megah sekali. Jendelanya berkaca lebar-lebar dan bersih. Di depannya berjajar pot-pot berisi berbagai macam bunga. Bercat krem nampak bersih. Ada tiga anak tangga untuk memasukinya.

“Wow, gedung apa ini?”

Di depan pintu aku ternganga sementara anak-anak yang lain berebut memasukinya. Kuikuti anak yang lain, masuk pelan-pelan sembari mengamati pintu, gagang pintu, lantai, plafon, meja, kursi, dan mesin tik.

 

Hari ini aku akan belajar mengetik. Mesin tik, walaupun sudah pernah kulihat di kelurahan tapi baru kali ini aku bisa menatapnya secara langsung dan sebentar lagi menyentuhnya. Berbeda dengan mesin tik di kelurahan yang hanya satu-satunya berada di meja Pak Carik berwarna abu-abu blutek, mesin tik di ruangan ini banyak sekali berjajar di atas meja. Warnanya putih gading dan mengkilap. Ini pasti mahal sekali. Pantas saja, sekolah menempatkan benda-benda ini di ruangan yang begitu megah dan gedung ini di bangun di bagian depan sekolah agar semua orang bisa berdecak kagum. Siapapun yang lewat di depan sekolah dan sedikit berjinjit dapat melihat barang-barang mewah ini.

 

“Ayo, anak-anak hari ini kita akan praktik mengetik dengan sepuluh jari,” teriak Pak Sudirman berdidi di depan. Kemudian beliau menunjukkan papan tuts besar di dinding depan bagian atas yang berisi huruf-huruf yang persis sama dengan yang ada di mesin tik. Rupanya itu adalah gambar tuts mesin tik yang diperbesar.

 

“Siapkan jari-jari kalian di atas tuts,” lanjut Pak Sudirman dengan suara khasnya.

 

Aku menempatkan jari-jariku di atas tuts mesin tik. Sedikit gemetar. Dimulai dari jari kelingking tangan kiri yang harus kutempatkan di atas huruf A. Kemudian jari manis kiri di atas huruf S, jari tengah kiri di atas huruf D, jari telunjuk kiri di atas huruf F, jari telunjuk kanan di atas huruf J, jari tengah kanan di atas huruf K, jari manis kanan di atas huruf L, dan jari kelingking kanan di atas ;.

 

“Sekarang lihat ke depan, jangan lihat tutsnya.”

“Nanti kalau salah pegang gimana Pak?” Tanya salah satu temanku.

“Rasakan jari telunjuk kanan dan kiri kalian. Di tuts huruf F dan J ada jendulan kecil. Itu sebagai patokan agar jari kalian tidak kelayaban ke mana-mana. Jari telunjuk kalian jangan sampai pergi dari tuts yang ada jendulannya tersebut.”

Kuraba pelan dan kurasakan benar adanya. Ada jendulan kecil di tuts huruf F dan J.

“Sekarang mulai. Tekan jari sesuai huruf yang saya sebutkan,” kata Pak Sudirman.

Aku tertegun. Sebentar lagi aku akan mengoperasikan mesin hebat ini. Sebuah mesin yang bisa menulis dengan rapi seperti di buku paket dan lurus tanpa penggaris. Istimewa.

“A,” teriak Pak Sudirman.

“Tak..” suara serempak dari mesin tik-mesin tik berbarengan.

Aku tersentak, kaget dan bingung. Namun sekejap kemudian aku menguasai keadaan, kemudian kupencet jari kelingking kiriku dengan keras “tak”. Semua temanku menengok ke arahku.

“A,” teriak Pak Sudirman lagi.

Kali ini aku tak mau tetinggal. Kupencet jari kelingking kiriku dengan semangat “tak”.

Pelajaran “A” diulang-ulang sampai 10 kali. Jari kelingking kiriku sungguh pegal sebelum pindah ke huruf S dan seterusnya.

Pelajaran mengetik selesai. Sungguh indah pengalamanku hari ini walaupun jari-jariku sakit semua.

 

 

Kamis, 21 Januari 2021

LEPEN PUCANG


Pagi menjelang. Embun tipis masih melayang-layang setelah semalam berkencan dengan hujan. udara dingin masih terasa menusuk kulit. Kutunggu mentari di depan rumah sembari menunggu istriku membuatkan kopi.
"Pisang Pak," tawar ibu pedagang pisang berhenti di depan rumah sambil menurunkan keranjang bambu dari gendongannya.
Kudekati pedagang pisang tersebut dan kutengok keranjangnya.
"Pisang ijo niki pintenan Bu?" (pisang hijau ini berapanan Bu) tanyaku memakai Bahasa Jawa kromo. Ada beberapa jenis pisang yang ada di keranjang tapi aku tertarik dengan pisang hijau.
"Meniko kalih doso ewu," (Ini dua puluh ribu) jawab ibu dengan Bahasa Jawa kromo juga.
Kuambil uang lima puluhan ribu dan kubayarkan. Sang ibu penjual melepas simpul selendang lurik tenunnya yang digunakan untuk menggendong keranjang yang diikat ujungnya yang digunakan untuk menyimpan uang, lalu mengambil uang tiga puluh ribu sebagai kembalian.
Sembari menunggu kembalian, aku basa-basi bertanya:
"Panjenengan daleme pundi Bu, kok gasik sampun dugi mriki?" (Anda rumahnya mana Bu, kok pagi-pagi sudah sampai sini)
"Kulo saking Lepen Pucang," (Saya dari Lepen Pucang) jawabnya singkat.
Aku diam membeku, terpaku dan berpikir "Lepen Pucang" itu daerah mana? Tak ada desa di wilayah Kabupaten Batang bernama "Lepen Pucang". Apakah mungkin ibu ini berasal dari kabupaten, provinsi atau negara lain? Tapi nampak tak mungkin.
Setelah berpikir sejenak, aku tersadar. "Lepen" adalah Bahasa Jawa kromo yang artinya "Kali". Jadi, "Lepen Pucang" adalah "Kali Pucang" tetangga desa.
Untung saja, dari awal aku tak menggunakan Bahasa Indonesia. Pasti si ibu akan menjawab "Saya dari Sungai Pinang". Dan aku semakin bingung.
Jadi, sangat aneh dan membingungkan jika nama-nama tempat diterjemahkan.
Misalnya : WONOGIRI menjadi Hutan Gunung, SURABAYA menjadi Hiu Buaya, BANYUMAS menjadi Air Mas, BANYUWANGI menjadi Air Harum.
A: Anda berasal dari mana Mas?
B: Hutan Gunung
A: oh Wonogiri?
B: Yups.
Dan pasti aku tak berani menyebut daerah tempatku berasal "PURBALINGGA".

Jumat, 01 Januari 2021

BATU TUNGGUL




Kenangan masa kecil yang tak terlupakan oleh anak-anakku ketika masih tinggal di Kebumen sepuluh tahun yang lalu adalah mencari "Batu Tunggul". Maka ketika mudik liburan semester gasal ke rumah simbah, mereka kembali mencari batu tunggul.


Batu tunggul adalah batu berbentuk berlian segi enam berukuran kecil dari 2 mm sampai 1 cm, tergantung besar kecilnya batu induk. Batu berbentuk berlian ini tidak sekeras, sekinclong dan semengkilap berlian. Warnanya putih kusam. Tapi bentuknya yang mirip berlian menjadi sumber mainan bagi anak-anak.


Batu induk tempat bersemayam batu tunggul ini adalah batu sungai-sungai yang bermuara dari pegununungan Karangsambung yang dikenal dengan situs batuan purbanya berada 20 km ke arah utara kota Kebumen. Batu induk ini mempunyai ciri khas totol-totol putih. Batu ini bisa berukuran sekepalan tangan atau lebih kecil. Bagi orang Kebumen dan sekitarnya, batuan ini digunakan sebagai bahan bangunan. Bagi anak-anak, sisa ayakan /sortiran batu yang terlalu besar dan mempunyai ciri seperti tersebut di atas menjadi sumber untuk diambil batu tunggulnya.


"Hore, aku dapat banyak batu tunggul," teriak anakku.


Cara mendapatkan batu tunggul ini adalah dengan cara memecahkan batu induknya dengan batu lain yang lebih besar. Di tengah-tengahnya, pasti terdapat batu tunggul. Batu tunggul ini lebih keras dari batu induknya. Jadi ketika batu induknya pecah, batu tunggul tidak ikut pecah dan seakan-akan terpisah dari dari batu induknya. Tak perlu diasah, batu tunggul ini sudah berbentuk berlian.

BERAS

 


"Dari desa ya oleh-olehnya beras," kata ibuku menyuruhku membawa beras berbobot kurang lebih 20 kg ketika aku harus kembali merantau setelah satu minggu mudik Tahun Baru ke desa untuk menengok orang tuaku.

"Terlalu banyak bu," kataku.

"Bisa untuk beberapa bulan," jawab ibuku.

"Kalau kelamaan malah mubadzir, nggak bisa dikonsumsi. Muncul kutu berasnya."

"Jangan khawatir, sudah ibu kasih daun jeruk. Nggak akan berkutu. Disimpan sampai setengah tahun juga aman," kata ibu.


Kulihat ada beberapa lembar daun jeruk yang sudah kering di permukaan beras.


"Kalau ingin beras menjadi awet, berilah daun jeruk di berasnya. Di lapisan paling bawah, kemudian beri daun jeruk lagi di lapisan beras kedua dan seterusnya. Tinggi setiap lapisan sekitar sepuluh centimeter," terang ibu.

"Daun jeruk kering?" tanyaku karena kulihat daun jeruknya sudah kering.

"Daun jeruk yang masih segar, masih hijau. Nanti kering sendiri kalau sudah lama di beras,"


Akhirnya kubawa beras tersebut ditambah setandan pisang, jeruk, dan sekarung ketela setelah kemarin kubawakan ibuku sekaleng Khong Guan.