“Diklat di masa pandemi seperti ini agak mengkhawatirkan. Ikut nggak ya?” tanyaku kepada salah satu temanku ketika aku menerima undangan diklat dari PPPPTK Bahasa.
“Kan syaratnya semua peserta harus menjalani Rapid Test terlebih dahulu. Itu tandanya protokol kesehatan tetap dijalankan. Pasti aman. Jadi ikut saja,” jawab temanku itu.
Jawaban temanku itu membuatku mantap untuk mengikuti Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) Berbasis Peserta Didik bagi Guru Bahasa Prancis SMA/SMK/MA yang diselenggarakan oleh PPPPTK Bahasa dilaksanakan di Hotel Novotel Solo dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 6 November 2020. Pelatihan ini diikuti oleh 37 guru Bahasa Prancis dari tiga provinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur dan DIY.
Persiapan pun kulakukan. Di pagi yang mendung diiringi rintik hujan, pukul 09.00 tanggal 30 Oktober 2020 aku menuju ke sebuah kilinik laboratorium untuk menjalani Rapid Test. Suasana klinik masih sepi. Aku selalu berdebar-debar ketika masuk ke sebuah tempat pemeriksaan, baik itu puskesmas, kantor polisi, ataupun ruang kepala sekolah. Entah phobia macam apa yang menimpaku ini. Seorang perempuan muda berpakaian batik rapi, bersepatu hitam, dan maskernya berada di leher sehingga wajahnya kelihatan dengan jelas menemuiku.
“Ada keperluan apa Pak?” tanyanya kepadaku.
“Mau Rapid Test Mba,” jawabku.
Aku dipersilahkan duduk di sebuah kursi. Perempuan tersebut masuk ke ruangan lain dan keluar bersama seorang perempuan berpakaian batik juga, maskernya dikalungkan di leher, bersandal jepit dan cantik, yang nampaknya Bu Dokter. “Ini kok tidak mematuhi protokol kesehatan. Memakai masker hanya dikalungkan di leher,” batinku. Aku tak berani menyampaikan secara langsung. Ingat, aku berada di tempat asing yang aku belum tahu situasi dan kondisinya.
Bu dokter sekarang duduk berhadapan denganku. Aku semakin berdebar-debar. Mba-nya duduk di sebelahnya. Tanpa basa-basi, aku diminta mengulurkan tangan dan kemudian pergelangan tangan kananku dipegang kencang. Mungkin takut aku melarikan diri. Mba yang tadi yang ternyata seorang suster membantu Bu Dokter membuka suntikan baru dan menyiapkan plester dan alkohol.
“Mengepal Pak,” perintah Bu Dokter dan aku pun mengepalkan tanganku. Sebuah suntikan ditancapkan di lenganku. “Lepaskan kepalannya,” perintah Bu Dokter dan akupun melepaskan kepalanku. Aku tak bisa membantah dan tak perlu bertanya untuk apa aku harus mengepalkan tangan kemudian melepaskannya karena aku berada di posisi yang tidak menguntungkan. Sebuah suntikan sedang menancap di lenganku. Maka, aku memilih diam. Kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, darah pelan-pelan keluar dari tubuhku. Rasanya sedikit nyeri. Tapi aku tetap diam.
Darahku diambil seperempat suntikan. Kemudian, suster menutup luka suntikan di lenganku dengan plester yang telah diberi alcohol. Mereka berdua berusaha menutupi perbuatannya. Kemudian aku dipersilahkan untuk menunggu di luar ruangan. Sebenarnya aku ingin tahu apa yang mereka lakukan dengan darahku. Bagaimana memeriksanya? Apa yang mereka bicarakan? Apa yang akan mereka rencanakan lagi terhadapku? Tapi aku adalah orang yang penurut sehingga aku menuruti perintah Bu Dokter.
Aku duduk di sebuah bangku panjang. Sendirian. Sambil menunggu, aku berdoa mudah-mudahan aku tak diapa-apakan lagi dan hasil rapid testku berhasil gagal (tidak terindikasi covid-19). Kurang lebih 30 menit kemudian, aku dipanggil kembali untuk masuk ke dalam ruangan. Sebuah amplop putih disodorkan kepadaku. Aku lega karena tak ada proses berikutnya.
“Ini kuitansinya Pak,” kata suster sambil menyodorkan sebuah kuitansi berisi jumlah rupiah yang harus kubayar.
Setelah membayar sejumlah uang. Di luar ruangan, kubuka amplop putih tersebut dan kubaca isinya. Di dalam surat tersebut menerangkan bahwa hasil pemeriksaanku “Tidak Reaktif”. Alhamdulillah, testku berhasil. Aku sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar