alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Jumat, 27 November 2020

KELAS MADAME NINGRUM

Pertama masuk kelas, Madame Ningrum menyajikan lagu, film pendek dan puisi yang kemudian dikaji oleh para peserta. Ada lagu “Qui pourrait?”-nya Lou, ada film pendek “Memo”, dan puisi “Le pont Mirabeau”, puisi karya Guillaume Apollinaire yang sejak 1913 sampai sekarang masih saja terkenal, semacam puisi “Aku”-nya Chairil Anwar di Indonesia. Selain memutarkan lagu, film pendek dan puisi, Madame Ningrum juga membaca sendiri sebuah puisi berjudul “Enseignant”, sebuah puisi tentang guru. Suaranya menggelegar dan mendayu-dayu dengan artikulasi Prancis-nya yang indah. Excellent.


Mengikuti kelas Madame Ningrum tak ada ngantuknya. Suara perempuan yang mempunyai moto “Kerja Keras, Kerja Cerdas, Kerja Ikhlas sampai Tuntas” ini cetar membahana dan cukup membuat adrenalin kami terpacu untuk mempelajari aplikasi yang beliau ajarkan yang mendukung pembelajaran Mendengar dan Berbicara Bahasa Prancis.


Prinsip hidupnya yang menjunjung tinggi kejujuran dan “sekecil apapun yang kita lakukan akan kembali ke diri sendiri” membuat beliau bersungguh-sungguh dalam memberikan materi pelatihan. Mobiltasnya tinggi untuk berkeliling kelas mendatangi satu per satu, menyapa, membimbing, dan tak lupa memfoto para peserta (cekrek..cekrek) dalam membuat dan mempresentasikan aplikasi padlet, screencast-O-Matic, dan voicethread. 


Pada saat presentasi, para peserta saling bertanya, memberi masukan, kritikan dan saling belajar. Sangat menarik.

Rabu, 18 November 2020

DILARANG MENGAMBIL MADU

Lokasi SMA Negeri 2 Batang yang masih dikelilingi hutan (walaupun sekarang sudah mulai dibangun perumahan di sekitarnya) menyebabkan sekolah ini mendapat julukan SMA Alaska (Alas Kabeh). Rindangnya pepohonan di dalam maupun di sekitar sekolah membuat suasana sejuk, hijau, dan segar.


Tak hanya pepohonan, segala macam binatang masuk dan bersarang di area sekolah. Ada luwak yang membangun keluarga sakinah mawadah warohmah di plafon mushola. Ada ular yang bersemedi di bawah tumpukan genteng bekas. Ada lipan besar-besar yang main lari-lari di tumpukan kayu. Ada aneka burung yang menjalin kasih dan membangun sarangnya di pepohonan. Dan ada beberapa keluarga lebah yang membangun kerajaannya di atap-atap kelas, di bawah genteng dan di dalam plafon. 


Keluarga-keluarga binatang ini hidup berdampingan secara harmonis dengan para siswa, para guru, staf TU dan kepala sekolah. Kami secara tulus ikhlas tidak saling mengganggu.


Namun akhir-akhir ini ada sedikit gangguan. Potensi lebah di sekolah ini menjadi incaran para pencari madu untuk memanen madunya yang liar. Awalnya mereka meminta ijin dan dijinkan. Toh, manfaat lebah memang untuk diambil madunya. Para pemburu madu ini menjalankan kegiatannya pada hari Sabtu atau Minggu (sebulan sekali) ketika sekolah libur namun tetap dibuka karena banyak anak-anak yang melakukan aktifitas basket, volleyball, badminton, bermain musik, menari atau kegiatan lainnya. Sayangnya, para pemanen madu ini kurang bertanggung jawab. Genteng dan plafon menjadi rusak dan dibiarkan begitu saja. Bekas sarang lebahnya juga kadang berserakan di lantai.


Untuk menghindari kerusakan lebih lanjut, akhirnya sekolah secara resmi mengumumkan "DEMI KEAMANAN, TIDAK DIIJINKAN MENCARI/ MENGAMBIL MADU DI AREA SMA NEGERI 2 BATANG"


Kini hidup kami kembali tenang.

Jumat, 13 November 2020

SATU KAMAR SATU ORANG

Setelah melewati pemeriksaan dan prosedur kesehatan anti Covid-19 di pintu masuk, para peserta pelatihan menuju resepsonist untuk check in kamar. Dengan menunjukkan KTP, Mba resepsionist (yang pasti cantik walaupun wajahnya ditutupi masker) dengan cekatan melayani para peserta. Ternyata kamar yang ditempati peserta Diklat adalah sebuah kamar yang seharusnya untuk dua orang namun diisi satu orang.


“Karena ada Covid-19, untuk menghindari perkumpulan dan untuk menjaga jarak, maka satu kamar hanya untuk satu orang,” kata salah seorang panitia.


Kamar yang sangat nyaman dengan satu tempat tidur lebar ukuran 2 x 2 meter (bisa tidur dengan berbagai gaya, miring ke kanan, miring ke kiri, terlentang, tengkurap, atau sambil rol depan, rol belakang dan salto)


Eits, tunggu dulu. Bagi sebagian orang, satu kamar satu orang merupakan pelayanan yang istimewa dan membuat nyaman. Tapi  diam-diam, ada yang tidak berani tidur sendirian dan memilih bergabung dengan peserta lainnya tanpa diketahui oleh panitia.


“Bayangkan, malam-malam di kamar sendirian. Mau keluar pun berjalan melewati lorong hotel sendirian. Sepi. Tak ada orang satu pun. Semua kamar terkunci. Sangat mengerikan. Iya kan Pak?” kata salah satu peserta perempuan kepadaku untuk mencari pembenaran supaya aku mendukungnya bergabung dengan temannya.


Daripada bermasalah, aku mengiyakan saja. Minimal aku turut menenangkan hatinya agar tidak  begitu merasa bersalah.


“Tapi jangan bilang siapa-siapa ya Pak,” pintanya

“OK, siap,” jawabku dengan mantap.

PLASTIK PEMBUNGKUS MICROPHONE

“Jangan khawatir, saya selalu membawa plastik. Biasanya sih untuk membungkus makanan,” ujar Madame Nilla sambil mengeluarkan plastik ukuran 1 kg dari dalam tas.


Ternyata, the power of kepepet ditambah insting emak-emak sangat membantu untuk memecahkan masalah yang kadang datang mendadak di Pendidikan dan Pelatihan PKB bagi Guru Bahasa Perancis SMA/SMK/MA.


Karena Madame Nilla kesulitan ketika harus berbicara dengan mengenakan masker, maka beliau terpaksa membuka maskernya. Namun microphone yang digunakan oleh Madame Nilla dikhawatirkan tertular dan menularkan Covid-19. Karena tak ada tissue, sapu tangan atau alat lain, Madame Nilla mempunyai ide brilian untuk menghindari penularan tersebut yaitu dengan  membungkus microphone dengan plastik yang selalu beliau bawa. Kini, microphone tersebut aman dari penularan Covid-19. C’est bonne idée.

RAPID TEST

“Diklat di masa pandemi seperti ini agak mengkhawatirkan. Ikut nggak ya?” tanyaku kepada salah satu temanku ketika aku menerima undangan diklat dari PPPPTK Bahasa.

“Kan syaratnya semua peserta harus menjalani Rapid Test terlebih dahulu. Itu tandanya protokol kesehatan tetap dijalankan. Pasti aman. Jadi ikut saja,” jawab temanku itu.


Jawaban temanku itu membuatku mantap untuk mengikuti Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) Berbasis Peserta Didik bagi Guru Bahasa Prancis SMA/SMK/MA yang diselenggarakan oleh PPPPTK Bahasa dilaksanakan di Hotel Novotel Solo dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 6 November 2020. Pelatihan ini diikuti oleh 37 guru Bahasa Prancis dari tiga provinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur dan DIY.


Persiapan pun kulakukan. Di pagi yang mendung diiringi rintik hujan, pukul 09.00 tanggal 30 Oktober 2020 aku menuju ke sebuah kilinik laboratorium untuk menjalani Rapid Test. Suasana klinik masih sepi. Aku selalu berdebar-debar ketika masuk ke sebuah tempat pemeriksaan, baik itu puskesmas, kantor polisi, ataupun ruang kepala sekolah. Entah phobia macam apa yang menimpaku ini. Seorang perempuan muda berpakaian batik rapi, bersepatu hitam, dan maskernya berada di leher sehingga wajahnya kelihatan dengan jelas menemuiku.


“Ada keperluan apa Pak?” tanyanya kepadaku.

“Mau Rapid Test Mba,” jawabku.


Aku dipersilahkan duduk di sebuah kursi. Perempuan tersebut masuk ke ruangan lain dan keluar bersama seorang perempuan berpakaian batik juga, maskernya dikalungkan di leher, bersandal jepit dan cantik, yang nampaknya Bu Dokter. “Ini kok tidak mematuhi protokol kesehatan. Memakai masker hanya dikalungkan di leher,” batinku. Aku tak berani menyampaikan secara langsung. Ingat, aku berada di tempat asing yang aku belum tahu situasi dan kondisinya.


Bu dokter sekarang duduk berhadapan denganku. Aku semakin berdebar-debar. Mba-nya duduk di sebelahnya. Tanpa basa-basi, aku diminta mengulurkan tangan dan kemudian pergelangan tangan kananku dipegang kencang. Mungkin takut aku melarikan diri. Mba yang tadi yang ternyata seorang suster membantu Bu Dokter membuka suntikan baru dan menyiapkan plester dan alkohol.


“Mengepal Pak,” perintah Bu Dokter dan aku pun mengepalkan tanganku. Sebuah suntikan ditancapkan di lenganku. “Lepaskan kepalannya,” perintah Bu Dokter dan akupun melepaskan kepalanku. Aku tak bisa membantah dan tak perlu bertanya untuk apa aku harus mengepalkan tangan kemudian melepaskannya karena aku berada di posisi yang tidak menguntungkan. Sebuah suntikan sedang menancap di lenganku. Maka, aku memilih diam. Kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, darah pelan-pelan keluar dari tubuhku. Rasanya sedikit nyeri. Tapi aku tetap diam.


Darahku diambil seperempat suntikan. Kemudian, suster menutup luka suntikan di lenganku dengan plester yang telah diberi alcohol. Mereka berdua berusaha menutupi perbuatannya. Kemudian aku dipersilahkan untuk menunggu di luar ruangan. Sebenarnya aku ingin tahu apa yang mereka lakukan dengan darahku. Bagaimana memeriksanya? Apa yang mereka bicarakan? Apa yang akan mereka rencanakan lagi terhadapku? Tapi aku adalah orang yang penurut sehingga aku menuruti perintah Bu Dokter.


Aku duduk di sebuah bangku panjang. Sendirian. Sambil menunggu, aku berdoa mudah-mudahan aku tak diapa-apakan lagi dan hasil rapid testku berhasil gagal (tidak terindikasi covid-19). Kurang lebih 30 menit kemudian, aku dipanggil kembali untuk masuk ke dalam ruangan. Sebuah amplop putih disodorkan kepadaku. Aku lega karena tak ada proses berikutnya.


“Ini kuitansinya Pak,” kata suster sambil menyodorkan sebuah kuitansi berisi jumlah rupiah yang harus kubayar.


Setelah membayar sejumlah uang. Di luar ruangan, kubuka amplop putih tersebut dan kubaca isinya. Di dalam surat tersebut menerangkan bahwa hasil pemeriksaanku “Tidak Reaktif”. Alhamdulillah, testku berhasil. Aku sehat.

PERJALANAN DIKLAT

Perlengkapan untuk diklat Bahasa Prancis selama enam hari di Hotel Novotel Solo sudah kupersiapkan semua. Supaya tidak repot, aku naik travel, sebuah moda transportasi antar jemput dari pintu ke pintu. Pada hari Minggu pagi tanggal 1 November 2020 pukul 08.00 WIB kutunggu travelku di depan pintu dan baru datang pada pukul 09.00.


“Maaf Pak, harus menjemput penumpang agak jauh,” kata Mas Sopir yang berumur sekitar 30-an beralasan.


Travelku berisi 6 orang penumpang dengan 12 kursi.


“Aturannya seperti itu Pak. Hanya boleh diisi setengahnya.” Kata Mas Sopir.


Aku meluncur dengan lancar menuju Solo.


“Seminggu berapa kali jalan Mas?” tanyaku kepada Mas Sopir.

“Wah, masih sepi Pak. Sudah dua minggu ini tidak jalan. Alhamdulillah, hari ini kami jalan dua mobil,” jawabnya.

“Sebelum covid, seminggu berapa kali jalan Mas?” tanyaku.

“Tiap hari pasti ada yang jalan. Sekarang prihatin Pak,” lanjut Mas Sopir.


Senyumnya kecut menjawab pertanyaanku yang terakhir. Maskernya yang berwarna hitam hanya menutupi dagunya. Telepon genggamnya selalu aktif untuk menelepon temannya, bosnya atau keluarganya.


Walaupun jalan tol sudah tersambung dari Batang sampai Solo, namun travel ini hanya melewati jalan tol dari Semarang sampai Bawen. Setelah itu, travel ini melewati jalan umum.


“Dari kantor jatah tol-nya hanya Semarang-Bawen Pak. Kalau mau lewat tol terus, penumpang harus nambah ongkos,” jelasnya


Nasi sudah jadi bubur. Travel ini sudah keluar jauh dari pintu tol Bawen. Jadi, aku terpaksa melewati jalanan yang tidak semulus jalan tol namun dengan pemandangan kanan kiri lebih indah.


Memasuki wilayah Solo, Mas Sopir mulai masuk ke jalan-jalan sempit bahkan gang-gang kecil untuk menurunkan penumpangnya satu per satu di depan rumahnya masing-masing.


“Gang depannya Mas belok kanan,” kata penumpang di kursi paling belakang, “nanti ada gang lagi belok kiri,”


Setelah menurunkan satu penumpang, travel jalan lagi menuju lokasi lain.


“Sampeyan hafal semua jalan di Solo Mas?” tanyaku

“Hanya hafal nama wilayahnya. Pernah tersesat juga, muter-muter nggak ketemu-ketemu alamat karena mengantar orang yang mau mengunjungi saudaranya dan alamatnya hanya nama jalan dan kelurahannya nggak ada nomornya,” jawabnya

“Sudah berapa tahun pegang travel?” tanyaku lagi

“Di Solo tiga tahun Pak. Sebelumnya di Jogja,”


Setelah lima kali menurunkan penumpang, tinggal aku sendirian di dalam travel padahal kulihat di google map lokasi yang kutuju paling mudah dijangkau.


“Tapi kenapa saya diantar paling akhir ya Mas?” tanyaku

“Bapak kan turun di Hotel Novotel. Lokasinya di tengah kota, semua orang tahu. Tidak dicari juga ketemu,” jawab Mas Sopir santai.


“Ya nasib.”