Catatan Selasa 10 September 2019.
"Sworo angin
Angin sing ngreridu ati
Ngelingake sliramu sing tak tresnani..."
Suara mas Didi Kempot mendayu-dayu di laptopku pagi ini. Tanpa kusadari, di luar terdengar suara menderu-deru. Nampak angin bertiup kencang. Pohon-pohon di sekitar sekolahku bergoyang-goyang. Sengon, ketapang, kersen, dan trembesi meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri.
"Angin ini datang lagi," bisikku dalam hati.
"Sworo angin" benar-benar telah terdengar. Mulai pukul 09.00 pagi ini, angin ini bertiup kencang. Biasanya angin musim kemarau ini hanya datang sekali namun musim kemarau kali ini sudah dua kali. Yang pertama terjadi pada tanggal 21 Agustus 2019.
Jangan anggap ini angin biasa. Jangan anggap ini angin yang membuatmu sejuk. Jangan anggap ini angin yang membuatmu segar. Jangan anggap ini angin yang kau tunggu-tunggu untuk menyampaikan salam rindu kepada kekasihmu yang nan jauh di sana.
Bukan.
Angin ini bertiup seharian. Dari pagi sampai sekitar pukul 15.00. Daun beterbangan, ranting berjatuhan, dan debu berhamburan. Di beberapa tempat, ada rumah yang atap sengnya terbang terbawa angin. Walaupun tidak sampai terjadi bencana besar, angin ini cukup mencemaskan.
Dalam keadaan seperti ini, yang perlu dihindari adalah pohon. Tolong...sekali ini saja. Jangan berada di bawah pohon besar. Walaupun kau biasa berteduh di bawah pohon, kali ini hindarilah. Berteduhlah di tempat lain dulu. Di hatiku bolehlah. Jangan memaksakan diri. Resikonya adalah kejatuhan ranting atau cabang pohon. Resiko terbesarnya bahkan keambrukan pohonnya.
Tidak perlu juga mencoba memanfaatkan keadaan ini dengan main layangan, mumpung anginnya kencang. Atau memanfaatkan angin untuk bakar sate. Tak perlu begitu.
Masuklah ke dalam rumah atau tempat yang terlindungi karena debu juga berhamburan ke mana-mana. Sambil baca doa sebisanya. Yasin tahlil lebih baik. Jaga-jaga, siapa tahu ada sesuatu yang tiba-tiba menimpamu. Insyaalloh husnul khotimah.
Namun demikian, dimana ada kesulitan di situ ada kemudahan. Dimana ada kekhawatiran, di situ ada harapan. Dimana ada ketakutan di situ ada keberanian. Dimana ada kesedihan, di situ ada kegembiraan. Demikian juga dengan kondisi ini. Tetap saja menjadi kebahagianan bagi anak-anak. Mereka begitu bahagia karena mangga tetangga rontok semua. Walaupun masih banyak yang mengkal tapi enak dimakan dengan dicocol garam.
Menjelang sore hari, angin mulai mereda. Saatnya bersih-bersih rumah dan halaman. Membersihkan debu dan menyapu halaman. Kukerahkan semua potensiku. Istriku, anak laki-lakiku dan ank perempuanku menjadi aset yang berharga di saat-saat seperti ini. Sapu, pel, sulak, air, ember, gayung semuanya dimanfaatkan sepenuhnya.
Selesai mengepel lantai, membersihkan perabot dan menyapu halaman, aku, istriku dan anak-anakku menikmati teh hangat. Tentu saja sambil mendengarkan mas Didi Kempot menyanyi.
"Cendol dawet seger. Cendol cendol dawet dawet. Cendol cendol dawet dawet. Lima ratusan. Ga pakai ketan......"
Sebuah lagu yang tidak nyambung dengan teh hangat kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar