Aku dan anak laki-lakiku terlibat dalam diskusi serius
tentang masa depan. Anakku baru berumur 8 tahun dan sekarang duduk di kelas 3
SD. Dia biasa dipanggil “Dede”karena dia anak ragil. Dia bercerita tentang
cita-citanya yang telah berubah sejak 1 jam yang lalu.
“Pa, cita-cita Dede sudah ganti. Sekarang Dede nggak pingin lagi jadi penjual roti
bakar,” katanya serius.
Tak terbayang betapa bahagianya diriku mendengar berita ini.
Aku termasuk salah satu ayah yang mendambakan anaknya mempunyai cita-cita yang
tinggi setinggi langit. Maka ketika beberapa bulan yang lalu anakku berkata bahwa dia ingin menjadi penjual roti
bakar, aku menjadi sedih. Penjual roti bakar yang sering menjadi langganannya ternyata
menjadi tokoh idola. “Cita-cita kok menjadi penjual roti bakar,” kataku dalam
hati saat itu. Sekarang, dengan mengatakan bahwa dia sudah merubah
cita-citanya, aku berharap bayangannya tentang masa depan menjadi lebih baik. Artinya
dia sekarang menyadari bahwa dokter, tentara, direktur, menteri, atau presiden
adalah pilihan yang lebih baik.
“Lalu, sekarang pingin jadi apa?” tanyaku dengan hati
berbunga-bunga.
“Penjual sosis bakar,” jawabnya
Ha? Aku terbelalak. Untuk kedua kali hatiku terkejut.
Harapanku akan sesuatu yang jauh lebih baik terhadap anakku terkubur lagi. Aku
mencoba mencari tahu alasan apa yang mendasarinya ingin menjadi penjual sosis
bakar. Dengan menahan rasa gemas, aku mencoba bertanya kepadanya:
“Kenapa milih jadi penjual sosis bakar?”
“Soalnya, penjual roti bakar sehari hanya dapat untung 20
ribu. Sedangkan penjual sosis bisa mendapat 30 ribu,” jelasnya
Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Walaupun masih kaget
dengan alternative cita-citanya, aku mencoba berdamai dengan keadaan. Tak
mungkin pula bagiku untuk menyakiti hatinya dengan cara memaksanya untuk
merubah-cita-citanya.
“Ya tak apa-apa. Tapi Dede harus tahu, kenapa penjual sosis
bakar mendapat untung 30 ribu,” kataku
“Soalnya sosis bakar lebih enak jadi lebih banyak yang beli,”
jawabnya
“Kalau itu sih selera. Besok kalau sudah bosan, mereka beli
roti bakar lagi. Yang laris roti bakar lagi. Yang dapat untung lebih banyak
penjual roti bakar.”
“Iya sih. Tapi lebih mudah bikin sosis bakar. Tinggal
diiris-iris sedikit pinggirnya, terus dibakar. Lalu diberis saos, kecap sama
mayonnaise. Selesai. Kalau roti bakar lebih ribet. Diberi strawberry, coklat,
keju. Luarnya diolesi mentega. Dibolak-balik. Olesi mentega lagi,” katanya
dengan mantap sambil matanya menerawang ke langit.
Huft.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar