“Pa, Ma, tadi Azam bilang....” belum selesai Dafa bicara di
depan pintu, suaranya telah dipotong oleh teriakan adiknya.
“Jangan mbaaa.....,” kata Azam sambil merengek mau nangis.
“Nggak jadi, nggak jadi,” kata Dafa berbalik memeluk Azam.
Azam kembali tenang. Kakak beradik itu kembali bercanda dan
bersenda gurau. Suara tawa mereka di halaman depan terdengar jelas sampai ke
dalam rumah. Aku sedang membaca "KOMPAS" sementara istriku sedang menyelesaikan “Muhammad
lelaki penggenggam hujan” karya Tasaro GK.
Beberapa menit kemudian, Dafa kembali masuk rumah.
“Pa, Ma tadi Azam bilang....” belum selesai Dafa bicara, adiknya
telah menyusulnya dan menarik baju kakaknya.
“Jangan mbaaa.....,” kata Azam sambil merengek mau nangis
lagi.
Rupanya kakaknya ingin melaporkan perkataan adiknya yang terlarang
dan membuat kami marah. Aku dan istriku penasaran. Akhirnya aku dan istriku
memutuskan untuk memanggil mereka berdua.
“Mba Dafa sama dede Azam, duduk sini,” kataku
“Sekarang ceritakan, tadi dede Azam bilang apa?” kata
istriku kepada Dafa.
Sebelum Dafa bicara, Azam sudah lari ke kamarnya sambil
menangis.
“Biarkan dede nangis, sekarang Mba Dafa cerita,”
Tangisan Azam terdengar bertambah keras.
“Tadi Dede Azam kan mainan sepeda. Terus roda sepedanya
nginjak tai kucing di depan. Terus Dede Azam bilang “Cemet”. Tapi Dede Azam
sudah istighfar kok Ma,” jelas Dafa
“O gitu ceritanya. Kalau sudah istighfar ya sudah. Yang penting
jangan diulangi bilang seperti itu,” kataku.
Istriku bangkit dan mendekati Azam di kamarnya untuk
menenangkannya. Kakaknya menyusul.
“Tuh De, nggak dimarahi kok. Yang penting jangan diulangi
lagi,” kata kakaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar