alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Sabtu, 19 Februari 2022

PETAK UMPET


Sore itu, langit terlihat cerah. Hujan bulan Februari yang beberapa hari lalu turun tiada henti, sore ini sedikit mengalah kepada anak-anak yang ingin bermain petak umpet bersama.


Ada delapan anak yang terlibat dalam permainan ini. Satu orang yang kalah dalam "hom pim pah" akan menjadi penjaga titik sakral yang tidak boleh tersentuh oleh tujuh orang lainnya. 


Tugas pertama adalah menutup mata beberapa saat sambil menelungkup dan berhitung sampai teman-temannya bersembunyi.


"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh. Sudah belum?" teriak Ken masih dengan posisi menelungkup dan menutup mata.

"Belum," teriak Azril dari arah selatan.


Ken kembali berhitung satu sampai sepuluh.


"Sudah belum?" teriak Ken lagi.

"Belum," jawab Kan dari arah utara.


Ken kembali berhitung satu sampai sepuluh.


"Sudah belum?" teriak Ken lagi.

"Belum," jawab Osa dari arah lain.


Ken kembali berhitung. Kali ini tidak lagi satu sampai sepuluh.


"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas....... tiga puluh, tiga puluh satu,......" 


Suara Ken terdengar serak.


"Sudah belum?"


Tak ada jawaban dan suasana telah sepi. Artinya mereka sudah benar-benar bersembunyi. Kini, giliran Ken mencari dimana mereka bersembunyi. Tentu saja tetap waspada agar titik sakral tempat dia berhitung tadi tidak tersentuh oleh siapapun. Atau dia akan menjadi penjaga lagi.


Tak ada batas waktu kapan selesainya. Hanya teriakan ibu masing-masing anak yang bisa membubarkan permainan ini.


"Ken. Sudah sore, pulang, mandi,"

AGUSTUSAN

Bulan Agustus adalah bulan yang ditunggu-tunggu oleh semua orang. Ketika hujan sudah tidak turun, pepohonan mulai meranggas namun masih hijau, tanaman padi sudah beranak pinak, dan para petani sudah matun pindo (membersihkan gulma kedua kalinya), ciblek sudah mulai mencari rumpun padi yang pas untuk bersarang, hingar-bingar mulai muncul di mana-mana. Umbul-umbul dipasang di sepanjang jalan, bendera dikibarkan di depan setiap rumah, pagar dicat merah putih, pohon teh-tehan dirapikan,  para pemuda berlatih baris-berbaris, emak-emak mengasah kembali ketrampilannya memukul bola kasti, Pak Lurah dan perangkat desa menyiapkan panggung untuk menyambut kunjungan Pak Camat dan jajarannya yang tahun ini rencananya akan melihat perayaaan HUT RI sekaligus meninjau kegiatan Pos Yandu yang diadakan rutin setiap bulan. Dirin dan teman-temannya tak lagi saling menyapa dengan kata "assalamu alaikum", "selamat pagi" atau “hai”. Semuanya diganti dengan kata "merdeka" sambil mengepalkan tangan setinggi kepala dan dibalas oleh yang lain dengan kata "merdeka" pula sambil mengepalkan tangan setinggi langit. Mas Yanto memanfaatkan kesempatan dengan membawa bermacam bendera merah putih di keranjang sepedanya. Anak-anak tak harus pergi ke kota kecamatan untuk membeli bendera plastik. Mereka cukup mempersiapkan lidi dan membeli bendera plastik dari Mas Yanto kemudian disimpan dengan ditancapkan di dinding bambu kamarnya menunggu saat karnaval tiba atau saat Pak Camat dan para pejabat kecamatan rawuh.

Berbagai lomba antar RT mulai digelar. Lomba balap karung, lomba tarik tambang, lomba memasak, lomba kasti, lomba baris-berbaris memperebutkan berbagai macam hadiah.

Dan yang sudah digelar sejak pertengahan bulan Juli adalah Turnamen Sepakbola Antar Desa. Turnamen ini digelar secara bergilir di semua desa se-kecamatan. Para pengurus PSSI tingkat desa yang ditempati harus mempersiapkan turnamen. Untuk tahun ini turnamen ini digelar di desa Bajong. Sebagai desa dengan kesebelasannya yang handal dan fansnya yang fanatik, semua perangkat sepakbola telah tersedia. Lapangan dengan rumput yang selalu subur berkat kerbau Mas Min dan teman-temannya sampai Pak Tuja'i sang reporter andalan telah dimiliki desa ini.

Rabu sore, Pak Tuja'i dengan sigap naik ke atas podium bambu beratap seng dengan tinggi kurang lebih tiga meter. Dari podium ini, laki-laki berjenggot dan berjambang lebat itu bisa mengamati seluruh lapangan bola dan mendeteksi seluruh pergerakan pemain yang akan dia komentari. Tangannya menggenggam erat microphone kesayangannya yang suaranya sudah disetel setengah setereo, setengah bas ditambah echo sedikit saja.

"Ya sodara-sodara, sebentar lagi pertandingan sepak bola antara kesebelasan desa Kedungjati melawan kesebelasan desa Bajong akan segera dimulai. Para pemain telah memasuki lapangan dan sedang melakukan pemanasan. Kesebelasan Bajong dengan kostum hijaunya dan Kedungjati dengan kostumnya yang merah menyala." suara Pak Tujai terdengar empuk dan sedikit serak-serak basah mantap terdengar dari corong pengeras yang telah dipasang di pohon mahoni yang paling tinggi di depan SD Negeri Bajong 1. 

Empat TOA sekaligus dipasang menghadap ke segala penjuru mata angin selama satu bulan ke depan. Ini untuk menunjukkan bahwa sepakbola tahunan dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI berhadiah utama seekor kambing tidak main-main dan memancing para penonton untuk datang berbondong-bondong menonton. Tentu saja, target utama panitia adalah tiket terjual habis sesuai kapasitas tribun penonton. Perlu diketahui, kapasitas tribun di lapangan desa Bajong adalah tanpa batas karena penonton bisa duduk di pinggir pinggir lapangan, berdiri di pematang sawah, naik ke atas pohon waru, pohon randu, pohon trembesi, naik ke atas pundak temannya, atau naik apapun yang  terdapat di sekitar lapangan kecuali pohon mahoni yang telah terpasang TOA karena dikhawatirkan TOA akan hilang begitu saja.

Mesin diesel menderu-deru sengaja diletakkan di belakang SD supaya suaranya tidak mengganggu serunya reportasi Pak Tuja'i, reporter yang secara konvensi dan aklamasi telah ditunjuk sebagai reporter andalan ila yaumul kiyamah. Setiap ada pertandingan sepakbola baik antar RT, antar RW, antar desa, Pak Tujai tak pernah absen sebagai reporter.

Selama turnamen ini digelar, lapangan diseterilkan dari kedatangan kerbau Mas Min dan teman-temannya. Hal ini untuk menghindarkan para pemain, wasit dan penjaga garis menginjak benda-benda lunak berwarna hijau tua dan berbau menyengat. Mas Min untuk sementara mengalihkan Jack dan saudara-saudaranya ke selatan desa. Di pinggir jalan desa bagian selatan masih banyak tumbuh rumput liar. Cukup untuk memenuhi kebutuhan para peternak kambing dan kerbau selama satu bulan.

Belalang, jangkrik, katak hijau telah lama menyingkir ke prrsawahan di sekitar lapangan, seakan mereka telah mengerti adanya hajat tahun ini. Tak ada satupun yang berani menginjakkan kaki di rumput lapangan. Ini semua demi suksesnya Turnamen Sepakbola Se-Kecamatan dalam Rangka Memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia tercinta.

Setelah mandi, Dirin dan teman-temannya mengendap-endap di pematang sawah menghindari loket tiket yang ada di jalan utama menuju lapangan. Mengetahui ada penyusup, dari loket tiket seorang pemuda panjaga loket meneriaki Dirin dan teman-temannya.

“Hei, lewat sini. Bayar tiket dulu,”

Dirin kaget dan dengan sigap menjawab: “Cari belut Mas.”

Pak Rijal mengajak Sri berangkat dengan tiket khusus sebagai donatur yang berhak menonton seluruh pertandingan dari babak penyisihan sampai babak final.

"Tumben Sri, kamu nonton sepak bola?" tanya Mak Munhiyah.

"Kan gratis Mak. Emak nggak ikut sekalian?" tanya Pak Rijal.

"Nggak ah. Mending masak daripada lihat orang ngejar-ngejar bola nggak jelas," jawab Mak Munhiah.

Pak Rijal dan Sri berjalan kaki menuju lapangan bersama orang-orang yang berbondong-bondong ke lapangan. Tak hanya laki-laki yang datang, emak-emak dan  anak-anak juga ikut menonton sepak bola atau hanya sekedar membeli aneka jajanan dari puluhan penjual tiban yang juga datang dari berbagai penjuru kecamatan.

"Eh, Mas Yanto ikut nonton juga?" seru Dirin melihat Mas Yanto di belakang gawang sebelah utara.

"Hei Dirin, Eko, Afif. Kalian juga nonton?" tanya balik Mas Yanto.

"Iya Mas. Kan gratis,"

"Kok gratis?"

"Kan lewat sawah,"

"Kalian curang. Nggak boleh begitu."

"Soalnya nggak punya duit buat beli tiket Mas. Mas Yanto kok tumben nonton sepak bola?"

"Kan yang main kesebelasan Kedungjati. Mas Yanto pingin lihat aksi pemain favorit Mas Yanto,"

"Oh iya ding. Sekarang yang main kesebelasan Kedungjati. Siapa sih pemain andalan Kedungjati Mas?"

"Ealah kamu nggak tahu ya. Zaki, sang penyerang tengah. Nama lapangannya Jacque dan Iskandar, sang penjaga gawang, nama lapangannya Alex. Sudah terkenal se-kecamatan," terang Mas Yanto menjelaskan.

"Yang kutahu cuma pemain Bajong Mas. Soalnya pemain Bajong paling top. Ada Tuhadi, Sururi, Sugri, Bahi, pokoknya top semua. He he he."

"Kamu tahu nggak Kedungjati pasti juara."

"Nggak mungkin Mas. Pasti kalah sama Bajong,"

"Tunggu saja nanti."

"Oke Mas. Berani taruhan?"

"Hush, nggak boleh taruhan.

"Kalau begitu, hadiah aja Mas. Kalau Kedungjati juara, aku kasih Mas Yanto hadiah jangkrik sliring. Kalau Bajong yang menang Mas Yanto kasih aku sepeda. Setuju?" usul Dirin.

"Enak pala Lu. Puyeng pala Gue,"

Rabu, 16 Februari 2022

EYANG CINA


"Mau ikut ngga?" tanya eyangku, Eyang Iyah

"Ke mana Eyang?" tanyaku.

"Ke Purbalingga, ke rumahnya Eyang Cina," jawabnya.

"Ikut," jawabku tanpa basa-basi.


Aku sangat senang diajak ke rumah Eyang Cina. Begitulah aku menyebutnya karena beliau seumuran dengan eyangku dan Cina. Menurut eyangku, nama sesungguhnya tertulis Tjien, diucapkan Cin, nama dengan satu kata yang sama sekali tak biasa dan tak enak didengar. Maka, seenak selera lidahku, aku memanggilnya Eyang Cina. 


Eyang Cina adalah sahabat karib eyangku. Kata eyangku, ibuku dan keenam saudaranya bisa sekolah berkat bantuan Eyang Cina. Orang Konghuchu yang terpaksa menulis Kristen di KTP-nya ini, setiap lebaran memberi hadiah sarung dan sajadah. Eyang Cina juga memberikan bantuan untuk pembangunan langgar kecil eyangku.


Aku segera mandi dan ganti baju, baju terbaik sisa lebaran tahun lalu yang kupunya saat itu. Celana pendek berwarna coklat pramuka dan kemeja lengan pendek warna abu-abu cerah, sebuah paduan atasan dan bawahan yang sama sekali tidak padu.


Berkebaya hijau dan berjarik, eyangku yang tak pernah lepas dari tembakau susur di bibirnya menyuruhku mengangkat bekal bawaan ke becak yang telah menunggu. Tiga sisir pisang kapok kuning, lima butir kelapa, dan sekantong beras ketan kuangkat ke becak.


Becak adalah satu-satunya alat transportasi umum di desaku menuju ke jalan raya sebelum kami menunggu angkot ke arah kota Purbalingga.


Beberapa saat menunggu, sebuah armada "isuzu" berwarna kuning kusam dengan cat yang sudah mengelupas di sana-sini membawa kami menuju kota.


Inilah yang kutunggu-tunggu. Naik angkot dengan kaca yang bisa dibuka sehingga angin masuk dan menerpa wajahku adalah sebuah sensasi tersendiri dengan aroma asapnya. Aroma gas buang hasil pembakaran bensin ini hanya bisa kunikmati ketika Bang Taufik, orang desa kami yang sukses di Jakarta, pulang kampung membawa motor. Anak-anak seusiaku mengejar motornya untuk menghirup aroma asapnya.


Kami turun di alun-alun dan berjalan kaki sebentar menuju rumah Eyang Cina. Aku memanggul kantong beras ketan dan eyangku mengangkat pisang dan kelapa.


"Assalamu alaikum," ketika kami tiba di rumah eyang Cina.

"Waalaikum salam. Eh, ada tamu agung.  Ayo masuk," jawab eyang Cina yang nampak sangat gembira menerima kedatangan kami. Beliau masih sehat namun keriput di wajahnya sama dengan keriput di wajah eyangku.

Kami dibawa ke ruang di belakang tokonya yang belum buka.

"Wah kok repot-repot," kata eyang Cina menerima bawaan kami.

"Kebetulan baru panen Ci. Ada sisa beras ketan. Siapa tahu ingin nyicipi," jawab eyangku. Eyangku memanggil Eyang Cina dengan sebutan "Ci" yang artinya "Mbakyu".


Eyangku dan eyang Cina terlibat obrolan yang hangat. Maklum, dua sahabat itu sudah lama tak bertemu. Beberapa saudara Eyang Cina ikut nimbrung ngobrol. Eyang Cina dengan saudara-saudaranya masih memakai bahasa Cina yang aku dan eyangku tak paham. Dan Eyang Cina lah yang menerjemahkan artinya.


Aku hanya duduk sambil menikmati secangkir teh yang disuguhkan dan mengamati ruang tamu yang masih sama. Aku selalu kagum dengan hiasan yang ada di ruang tamu Eyang Cina. Hiasan kertas warna merah dengan tulisan emas menempel di dinding. Aku tak paham dengan tulisannya. Tapi tata ruangnya menarik. Gambar harimau di sudut kanan dengan bola-bola lampion merah kusam di sebelahnya. Ada kertas kecil-kecil dengan tulisan Cina di atas pintu. Kata eyangku itu adalah jimatnya Eyang Cina.


Setelah beberapa saat berbincang dan sudah terobati kerinduan keduanya, eyangku mohon pamit.


"Sebentar-sebentar," kata Eyang Cina menyuruh kami menunggu.


Eyang Cina membawakan kami beberapa kaleng biscuit. Salah satunya bermerk "Khong Guan".  Ini yang kusuka. Hanya saat lebaran, aku bisa menikmati biscuit macam ini, saat paman dan pakdeku mudik. Tapi kali ini, tak perlu menunggu lebaran. Khusus untuk eyangku, Eyang Cina memberinya oleh-oleh istimewa, tembakau terbaik yang sudah "matang" yang paling enak se-kabupaten.