Bulan
Agustus adalah bulan yang ditunggu-tunggu oleh semua orang. Ketika hujan sudah tidak
turun, pepohonan mulai meranggas namun masih hijau, tanaman padi sudah
beranak pinak, dan para petani sudah matun pindo (membersihkan gulma kedua
kalinya), ciblek sudah mulai mencari rumpun padi yang pas untuk bersarang,
hingar-bingar mulai muncul di mana-mana. Umbul-umbul dipasang di sepanjang
jalan, bendera dikibarkan di depan setiap rumah, pagar dicat merah putih, pohon
teh-tehan dirapikan, para pemuda berlatih baris-berbaris, emak-emak
mengasah kembali ketrampilannya memukul bola kasti, Pak Lurah dan perangkat
desa menyiapkan panggung untuk menyambut kunjungan Pak Camat dan jajarannya
yang tahun ini rencananya akan melihat perayaaan HUT RI sekaligus meninjau kegiatan
Pos Yandu yang diadakan rutin setiap bulan. Dirin dan teman-temannya tak lagi
saling menyapa dengan kata "assalamu alaikum", "selamat
pagi" atau “hai”. Semuanya diganti dengan kata "merdeka" sambil mengepalkan
tangan setinggi kepala dan dibalas oleh yang lain dengan kata "merdeka"
pula sambil mengepalkan tangan setinggi langit. Mas Yanto memanfaatkan
kesempatan dengan membawa bermacam bendera merah putih di keranjang sepedanya.
Anak-anak tak harus pergi ke kota kecamatan untuk membeli bendera plastik.
Mereka cukup mempersiapkan lidi dan membeli bendera plastik dari Mas Yanto
kemudian disimpan dengan ditancapkan di dinding bambu kamarnya menunggu saat
karnaval tiba atau saat Pak Camat dan para pejabat kecamatan rawuh.
Berbagai lomba antar RT mulai
digelar. Lomba balap karung, lomba tarik tambang, lomba memasak, lomba kasti,
lomba baris-berbaris memperebutkan berbagai macam hadiah.
Dan yang sudah digelar sejak
pertengahan bulan Juli adalah Turnamen Sepakbola Antar Desa. Turnamen ini
digelar secara bergilir di semua desa se-kecamatan. Para pengurus PSSI tingkat
desa yang ditempati harus mempersiapkan turnamen. Untuk tahun ini turnamen ini
digelar di desa Bajong. Sebagai desa dengan kesebelasannya yang handal dan
fansnya yang fanatik, semua perangkat sepakbola telah tersedia. Lapangan dengan
rumput yang selalu subur berkat kerbau Mas Min dan teman-temannya sampai Pak
Tuja'i sang reporter andalan telah dimiliki desa ini.
Rabu sore, Pak Tuja'i dengan sigap
naik ke atas podium bambu beratap seng dengan tinggi kurang lebih tiga meter.
Dari podium ini, laki-laki berjenggot dan berjambang lebat itu bisa mengamati
seluruh lapangan bola dan mendeteksi seluruh pergerakan pemain yang akan dia
komentari. Tangannya menggenggam erat microphone kesayangannya yang suaranya
sudah disetel setengah setereo, setengah bas ditambah echo sedikit saja.
"Ya sodara-sodara, sebentar
lagi pertandingan sepak bola antara kesebelasan desa Kedungjati melawan
kesebelasan desa Bajong akan segera dimulai. Para pemain telah memasuki
lapangan dan sedang melakukan pemanasan. Kesebelasan Bajong dengan kostum
hijaunya dan Kedungjati dengan kostumnya yang merah menyala." suara Pak
Tujai terdengar empuk dan sedikit serak-serak basah mantap terdengar dari
corong pengeras yang telah dipasang di pohon mahoni yang paling tinggi di depan
SD Negeri Bajong 1.
Empat TOA sekaligus dipasang
menghadap ke segala penjuru mata angin selama satu bulan ke depan. Ini untuk
menunjukkan bahwa sepakbola tahunan dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI
berhadiah utama seekor kambing tidak main-main dan memancing para penonton
untuk datang berbondong-bondong menonton. Tentu saja, target utama panitia
adalah tiket terjual habis sesuai kapasitas tribun penonton. Perlu diketahui,
kapasitas tribun di lapangan desa Bajong adalah tanpa batas karena penonton
bisa duduk di pinggir pinggir lapangan, berdiri di pematang sawah, naik ke atas
pohon waru, pohon randu, pohon trembesi, naik ke atas pundak temannya, atau
naik apapun yang terdapat di sekitar lapangan kecuali pohon mahoni yang
telah terpasang TOA karena dikhawatirkan TOA akan hilang begitu saja.
Mesin diesel menderu-deru sengaja
diletakkan di belakang SD supaya suaranya tidak mengganggu serunya reportasi
Pak Tuja'i, reporter yang secara konvensi dan aklamasi telah ditunjuk sebagai
reporter andalan ila yaumul kiyamah. Setiap ada pertandingan sepakbola baik
antar RT, antar RW, antar desa, Pak Tujai tak pernah absen sebagai reporter.
Selama turnamen ini digelar,
lapangan diseterilkan dari kedatangan kerbau Mas Min dan teman-temannya. Hal
ini untuk menghindarkan para pemain, wasit dan penjaga garis menginjak
benda-benda lunak berwarna hijau tua dan berbau menyengat. Mas Min untuk
sementara mengalihkan Jack dan saudara-saudaranya ke selatan desa. Di pinggir
jalan desa bagian selatan masih banyak tumbuh rumput liar. Cukup untuk memenuhi
kebutuhan para peternak kambing dan kerbau selama satu bulan.
Belalang, jangkrik, katak hijau
telah lama menyingkir ke prrsawahan di sekitar lapangan, seakan mereka telah
mengerti adanya hajat tahun ini. Tak ada satupun yang berani menginjakkan kaki
di rumput lapangan. Ini semua demi suksesnya Turnamen Sepakbola Se-Kecamatan
dalam Rangka Memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia tercinta.
Setelah mandi, Dirin dan
teman-temannya mengendap-endap di pematang sawah menghindari loket tiket yang
ada di jalan utama menuju lapangan. Mengetahui ada penyusup, dari loket tiket seorang
pemuda panjaga loket meneriaki Dirin dan teman-temannya.
“Hei, lewat
sini. Bayar tiket dulu,”
Dirin kaget
dan dengan sigap menjawab: “Cari belut Mas.”
Pak Rijal mengajak Sri berangkat
dengan tiket khusus sebagai donatur yang berhak menonton seluruh pertandingan
dari babak penyisihan sampai babak final.
"Tumben Sri, kamu nonton sepak
bola?" tanya Mak Munhiyah.
"Kan gratis Mak. Emak nggak
ikut sekalian?" tanya Pak Rijal.
"Nggak ah. Mending masak
daripada lihat orang ngejar-ngejar bola nggak jelas," jawab Mak Munhiah.
Pak Rijal dan Sri berjalan kaki
menuju lapangan bersama orang-orang yang berbondong-bondong ke lapangan. Tak
hanya laki-laki yang datang, emak-emak dan anak-anak juga ikut menonton
sepak bola atau hanya sekedar membeli aneka jajanan dari puluhan penjual tiban
yang juga datang dari berbagai penjuru kecamatan.
"Eh, Mas Yanto ikut nonton
juga?" seru Dirin melihat Mas Yanto di belakang gawang sebelah utara.
"Hei Dirin, Eko, Afif. Kalian
juga nonton?" tanya balik Mas Yanto.
"Iya Mas. Kan gratis,"
"Kok gratis?"
"Kan lewat sawah,"
"Kalian curang. Nggak boleh
begitu."
"Soalnya nggak punya duit buat
beli tiket Mas. Mas Yanto kok tumben nonton sepak bola?"
"Kan yang main kesebelasan
Kedungjati. Mas Yanto pingin lihat aksi pemain favorit Mas Yanto,"
"Oh iya ding. Sekarang yang
main kesebelasan Kedungjati. Siapa sih pemain andalan Kedungjati Mas?"
"Ealah kamu nggak tahu ya.
Zaki, sang penyerang tengah. Nama lapangannya Jacque dan Iskandar, sang penjaga
gawang, nama lapangannya Alex. Sudah terkenal se-kecamatan," terang Mas
Yanto menjelaskan.
"Yang kutahu cuma pemain
Bajong Mas. Soalnya pemain Bajong paling top. Ada Tuhadi, Sururi, Sugri, Bahi,
pokoknya top semua. He he he."
"Kamu tahu nggak Kedungjati
pasti juara."
"Nggak mungkin Mas. Pasti
kalah sama Bajong,"
"Tunggu saja nanti."
"Oke Mas. Berani
taruhan?"
"Hush, nggak boleh taruhan.
"Kalau begitu, hadiah aja Mas.
Kalau Kedungjati juara, aku kasih Mas Yanto hadiah jangkrik sliring. Kalau
Bajong yang menang Mas Yanto kasih aku sepeda. Setuju?" usul Dirin.
"Enak pala Lu. Puyeng pala
Gue,"