alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Sabtu, 27 Januari 2018

APEL PAGI

“Siaaap grak !”
“Setengah lengan lencang kanaaaan....grak!”
“Berhitung...mulai!”
“Kepada pembina apel, hormaaat...grak!”
“Tegaaap....grak!”
“Istrahat di tempaaat...grak!”

Itulah aba-aba yang kudengar setiap pagi sebelum mendengarkan amanat dari pembina apel dan setelahnya diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh pembina apel.

“Siaaap...grak!”
“Kepada pembina apel hormaaat...grak!”
“Tegaaak...grak!”
“Tanpa peghormatan, bubar barisaan... jalan!”

Apel pun selesai.

Sudah seminggu ini semua guru dan staf Tata Usaha di sekolahku mengikuti apel pagi. Konsekuensi menjadi pegawai provinsi adaalah seluruh guru dan karyawan SMA di seluruh Jawa Tengah harus mengikuti aturan yang dibuat oleh provinsi. Di dalam surat edaran Sekretaris Daerah Jawa Tengah nomor 865/00960 tentang Penataan pendayagunaan sumber daya Pemerintah Propinsi Jawa Tengah tertanggal 23 Januari 2003 dan Surat Gubernur Jawa Tengah nomor 865/16312 tanggal 17 Desember 2002 perihal Pembinaan Disiplin Pegawai dinyatakan bahwa kegiatan apel pagi dan apel sore merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pelaksanaan tugas pada jam kerja Pegawai Negeri Sipil, sehingga kehadiran Pegawai Negeri Sipil tepat waktu pada kegiatan apel pagi dan apel sore merupakan wujud ketaatan pada ketentuan jam kerja Pegawai Negeri Sipil. Kegiatan apel pagi secara bersama dilaksanakan tepat pada jam 07.00 WIB, sedangkan apel sore di ruangan dilaksanakan pada jam 15.25 WIB dan didukung dengan daftar hadir.

Walaupun peraturan tersebut telah lama dibuat, namun karena guru dan tenaga kependidikan di SMA baru beralih menjadi pegawai provinsi maka aturan provinsi tidak serta merta dilaksanakan secara keseluruhan. Pelaksanaan aturan tersebut dilaksanakan secara bertahap karena status guru SMA/SMK menjadi pegawai provinsi masih dalam masa peralihan.

Setelah apel pagi selesai, Bu Yeni mendekatiku.
“Pak, jangan lupa notulen apel paginya dibuat!”
“Waduh.... sudah lupa tadi pembina apelnya ngomong apa.”

SANDAL



Sepasang tidak berarti sama.
Sepasang tidak berarti sejajar.
Pasangan yang berbeda pasti indah.
Pasangan yang tidak sejajar pasti asyik.
Melangkahlah bergantian saling mendukung dan menopang.
Jangan ingin sejajar jika sejajar membuatmu berhenti.
#tukunangjogja

Jumat, 26 Januari 2018

DILAN


Dua jam terakhir seharusnya aku mengajar di kelas XI MIPA 3 tapi karena aku ditugas untuk berbelanja kebutuhan untuk kesiswaan dan kurikulum ke Pekalongan maka aku harus meninggalkan para siswaku.

“Maaf anak-anak, Bapak hari ini tidak bisa mengajar karena ada tugas ke Pekalongan,” kataku di depan kelas.

“Mau nonton Dilan ya Pak?” tanya Gita tanpa basa-basi.

Dilan 1990 adalah sebuah film yang diadopsi dari novel dengan judul “Dilan: Dia adalah Dilanku 1990” karya Pidi Baiq. Film ini berkisah tentang cinta yang unik antara Dilan, seorang panglima geng motor dan Milea, seorang cewek imut pindahan dari SMA Jakarta. Film dengan setting Bandung tahun 1990 ini menayangkan dialog dan rayuan gombal Dilan yang tak tertebak seperti di dalam novelnya. Contoh rayuan gombal aneh yang kini menjadi viral adalah: “Jangan rindu.... Rindu itu berat. Biar aku saja”. Film yang dijadwalkan mulai tayang pada tanggal 25 Januari 2018 di bioskop-bioskop di seluruh Indonesia ini sangat ditunggu-tunggu setelah novelnya laris manis bak kacang goreng. Maka aku mafhum jika para siswa mengaitkan aku pergi ke Pekalongan untuk menonton film ini. Kenapa nonton film harus ke Pekalongan? Ya karena bioskop satu-satunya yang terdekat dengan kota Batang berada di Pekalongan, yaitu Bioskop Borobudur Cineplex yang berada di Mall Borobudur lantai 2. Film terbaru di wilayah Batang dan Pekalongan hanya bisa ditonton di bioskop ini sebelum tayang di televisi atau mampir di pusat rentalan CD dalam bentuk CD bajakan.

“Bapak nggak nonton film, Bapak ada tugas penting. Oh iya, Bapak berpesan kepada kalian, kalian jangan nonton Dilan!” kataku

“Kenapa Pak?” tanya Gita lagi dengan wajah penasaran

“Nonton Dilan itu berat. Biar Bapak saja,”


Ea...ea...ea

CERITA PENDEK: BLENTUNG

Jam dinding di serambi masjid menunjukkan pukul 03.00. Aku duduk di serambi bersandar salah satu tiang menghadap ke timur, ke arah pintu gerbang pondok pesantren sembari menunggu azan subuh. Aku sengaja duduk di serambi ini karena dari sinilah aku bisa melihat ndalem (rumah kyai) yang berada di selatan masjid, tempat parkir yang berada di tenggara masjid, dan kantor pondok pesantren yang ada di timur laut masjid. Sebatang rokok menemaniku yang malam ini mendapat giliran ronda. Dua orang temanku berjaga di belakang pondok. Mataku sebenarnya sudah berat. Rasa kantukku terasa menjadi-jadi. Kata orang, saat-saat menjelang subuh seperti ini adalah saat yang paling rawan. Banyak maling memanfaatkan lena para penjaga malam yang menganggap hari sudah hampir siang. Karena itu, sekuat tenaga aku bertahan.

Benar saja. Dalam kantuk setengah mati ini, kulihat sesosok tubuh memasuki pintu gerbang pondok peantren. Jantungku berdesir. Kuhisap dalam-dalam rokokku agar baranya terlihat untuk memberi tanda bahwa masih ada orang yang melek di sini.

Tak ada tanda-tanda dia berhenti. Bahkan dia berjalan menuju ke arahku.

“Sendirian kang?” sapanya kemudian duduk di depanku

“Iya, giliran ronda” jawabku semakin tegang.

Aku sangat mengenal orang di hadapanku ini. Blentung. Siapa yang tak mengenal Blentung. Bromocorah, begal, pencoleng, kecu, maling dan berbagai julukan lainnya disandangnya. Semua orang sudah hapal dengan kelakuannya. Ayam, bebek, kambing, sepeda, jemuran, radio, tape recorder, VCD player, televisi, amplifier, dan salon adalah benda-benda favorit curiannya. Setiap tertangkap, dia dihajar habis-habisan. Parang, linggis, kayu, batu bata melayang ke sekujur tubuhnya dan dia tidak melawan. Tak ketinggalan daun kelor, godong towo, batang lumbu bentul, tebu wulung, pring pethuk dicoba untuk melunturkan kesaktiannya tapi sia-sia. Tapi keesokan harinya, dia sudah segar bugar tanpa lecet sedikitpun. Kesaktiannya yang mandraguna membuat gemas. Berkali-kali polisi menangkapnya dan berkali-kali masuk bui, ia tak kapok mengulangi perbuatannya. Rumahnya yang di sebelah utara pondok membuat para santri tidak asing lagi dengan wajahnya. Laki-laki berumur sekitar 40 tahun dan berperawakan agak pendek namun agak gempal ini sering terlihat memberi makan ayam di depan rumahnya.

“Dingin sekali malam ini ya kang,” katanya membuka percakapan.

“Iya,” jawabku,”rokok, monggo” Aku basa-basi menawari rokok kepadanya. Terus terang aku agak kikuk mau memanggilnya dengan sebutan apa, pak, om, kang, mas atau apa. Akhirnya aku aku putuskan untuk menyapanya dengan sebutan om sebagaimana adat di sini untuk memanggil orang yang lebih tua dan belum dikenal atau belum terlalu akrab. Rasanya panggilan itu pantas. Umurnya sepertinya jauh di atasku. Sekitar 45 an.

“Ronda tiap malam kang,” tanyanya.

“Nggak Om. Dua minggu sekali. Gantian sama santri yang lain,” kataku sudah agak tenang, “kok sampeyan belum tidur?” tanyaku.

“Belum kang. Biasanya jam 12 sudah tidur. Tapi akhir-akhir ini nggak bisa tidur kang. Hatiku lagi nggak tenang. Lagi bingung,” jelasnya mengharap aku lebih terlibat dalam percakapan ini.

“Emangnya kenapa Om?” tanyaku

“Sampeyan tahu siapa aku kan kang. Sudah banyak dosa aku lakukan. Sudah banyak orang kusakiti. Aku ingin tobat kang, benar-benar ingin tobat tapi masih bingung,”

“Bingung kenapa?” tanyaku datar. Dalam hati, aku bertanya-tanya mengapa dia tiba-tiba berkata tentang tobat. Apa urusannya denganku. Apa peduliku.

“Aku ingin jadi orang baik-baik. Ingin hidup normal seperti orang lain. Ingin mempunyai pekerjaan yang halal. Tapi masih banyak yang belum percaya kepadaku kang. Kemarin aku mencoba minta kerjaan ke beberapa orang. Aku sudah bilang baik-baik tapi mereka tidak menerimaku. Katanya belum percaya. Kalau aku tobat  tapi nggak ada kerjaan, anak istriku mau dikasih makan apa?”

Aku bingung harus menjawab apa. Aku diam. Sekali lagi kusedot rokokku dalam-dalam.

“Kang, aku minta tolong sampeyan ajari aku sholat,”

Semakin aneh saja orang ini. Aku memang sudah tahu tentang dia tapi dia belum mengenalku. Lalu, mengapa dia tiba-tiba menyatakan tobat di depanku, kemudian memintaku untuk mengajarinya sholat. Aku curiga. Jangan-jangan ini hanya modus untuk membuatku terlena.

“Kalau mau belajar sholat, sampeyan sowan ke kyai saja atau ke ustadz-ustadz yang sudah alim di pesantren ini. Sampeyan keliru kalau minta ajari sholat ke saya. Apa sampeyan anggap saya sudah pintar sholat? Salah, saya juga masih belajar. Masih jadi santri,” jawabku

“Setidaknya, sampeyan sudah bisa sedikit-sedikit to kang?”

“Sampeyan baru ketemu saya. Belum tahu saya. Kok bisa-bisanya percaya sama saya?” pancingku

“Lha sampeyan ini kan santri. Aku malam-malam ke sini juga karena bingung harus kepada siapa aku bisa bicara. Dari rumah aku sudah angen-angen, siapapun yang kutemui malam ini di masjid, dialah yang akan memberi jalan penerang kepadaku. Ndilalah, kok ya sampeyan yang kutemui. Bagiku ini bukan kebetulan. Ini sudah digariskan sama Gusti Yang Maha Kuasa aku ketemu sampeyan. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri aku akan merguru kepada orang yang kutemui malam ini kang. Ayolah kang, sampeyan harus percaya sama aku kang,”

“Wah, pikiran sampeyan itu terlalu tinggi. Saya bukan siapa-siapa. Saya masih bodho,” jawabku. Aku belum mempercayainya sepenuhnya.

“Aku ngomong beneran kang. Kalau sampeyan belum percaya padaku, aku mengerti karena aku ini maling.”
Tidak berhenti dia berbicara untuk meyakinkanku. Dia bercerita tentang keluarganya, tentang masa kecilnya, tentang kehidupannya yang berkali-kali masuk bui, tentang guru-gurunya dari Banten sampai Banyuwangi, tentang kesaktiannya dan tentang wadi (kelemahan)nya.

“Ayolah kang. Sampeyan masih belum mempercayaiku?”

Seperti kena sirep, aku mengiyakan permintaannya. Sejak malam ini dan malam-malam berikutnya, setiap pukul 03.00 pagi sampai menjelang subuh terlihat 2 titik bara api berkerlip-kerlip di serambi masjid.

“Nanti sampeyan ikut subuhan berjama’ah sama kyai!” suruhku kepadanya setelah selama 40 hari dia ndremimil menghapalkan Al Fatihah, Qulhu dan do’a-doa yang lain. Maka, subuh itu para santri kaget melihat Blenthung berdiri di barisan sholat di sebelahku. Penduduk desa yang ikut berjamaah di masjid pesantren pun turut heran. Ada apa dengan Blentung?

Hari-hari berlalu, Blentung belum juga bergaul dengan nyaman di masyarakat. Gerak-geriknya masih dicurigai. Orang masih menghindarinya. Aku sendiri merasa sedih tapi tak bisa berbuat apapun. Hidupnya sekarang lontang-lantung. Di satu sisi, kehidupan bersama teman-teman lamanya telah ditinggalkan. Di sisi lain, belum ada orang yang mau memberinya pekerjaan. Setiap bertemu denganku, ia mengeluhkan kehidupan barunya ini.

“Sabar..sabar,” hanya itu kata-kata yang aku sampaikan kepadanya selepas sholat subuh.

Tepat ba’da asar, aku mendengar teriakan.

“Maliing....maliiiing...maliiiing,” suara itu bersaut-sautan diiringi tabuh kentongan bertalu-talu.

Beberapa orang berlarian menuju utara melewati jalan depan pesantren.

“Maling apa Pak?” tanyaku sambil berlari mengikuti massa yang berlarian.  

“Maling sepeda,” jawab salah seorang sambil terus berlari.

Dalam sekejap, orang-orang telah berkumpul di perempatan.

“Bunuh saja...bakar....” teriak orang orang-orang sambil memukulkan benda apa saja yang sempat mereka bawa. Parang, pedang, linggis, kayu, batu berkelebat-kelebat di tengah perempatan. Aku tak bisa mendekat. Massa begitu banyak. Aku hanya bisa menyaksikan kerumunan massa itu dari pinggir jalan.

“dor...dor..,” tiba-tiba terdengar tembakan. Massa terhenyak dan menghentikan aksinya. Beberapa polisi menerobos kerumunan massa. Massa menyingkir untuk memberi jalan kepada polisi Begitu massa menyingkir, aku mengikuti polisi-polisi tu untuk melihat siapa maling yang telah dikeroyok oleh massa. Pakaiannya koyak. Wajahnya penuh darah dan sudah tak berbentuk. Pun demikian dengan sekujur tubuhnya. Tapi aku masih bisa mengenalinya. Maling itu adalah Blentung. Di sekitarnya berserakan batu, batu bata, kayu dan bambu. Ada beberapa daun kelor dan lumbu bentul tampak tercecer tak jauh darinya. Kuamati lagi sekelilingku. Mataku terus mencari sesuatu. Aku tak menemukan apa yang aku cari. Pupus daun pisang. Maka sudah kuduga, dia masih hidup. Nafasnya masih nampak dari dadanya yang naik turun. Kudekati tubuhnya. Dia membuka mata dan menatapku sendu. Nampak matanya berkaca-kaca.

“Kenapa sampeyan nyolong lagi?” bisikku kepadanya


“Anak istriku dua hari belum makan kang,” katanya lirih

Kamis, 11 Januari 2018

JASUKE

Awal kudengar kata 'Jasuke', aku berharap makanan ini berasal dari Jepang. Tapi harapanku kandas. Ternyata jasuke adalah singkatan dari jagung susu keju. Konon, orang Jawa Baratlah yang pertama mengenalkannya.

Walaupun tak sesuai harapan, satu cup Jasuke seharga 7 ribu rupiah akhirnya kubayar. Dan dengan rasa penasaran, kucicipi makanan ini.

Hmm... enak. Kejunya terasa menggigit ditambah rasa manis susu kental. Jagung manis rebus terasa lembut dan menyatu dengan keju dan susu.

Eits.... tunggu dulu. Ada yang janggal. Tak seperti perpaduan makanan antara timur dan barat lainnya yang selalu menyisakan keanehan dan kejanggalan dalam rasa, jagung, keju dan susu dalam Jasuke ini kompak membuat rasa yang legit yang lembut. Tak ada pemaksaan, pemerkosaan dan pemberontakan. Keju dan susu yang notabene berasal dari barat tidak nampak memaksa, apalagi menjajah jagung. Si jagung juga nampak tak terintimidasi dengan kehadiran keju dan susu. Semuanya klop dan kompak. Aneh!

Aih..aih.. setelah googling, kini kutemukan penyebabnya. Aku yang mengira bahwa jagung adalah tanaman asli jawa karena sejak kecil aku sudah mengenal lagi "wak wak gung segone sego jagung" dan karena guru sekolah dasarku tak ragu mengatakan bahwa jagung adalah salah satu makanan pokok di Indonesia, ternyata salah.

Ternyata, tanaman bernama latin Zea mays ini telah ditanam sejak 7000 tahun lalu di Amerika tengah dan Meksiko selatan dan masuk ke Indonesia pada abad 16 di bawa oleh orang-orang Portugis.

Oalaaah.... pantesan jagung nampak sangat bahagia menyatu dengan keju dan susu. Rupanya mereka adalah saudara setanah air yang telah lama terpisah dan kini bertemu kembali setelah bertahun-tahun terpisah.

Makanya, enak sekali Jasuke ini. Nyam..nyam.

LIBUR HANYA 3 HARI

“Où est-ce que vous allez en vacance?” tanyaku kepada para siswa pada awal masuk kelas di semester genap tahun pelajaran 2017/2018. Arti dari kalimat ini adalah “kemana kalian pergi pada saat liburan?”

“Je reste à la maison, monsieur,” jawab salah satu siswa. Artinya saya tinggal di rumah Pak.

“Pourquoi?” tanyaku lebih lanjut. Mengapa?

“Liburannya cuma sedikit Pak,” jawab para siswa serempak.

“Kenapa sih Pak kok semester ini libur kita hanya 3 hari?” tanya siswa yang lain.

“Sudah menjadi keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah bahwa libur semester ganjil tahun 2017/2018 adalah dari tanggal 25 Desember 2017 sampai tanggal 1 Januari 2018,” jawabku mantap. Tepatnya Surat Keputusan nomor 420/02945 bertanggal 4 April 2017 tentang Pedoman Penyusunan Kalender Pendidikan Tahun Pelajaran 2017/2018.

“Kan tanggal 25 dan 26 Desember libur Natal Pak. Jadi libur sebenarnya adalah tanggal 27, 28, dan 29 Desember. Cuma tiga hari Pak. Tiga hari” protes siswa yang lain sambil mengacung-acungkan 3 jarinya.

Sebagaimana yang kutahu bahwa Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah telah menjelaskan alasan mengapa ketentuan libur di provini Jawa Tengah pada semester ini hanya 1 minggu (tepatnya 3 hari) adalah upaya untuk mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi dinamika perubahan global, maka aku menjawab:

“Ini adalah upaya agar kalian siap menghadapi dinamika perubahan global.”

“Apa itu dinamika perubahan global Pak?” tanya mereka

“Hmmm...hmmm...hmmm, kita lanjutkan saja pelajaran kita hari ini,” jawabku untuk mengalihkan perhatian mereka.

Tak ada jawaban yang memuaskan dariku membuat mereka kecewa. Dan sejujurnya, aku juga tak tahu makna dinamika perubahan global. Nampak sekali wajah mereka memendam rasa kecewa. Hari ini, mereka nampak asing. Suasana menjadi kaku. Beku. Aku terpaku pada pertanyaan-pertanyaan mereka yang terpaksa kupotong tanpa jawaban.