Jam dinding di serambi masjid menunjukkan pukul 03.00. Aku
duduk di serambi bersandar salah satu tiang menghadap ke timur, ke arah pintu
gerbang pondok pesantren sembari menunggu azan subuh. Aku sengaja duduk di
serambi ini karena dari sinilah aku bisa melihat ndalem (rumah kyai)
yang berada di selatan masjid, tempat parkir yang berada di tenggara masjid,
dan kantor pondok pesantren yang ada di timur laut masjid. Sebatang rokok
menemaniku yang malam ini mendapat giliran ronda. Dua orang temanku berjaga di
belakang pondok. Mataku sebenarnya sudah berat. Rasa kantukku terasa menjadi-jadi.
Kata orang, saat-saat menjelang subuh seperti ini adalah saat yang paling
rawan. Banyak maling memanfaatkan lena para penjaga malam yang menganggap hari
sudah hampir siang. Karena itu, sekuat tenaga aku bertahan.
Benar saja. Dalam kantuk setengah mati ini, kulihat sesosok
tubuh memasuki pintu gerbang pondok peantren. Jantungku berdesir. Kuhisap
dalam-dalam rokokku agar baranya terlihat untuk memberi tanda bahwa masih ada
orang yang melek di sini.
Tak ada tanda-tanda dia berhenti. Bahkan dia berjalan menuju
ke arahku.
“Sendirian kang?” sapanya kemudian duduk di depanku
“Iya, giliran ronda” jawabku semakin tegang.
Aku sangat mengenal orang di hadapanku ini. Blentung. Siapa
yang tak mengenal Blentung. Bromocorah, begal, pencoleng, kecu, maling dan
berbagai julukan lainnya disandangnya. Semua orang sudah hapal dengan
kelakuannya. Ayam, bebek, kambing, sepeda, jemuran, radio, tape recorder, VCD
player, televisi, amplifier, dan salon adalah benda-benda favorit curiannya.
Setiap tertangkap, dia dihajar habis-habisan. Parang, linggis, kayu, batu bata
melayang ke sekujur tubuhnya dan dia tidak melawan. Tak ketinggalan daun kelor,
godong towo, batang lumbu bentul, tebu wulung, pring pethuk dicoba untuk
melunturkan kesaktiannya tapi sia-sia. Tapi keesokan harinya, dia sudah segar
bugar tanpa lecet sedikitpun. Kesaktiannya yang mandraguna membuat gemas.
Berkali-kali polisi menangkapnya dan berkali-kali masuk bui, ia tak kapok
mengulangi perbuatannya. Rumahnya yang di sebelah utara pondok membuat para
santri tidak asing lagi dengan wajahnya. Laki-laki berumur sekitar 40 tahun dan
berperawakan agak pendek namun agak gempal ini sering terlihat memberi makan
ayam di depan rumahnya.
“Dingin sekali malam ini ya kang,” katanya membuka
percakapan.
“Iya,” jawabku,”rokok, monggo” Aku basa-basi menawari rokok
kepadanya. Terus terang aku agak kikuk mau memanggilnya dengan sebutan apa,
pak, om, kang, mas atau apa. Akhirnya aku aku putuskan untuk menyapanya dengan
sebutan om sebagaimana adat di sini untuk memanggil orang yang lebih tua dan belum
dikenal atau belum terlalu akrab. Rasanya panggilan itu pantas. Umurnya
sepertinya jauh di atasku. Sekitar 45 an.
“Ronda tiap malam kang,” tanyanya.
“Nggak Om. Dua minggu sekali. Gantian sama santri yang
lain,” kataku sudah agak tenang, “kok sampeyan belum tidur?” tanyaku.
“Belum kang. Biasanya jam 12 sudah tidur. Tapi akhir-akhir
ini nggak bisa tidur kang. Hatiku lagi nggak tenang. Lagi bingung,” jelasnya
mengharap aku lebih terlibat dalam percakapan ini.
“Emangnya kenapa Om?” tanyaku
“Sampeyan tahu siapa aku kan kang. Sudah banyak dosa aku
lakukan. Sudah banyak orang kusakiti. Aku ingin tobat kang, benar-benar ingin
tobat tapi masih bingung,”
“Bingung kenapa?” tanyaku datar. Dalam hati, aku bertanya-tanya
mengapa dia tiba-tiba berkata tentang tobat. Apa urusannya denganku. Apa peduliku.
“Aku ingin jadi orang baik-baik. Ingin hidup normal seperti orang
lain. Ingin mempunyai pekerjaan yang halal. Tapi masih banyak yang belum
percaya kepadaku kang. Kemarin aku mencoba minta kerjaan ke beberapa orang. Aku
sudah bilang baik-baik tapi mereka tidak menerimaku. Katanya belum percaya.
Kalau aku tobat tapi nggak ada kerjaan,
anak istriku mau dikasih makan apa?”
Aku bingung harus menjawab apa. Aku diam. Sekali lagi
kusedot rokokku dalam-dalam.
“Kang, aku minta tolong sampeyan ajari aku sholat,”
Semakin aneh saja orang ini. Aku memang sudah tahu tentang
dia tapi dia belum mengenalku. Lalu, mengapa dia tiba-tiba menyatakan tobat di
depanku, kemudian memintaku untuk mengajarinya sholat. Aku curiga.
Jangan-jangan ini hanya modus untuk membuatku terlena.
“Kalau mau belajar sholat, sampeyan sowan ke kyai
saja atau ke ustadz-ustadz yang sudah alim di pesantren ini. Sampeyan keliru
kalau minta ajari sholat ke saya. Apa sampeyan anggap saya sudah pintar sholat?
Salah, saya juga masih belajar. Masih jadi santri,” jawabku
“Setidaknya, sampeyan sudah bisa sedikit-sedikit to kang?”
“Sampeyan baru ketemu saya. Belum tahu saya. Kok
bisa-bisanya percaya sama saya?” pancingku
“Lha sampeyan ini kan santri. Aku malam-malam ke sini juga
karena bingung harus kepada siapa aku bisa bicara. Dari rumah aku sudah angen-angen,
siapapun yang kutemui malam ini di masjid, dialah yang akan memberi jalan
penerang kepadaku. Ndilalah, kok ya sampeyan yang kutemui. Bagiku ini
bukan kebetulan. Ini sudah digariskan sama Gusti Yang Maha Kuasa aku ketemu
sampeyan. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri aku akan merguru kepada
orang yang kutemui malam ini kang. Ayolah kang, sampeyan harus percaya sama aku
kang,”
“Wah, pikiran sampeyan itu terlalu tinggi. Saya bukan
siapa-siapa. Saya masih bodho,” jawabku. Aku belum mempercayainya sepenuhnya.
“Aku ngomong beneran kang. Kalau sampeyan belum percaya padaku,
aku mengerti karena aku ini maling.”
Tidak berhenti dia berbicara untuk meyakinkanku. Dia bercerita
tentang keluarganya, tentang masa kecilnya, tentang kehidupannya yang
berkali-kali masuk bui, tentang guru-gurunya dari Banten sampai Banyuwangi,
tentang kesaktiannya dan tentang wadi (kelemahan)nya.
“Ayolah kang. Sampeyan masih belum mempercayaiku?”
Seperti kena sirep, aku mengiyakan permintaannya. Sejak
malam ini dan malam-malam berikutnya, setiap pukul 03.00 pagi sampai menjelang subuh
terlihat 2 titik bara api berkerlip-kerlip di serambi masjid.
“Nanti sampeyan ikut subuhan berjama’ah sama kyai!” suruhku
kepadanya setelah selama 40 hari dia ndremimil menghapalkan Al Fatihah,
Qulhu dan do’a-doa yang lain. Maka, subuh itu para santri kaget melihat
Blenthung berdiri di barisan sholat di sebelahku. Penduduk desa yang ikut
berjamaah di masjid pesantren pun turut heran. Ada apa dengan Blentung?
Hari-hari berlalu, Blentung belum juga bergaul dengan nyaman
di masyarakat. Gerak-geriknya masih dicurigai. Orang masih menghindarinya. Aku
sendiri merasa sedih tapi tak bisa berbuat apapun. Hidupnya sekarang
lontang-lantung. Di satu sisi, kehidupan bersama teman-teman lamanya telah
ditinggalkan. Di sisi lain, belum ada orang yang mau memberinya pekerjaan.
Setiap bertemu denganku, ia mengeluhkan kehidupan barunya ini.
“Sabar..sabar,” hanya itu kata-kata yang aku sampaikan
kepadanya selepas sholat subuh.
Tepat ba’da asar, aku mendengar teriakan.
“Maliing....maliiiing...maliiiing,” suara itu bersaut-sautan
diiringi tabuh kentongan bertalu-talu.
Beberapa orang berlarian menuju utara melewati jalan depan
pesantren.
“Maling apa Pak?” tanyaku sambil berlari mengikuti massa
yang berlarian.
“Maling sepeda,” jawab salah seorang sambil terus berlari.
Dalam sekejap, orang-orang telah berkumpul di perempatan.
“Bunuh saja...bakar....” teriak orang orang-orang sambil
memukulkan benda apa saja yang sempat mereka bawa. Parang, pedang, linggis,
kayu, batu berkelebat-kelebat di tengah perempatan. Aku tak bisa mendekat.
Massa begitu banyak. Aku hanya bisa menyaksikan kerumunan massa itu dari
pinggir jalan.
“dor...dor..,” tiba-tiba terdengar tembakan. Massa terhenyak
dan menghentikan aksinya. Beberapa polisi menerobos kerumunan massa. Massa
menyingkir untuk memberi jalan kepada polisi Begitu massa menyingkir, aku
mengikuti polisi-polisi tu untuk melihat siapa maling yang telah dikeroyok oleh
massa. Pakaiannya koyak. Wajahnya penuh darah dan sudah tak berbentuk. Pun
demikian dengan sekujur tubuhnya. Tapi aku masih bisa mengenalinya. Maling itu
adalah Blentung. Di sekitarnya berserakan batu, batu bata, kayu dan bambu. Ada
beberapa daun kelor dan lumbu bentul tampak tercecer tak jauh darinya. Kuamati
lagi sekelilingku. Mataku terus mencari sesuatu. Aku tak menemukan apa yang aku
cari. Pupus daun pisang. Maka sudah kuduga, dia masih hidup. Nafasnya masih
nampak dari dadanya yang naik turun. Kudekati tubuhnya. Dia membuka mata dan menatapku
sendu. Nampak matanya berkaca-kaca.
“Kenapa sampeyan nyolong lagi?” bisikku kepadanya
“Anak istriku dua hari belum makan kang,” katanya lirih