Terdengar lamat-lamat suara azan, aku terbangun dari tidur. Sebenarnya
aku juga tidak begitu jelas, apakah itu suara azan atau iqomah karena aku agak
linglung.
“Dimana ini?” tanyaku dalam hati sambil melihat sekeliling
dengan penglihatan yang masih buram. Kulihat di ranjang sebelah kananku
meringkuk tubuh dengan ukuran yang lumayan besar. Di sebelah kiriku, sesosok
tubuh tidak terlalu besar. Udara dingin terasa menusuk tulang padahal aku sudah
mengenakan jaket, selimut, celana panjang dan kaos kaki.
Kesadaranku muncul ketika tubuh di sebelah kiriku ikut
bangkit dari tidur. Itu adalah Pak Supbechan. Sementara di sebelah kananku pasti
Pak Agus. “Ah iya.... ini kan di
Pagilaran,” Aku segera beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Setelah
menunaikan hajat membuang air kecil, lalu aku mengambil air wudlu. “Brrr....”
Airnya dingin sekali.
Ya... pagi ini aku berada di kawasan agrowisata Pagilaran
untuk mendampingi para siswa melakukan kegiatan LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan)
untuk pengurus OSIS dan MPK periode 2017 / 2018. LDK ini telah dilaksanakan sejak
kemarin, Sabtu tanggal 18 Nopember 2017 sampai hari ini, Minggu tanggal 19
Nopember 2017 di Agrowisata Pagilaran. Kegiatan ini diikuti oleh 5 orang
pendamping termasuk aku, 11 orang panitia dari pengurus OSIS dan MPK sebelumnya
dan 44 pengurus OSIS dan MPK baru.
Aku segera menuju masjid. Dan ternyata yang kudengar tadi
adalah suara iqomah karena aku berpapasan dengan orang-orang yang baru keluar
dari masjid. Sepulang dari masjid, aku kembali ke wisma Azalea dimana aku
menginap. Kulihat para siswa tengah berolahraga. Ada yang berlari-lari kecil.
Ada yang melakukan senam sekenanya. Sebenarnya aku ingin ikut senam atau joging
tapi udara yang begitu dingin dan mata yang masih terasa mengantuk setelah tadi
malam tidur sampai malam menonton pentas seni dan jurit malam membuatku malas
bergerak. Kuperiksa HP-ku, tak ada sms ataupun kiriman Watshapp. Sinyalnya masih
saja sekarat. Jam masih menunjukkan pukul 05.15. Suhu udara menunjukkan angka
160 Celsius.
“Pantesan dingin sekali,”
Duduk di teras depan, aku menikmati teh hangat yang telah
disediakan oleh Pak Slamet, pengurus penginapan. Sinar mentari nampak mulai bersemburat
di pucuk-pucuk pepohonan. Warna kuningnya berpadu dengan warna hijau daun muda yang
baru tumbuh pada awal musim hujan ini. Indah sekali. Serasa musim semi di Perancis.
“Srrupppt” sekali lagi kuseruput teh Pagilaran yang panas, manis,
kental dan terasa sepat ini.
“Nggak mandi Pak?” tanya Mas Slamet (Staf TU sekolah)
“Dingin sekali mas, nggak berani,” jawabku
“Tapi kalau sudah mandi, terasa hangat lho Pak,”
“Masak sih mas?” tanyaku agak tidak percaya.
Setelah menghabiskan satu gelas teh, aku penasaran dengan
kata-kata Mas Slamet. Kucoba ke kamar mandi. “Brrrr...” Air siraman pertama membuat
tubuhku menggigil. Siraman kedua, tubuhku mulai meyesuaikan. Siraman ketiga
benar-benar ajaib. Tubuhku terasa hangat. Kulanjutkan mandiku sampai selesai.
Kini tubuhku terasa segar.
Pada pukul 09.30 aku beserta para pembina, panitia dan
peserta LDKS bersiap-siap untuk jalan-jalan. Suhu udara sudah beranjak naik ke
angka 190 Celcius. Dalam balutan kaos, celana training dan sepatu, kami mulai mengikuti pemandu rute, Pak Tujanto.
Diawali daari pintu masuk kawasan pabrik teh, langsung belok kanan. Karena kawasan
pabrik sekarang terlarang bagi umum, maka kami tidak diperbolehkan memasuki kawasan
pabrik. Kami hanya numpang lewat melalui posko penjagaan langsung belok kanan
masuk ke wilayah kebun. Selain berdiri pabrik teh, di agrowisata Pagilaran ditanami
berhektar-hektar kebun teh. Inilah yang menarik bagi para wisatawan yaitu
wisata kebun teh.
Kami mulai berjalan melewati jalan setapak. Tanaman teh
nampak berjajar teratur. Pucuk-pucuk teh masih basah oleh embun. Sejauh mata
memandang hanya ada lautan hijau, membuat mata terasa segar. Jalanan yang naik
turun menambah keindahan alam pegunungan. Sebentar-sebantar kami berhenti untuk
berfoto. Beberapa bapak petani teh terlihat sedang membersihkan rumput. Tak
terlihat ibu-ibu pemanen teh yang biasanya menggendong keranjang di
punggungnya. Mungkin hari ini, mereka sedang memanen teh di bagian bukit yang lain.
Melewati beberapa ratus meter jalan berbukit, faktor “u,o,dan
pb” (usia, obesitas, dan perut buncit) benar-benar membedakanku dengan para siswa. Mereka kini telah berada di
depan. Aku, Pak Agus, Pak Supbechan dan Mas Slamet tertinggal di belakang.
Dengan mengerahkan tenaga dan nafas tersengal-sengal, aku berusaha mempercepat
langkahku tapi gagal untuk melewati mereka. Akhirnya, aku, Pak Supbechan, dan
Mas Slamet mencapai finish paling akhir. Pak Agus bahkan dijemput oleh Pak
Tujanto di setengah perjalanan.
Walaupun capek, jarak kurang lebih 10 km kami lalui
dengan penuh kegembiraan. Keringat membasahi kaosku. Kubaringkan tubuhku terlentang
di lantai. Ajaib. Perutku mengempis. Kelihatan jadi six pack.