Siang itu kami berebut air wudlu. Setelah kurang lebih 10
menit antri akhirnya giliranku untuk berwudlu di kran ke 7 dari 10 titik kran
yang ada di tempat wudlu laki-laki. Syukurlah, tepat ketika wudluku selesai,
Mas Slamet mengumandangkan iqomah. Namun, aku tak kebagian tempat di dalam.
Mushola berukuran 8 x 8 meter itu telah penuh dengan jama’ah laki-laki di
sebelah kiri dan jama’ah perempuan di sebelah kanan. Aku mengikuti jama’ah
sholat duhur di serambi mushola sebelah kiri. Serambi berukuran 4 x 10 meter ini
dibangun untuk menampung jama’ah yang sering membeludak. Pada semester lalu,
serambi ini nyaris tak terpakai karena jama’ah sholat duhur bisa tertampung semua di dalam mushola. Namun,
semester ini, sejak diberlakukan 5 hari sekolah, jama’ah selalu membeludak. Maklum,
mereka yang biasa sholat duhur di rumah sepulang sekolah, sekarang mereka harus
sholat duhur di sekolah karena sekolah usai pada pukul 15.30. Daya tampung
mushola ini sekitar 100 orang jama’ah. Dengan adanya serambi ini, sekarang
mushola ini bisa menampung kurang lebih 200 jama’ah.
Selesai tahap pertama, sholat berjama’ah dilanjutkan dengan
tahap ke-2.
Hari ini, sholat duhur dilaksanakan 2 tahap sebelum waktu istirahat
selesai dan bel masuk kelas berbunyi. Waktu istirahat berdurasi 30 menit yaitu
dari pukul 12.00 sampai pukul 12.30. Dengan daya tampung mushola yang hanya 200
jama’ah dan hanya ada 20 titik kran untuk wudlu, kami membutuhkan banyak waktu
untuk melaksanakan jama’ah sholat duhur. Untuk tahap pertama, kami membutuhkan
waktu 10 menit hanya untuk mengambil wudlu. Untuk persiapan sholat, berdoa setelah
sholat, dan keluar dari mushola membutuhkan waktu sekitar 5 menit. Total waktu
yang kami butuhkan sekitar 15 menit. Untuk tahap kedua bisa lebih pendek karena
jama’ah tahap kedua bisa mengambil wudlu ketika jama’ah tahap pertama sedang
melaksanakan sholat. Jama’ah tahap kedua hanya membutuhkan waktu kurang lebih
10 menit. Jadi waktu yang dibutuhkan untuk sholat berjama’ah adalah sekitar 25
menit.
Masih adakah tahap ke-3? Masih, hanya beberapa orang. Itupun
dengan resiko mereka terlambat masuk kelas, kemudian harus berbasa-basi memberikan
alasan kepada guru di kelas, kemudian dipersilahkan duduk atau harus menerima
hukuman.
Dengan pelaksanaan 2 tahap sholat berjama’ah, sholat duhur hanya
diikuti oleh 400 orang. Padahal siswa muslim di sekolahku berjumlah 860.
Pertanyaannya, sisanya melaksanakan sholat dimana?
Satu Kompetensi Sikap yang harus dimiliki oleh siswa yaitu Beriman
dan Bertakwa kepada Tuhan YME terganggu karena mereka tidak mempunyai (diberi) kesempatan
untuk menjalankan ibadah dengan baik. Sekolah tidak mempunyai sarana kegiatan
ibadah yang memadai bagi siswa. Walaupun dalam Permendikbud No. 23 2017 tentang
hari sekolah disebutkan bahwa pemenuhan sarana dan prasarana dilakukan secara
bertahap.
Apa solusinya?
- Waktu istirahat diperpanjang.
Dengan waktu istirahat yang panjang, siswa
mempunyai kesempatan untuk melaksanakan
sholat dan makan siang. Namun demikian, resikonya adalah waktu pembelajaran
menjadi mundur. Waktu pembelajaran yang biasanya selesai pada pukul 15.30
mundur menjadi pukul 16.00.
Siswa diarahkan untuk sholat di masjid-masjid
terdekat di sekitar lingkungan sekolah. Akan tetapi, masjid terdekat dari
sekolah berjarak sekitar 500 meter. Kapasitas masjid itupun hampir sama dengan
mushola sekolah. Masjid yang bisa menampung jama’ah 1000 orang berjarak sekitar
1 km dari sekolah. Impossible. Waktu istirahat hanya 30 menit.
Seharusnya sekolah mendirikan mushola baru yang
bisa menampung jama’ah 860 orang. Ukuran
luas ideal untuk menampung jumlah jama’ah sebanyak itu adalah sekitar 800 meter
persegi. Padahal, membangun bangunan sebesar itu tidak semudah mencari kutu di kepala
botak. Membutuhkan dana ratusan juta bahkan milyaran rupiah. Membutuhkan waktu
yang panjang. Lebih lagi, sekolah kami tidak punya lahan kosong seluas itu.
Untuk sementara, hal ini menjadi alternatif terbaik. Beberapa siswa terpaksa menjalankan sholat di kelas dengan menggelar tikar
di sela-sela meja dan kursi. Wudlu pun tidak harus antri di tempat wudlu karena
ada titik-titik keran di depan kelas atau di taman sekolah.
Bagaimana ini Pak Menteri Pendidikan?