alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Selasa, 29 Agustus 2017

SERAGAM BATIK MERAH

Malam ini aku mendapat pesan lewat group di whatsapp : “Dalam rangka kunjungan gubernur ke sma 1 besok rabu, mohon bp/ibu untuk berseragam batik merah. Trim atas perhatiannya”.

Karena seragam batik merahku belum kuseterika, maka malam ini aku harus menyeterikanya. Seragam ini tidak selalu kukenakan dalam satu minggunya karena seragam ini termasuk batik bebas yang boleh dikenakan pada hari Rabu dan Jum’at. Makanya, seragam ini sering kuabaikan. Kadang belum diseterika dan kadang belum dicuci. Namun khusus dalam rangka Roadshow Gubernur Jawa Tengah ke Kabupaten Batang, Tegal dan Pekalongan pada tanggal 30 Agustus sampai 1 September 2017, kami dimohon untuk mengenakan seragam batik merah ini.

Kenapa harus batik merah?

Kita sangat mafhum dengan kondisi negeri ini dan kita harus tahu dan paham dengan latar belakang (terutama politik) para pejabat negeri ini. Sebagai pegawai negeri sipil yang berada di bawah pemerintahan, kami terbiasa mengkondisikan diri dengan keadaan yang ada. Maka tak heran, kami dihimbau untuk mengenakan seragam batik merah pada saat Bapak H. Ganjar Pranowo berkunjung ke Batang. Padahal dalam jadwal kunjungan, tidak ada rencana mengunjungi sekolah kami. Tetap saja, kami harus mengkondisikan dengan situasi. Siapa tahu, tiba-tiba ada rencana mendadak untuk mengunjungi sekolah kami walaupun tidak ada dalam rencana kunjungan.

Soal seragam merah ini, alhamdulillah kami sudah lama mempunyainya. Bahkan tidak hanya merah, kami juga punya seragam kuning, hijau, biru dan putih. Jadi sewaktu-waktu ada kunjungan pejabat dengan latar belakang apapun kami siap.

Sabtu, 26 Agustus 2017

SHOLAT DUHUR DI SEKOLAH

Siang itu kami berebut air wudlu. Setelah kurang lebih 10 menit antri akhirnya giliranku untuk berwudlu di kran ke 7 dari 10 titik kran yang ada di tempat wudlu laki-laki. Syukurlah, tepat ketika wudluku selesai, Mas Slamet mengumandangkan iqomah. Namun, aku tak kebagian tempat di dalam. Mushola berukuran 8 x 8 meter itu telah penuh dengan jama’ah laki-laki di sebelah kiri dan jama’ah perempuan di sebelah kanan. Aku mengikuti jama’ah sholat duhur di serambi mushola sebelah kiri. Serambi berukuran 4 x 10 meter ini dibangun untuk menampung jama’ah yang sering membeludak. Pada semester lalu, serambi ini nyaris tak terpakai karena jama’ah sholat duhur bisa  tertampung semua di dalam mushola. Namun, semester ini, sejak diberlakukan 5 hari sekolah, jama’ah selalu membeludak. Maklum, mereka yang biasa sholat duhur di rumah sepulang sekolah, sekarang mereka harus sholat duhur di sekolah karena sekolah usai pada pukul 15.30. Daya tampung mushola ini sekitar 100 orang jama’ah. Dengan adanya serambi ini, sekarang mushola ini bisa menampung kurang lebih 200 jama’ah.

Selesai tahap pertama, sholat berjama’ah dilanjutkan dengan tahap ke-2.

Hari ini, sholat duhur dilaksanakan 2 tahap sebelum waktu istirahat selesai dan bel masuk kelas berbunyi. Waktu istirahat berdurasi 30 menit yaitu dari pukul 12.00 sampai pukul 12.30. Dengan daya tampung mushola yang hanya 200 jama’ah dan hanya ada 20 titik kran untuk wudlu, kami membutuhkan banyak waktu untuk melaksanakan jama’ah sholat duhur. Untuk tahap pertama, kami membutuhkan waktu 10 menit hanya untuk mengambil wudlu. Untuk persiapan sholat, berdoa setelah sholat, dan keluar dari mushola membutuhkan waktu sekitar 5 menit. Total waktu yang kami butuhkan sekitar 15 menit. Untuk tahap kedua bisa lebih pendek karena jama’ah tahap kedua bisa mengambil wudlu ketika jama’ah tahap pertama sedang melaksanakan sholat. Jama’ah tahap kedua hanya membutuhkan waktu kurang lebih 10 menit. Jadi waktu yang dibutuhkan untuk sholat berjama’ah adalah sekitar 25 menit.

Masih adakah tahap ke-3? Masih, hanya beberapa orang. Itupun dengan resiko mereka terlambat masuk kelas, kemudian harus berbasa-basi memberikan alasan kepada guru di kelas, kemudian dipersilahkan duduk atau harus menerima hukuman.

Dengan pelaksanaan 2 tahap sholat berjama’ah, sholat duhur hanya diikuti oleh 400 orang. Padahal siswa muslim di sekolahku berjumlah 860. Pertanyaannya, sisanya melaksanakan sholat dimana?
Satu Kompetensi Sikap yang harus dimiliki oleh siswa yaitu Beriman dan Bertakwa kepada Tuhan YME terganggu karena mereka tidak mempunyai (diberi) kesempatan untuk menjalankan ibadah dengan baik. Sekolah tidak mempunyai sarana kegiatan ibadah yang memadai bagi siswa. Walaupun dalam Permendikbud No. 23 2017 tentang hari sekolah disebutkan bahwa pemenuhan sarana dan prasarana dilakukan secara bertahap.

Apa solusinya?
  • Waktu istirahat diperpanjang.
Dengan waktu istirahat yang panjang, siswa mempunyai kesempatan  untuk melaksanakan sholat dan makan siang. Namun demikian, resikonya adalah waktu pembelajaran menjadi mundur. Waktu pembelajaran yang biasanya selesai pada pukul 15.30 mundur menjadi pukul 16.00.
  • Sholat di luar sekolah.
Siswa diarahkan untuk sholat di masjid-masjid terdekat di sekitar lingkungan sekolah. Akan tetapi, masjid terdekat dari sekolah berjarak sekitar 500 meter. Kapasitas masjid itupun hampir sama dengan mushola sekolah. Masjid yang bisa menampung jama’ah 1000 orang berjarak sekitar 1 km dari sekolah. Impossible. Waktu istirahat hanya 30 menit.
  • Musholanya diperbesar.
Seharusnya sekolah mendirikan mushola baru yang bisa menampung  jama’ah 860 orang. Ukuran luas ideal untuk menampung jumlah jama’ah sebanyak itu adalah sekitar 800 meter persegi. Padahal, membangun bangunan sebesar itu tidak semudah mencari kutu di kepala botak. Membutuhkan dana ratusan juta bahkan milyaran rupiah. Membutuhkan waktu yang panjang. Lebih lagi, sekolah kami tidak punya lahan kosong seluas itu.
  • Sholat di kelas.
Untuk sementara, hal ini menjadi alternatif terbaik. Beberapa siswa terpaksa menjalankan sholat di kelas dengan menggelar tikar di sela-sela meja dan kursi. Wudlu pun tidak harus antri di tempat wudlu karena ada titik-titik keran di depan kelas atau di taman sekolah.

Bagaimana ini Pak Menteri Pendidikan?

Senin, 21 Agustus 2017

TUGAS WAKA SARANA DAN PRASARANA

Di kursi depan, kursi tempat biasanya kepala sekolah duduk memberikan briefing setiap pagi, Pak Agus Hary duduk bertelekan tangan di atas meja. Kedua tangannya dilipat di atas meja. Kepalanya bersandar di atas kedua tangannya.  Wajahnya nampak lelah.

“Pak Agus Hary nampak tenanan memikirkan sekolah ya Pak,” kataku kepada Pak Ros yang duduk di sebelahku.

Pak Ros hanya tersenyum. Sebagai asisten Pak Agus Hary, Pak Rosidi tentu sangat memahami kondisi “boss”nya pada hari-hari ini. Beberapa hari yang lalu, Pak Agus Hary harus bolak-balik ke Semarang untuk mengurus proposal DAK (Dana Alokasi Khusus) untuk memperbaiki 2 ruang kelas. Sebagai Wakil Kepala Sekolah bidang Sarana dan Prasarana, beliau bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaan proyek ini. Malangnya, pengurusan proyek ini harus di Semarang. Sebuah kota dengan jarak yang tidak pendek jika ditempuh dari Batang. Untuk menempuh perjalanan tersebut, tidak hanya menyita tenaga tapi juga harus kesabaran karena jalan pantura yang acap kali macet. Maka tak heran, kondisi Pak Agus Hary nampak menurun drastis. Keceriaannya berkurang. Dalam kondisi seperti ini, tak ada seorang pun bisa menghiburnya. Pak Ros sebagai asistennya tak bisa membantu banyak karena beliaupun mempunyai tugas mengurusi seluruh taman di sekolah ini. Sang bendahara, Bu Us yang bisa mengurangi beban dan pikiran karena biasa menjadi sasaran godaan Pak Agus Hary, hari ini juga ijin tidak masuk karena kurang enak badan. Rekan-rekan sesama guru tak bisa berbuat banyak.

Tugas seorang wakil kepala sekolah di bidang sarana dan prasarana tidaklah ringan. Tugasnya tidak hanya ketika menerima proyek seperti sekarang ini. Setiap hari beliau harus bertanggung jawab terhadap seluruh sarana dan prasarana sekolah. Dari mengurusi jaringan internet sampai mengganti bola lampu yang pecah. Dari membangun ruang kelas baru sampai mengganti galon air di ruang guru. Setiap hari beliau mengawasi, mengontrol, dan merawat sarana tersebut. Tenaga dan pikiran belaiau benar-benar tercurahkan untuk sekolah. Maka, tak ada ucapan yang pantas disampaikan kepada beliau selain “salut” dan “terima kasih”. Lebih salut lagi karena beliau mengerjakan ini tanpa kejelasan gaji/tunjangan.


tenanan : sungguh-sungguh.