“Ketika upacara bendera, Dilan berbaris tidak di barisan
kelasnya tapi di barisan kelas Milea kekasihnya dan berdiri berdampingan dengan
Milea. Mengetahui hal tersebut, Pak Suripto menarik kerah baju belakang Dilan
supaya keluar dari barisan. Dilan marah. Pak Suripto juga marah lalu menampar
Dilan. Dilan membalasnya, menyerang dan memukul Pak Suripto bertubi-tubi. Dilan
beralasan bahwa dia memukul Pak Suripto bukan karena dia melawan guru tapi
karena dia ingin melawan Pak Suripto yang sewenang-wenang.”
(Ringkasan cerita pada Bab 18: Dilan vs
Suripto (hal 173) di dalam novel “Dilan : dia adalah Dilanku 1990”)
Dilan, aku kaget membaca kisahmu di bab ini. Kok mengerikan
sekali. Kau bisa memukuli seorang guru dan mengejar-ngejarnya? Apakah gurumu begitu
jahat? Apakah karena gurumu begitu kasar dan pernah mengataimu PKI sehingga kau
melakukan itu? Bahkan kau memanggil namanya saja tanpa sebutan “Pak”. Kuakui
kau sangat berani melakukan itu. Mungkin karena jabatanmu sebagai panglima tempur
geng motor dan ayahmu yang seorang tentara sehingga kau punya keberanian lebih.
Entahlah.
Aku jadi ingin tahu tentang gurumu itu lebih dalam, siapa dia sebenarnya? Latar belakangnya, bagaimana sikap dan kelakuannya? Juga kisah geng
motormu. Kisah ayah dan ibumu. Eh...jangan lupa, juga kisah Bu Rini, guru Fisika favoritmu.
Segera ditulis ya!
Dilan, aku kaget membaca kisahmu karena di sekolahku pada
tahun 1990-an tak pernah terjadi kejadian semacam ini. Aku dan teman-temanku biasa
kena lempar penghapus, kena pukul penggaris kayu 1 m atau kena sabet tuding (stick
dari bambu) ketika ngantuk saat pelajaran. Kami biasa kena jewer sampai telinga
merah ketika ditanya tak bisa menjawab. Kami biasa dihukum membersihkan WC
ketika terlambat. Dan tak ada perlawanan dari kami. Kami tunduk saja pada
hukuman yang harus kami jalani itu. Iya sih, guru-guru di sekolahku tak pernah
ada yang menampar atau mengatai kami dengan kata-kata yang kasar. Guru-guruku
baik-baik semua. Soal menjewer, melempar penghapus, memukul dengan penggaris
kayu, menyabet dengan tuding atau menyuruh membersihkan WC sih memang
tahun 90-an sedang musimnya hukuman seperti itu. Jadi kuanggap wajar hukuman
seperti itu.
Baiklah, kisahmu ini kuambil sebagai pengalaman dan
pelajaran bagiku. Ternyata pada masa SMA ku ada kejadian semacam itu di sekolah
lain. Ibarat pepatah “Lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya”, di sekolahmu
tentu saja berbeda dengan sekolahku. Lagipula, pada waktu itu alat komunikasi
dan media informasi masih sangat terbatas sehingga kejadian di sekolahmu itu tak
terdengar sampai sekolahku. Maafkan alat komunikasi dan media informasi.
Andai saja, kisahmu itu terjadi pada masa ini pasti aku akan
segera tahu. Pasti rekaman CCTV dan video amatir sudah beredar di media sosial.
Oh iya.. untung saja Pak Suripto yang kau kejar-kejar dan
kau pukuli tak apa-apa. Seandainya Pak Suripto sampai mengalami seperti apa
yang dialami oleh Pak Budi (Ahmad Budi Cahyono), guru GTT (honorer) mata
pelajaran Seni Budaya di SMAN 1 Trojun Madura yang meninggal pada tanggal 1 Februari
2018 setelah didiagnosa menderita MBO (Mati Batang Otak) karena dipukuli oleh
muridnya yang bernama Moh. Holili, nasibmu pasti berbeda. Kisah cintamu dengan
Milea tidak seindah di dalam novel. Kau akan dihujat oleh orang se-Indonesia
sebagai siswa yang jahat, kurang ajar, dan tidak tahu membalas budi. Kau akan
ditangkap polisi dan dipenjara. Kau diputus Milea dan Milea akhirnya menikah
dengan Kang Adi. Kau mati bunuh diri di penjara. Tragis.
Ah...mudah-mudahan Moh. Holili memukuli Pak Budi bukan karena
meniru keberanianmu memukuli Pak Suripto.
Skali2 tulis cerita soal kondisi sma 2 batang pak. Yg perlu dikritik, dibenahi biar makin baik, jangan yg baik-baik sudah pada tahu soalnya. Biar seru dikit. Hehee
BalasHapusSepertinya di tulisanku sedikit-sedikit ada kritiknya. Mungkin terlalu halus ya? Yang agak vulgar sudah pernah dan hasilnya seru luaaaaarrr biasssaaaa...
BalasHapusAku membutuhkan telinga cadangan. hehe.
Guru paling sabar lah, the best pokonya mah😍
BalasHapus