alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Rabu, 21 Februari 2018

NUGGET UBI

Minggu pagi aku mendapat japri-an di WA. Nadia, salah satu siswaku menawarkan nugget ubi.

"Nugget ubi? makanan jenis apa itu?" tanyaku
"Dari ubi Pak"
"Harganya berapa?"
"Rp. 5000 isi 3"
"Siapa yang bikin?"
"Yang bikin saya, Rifka, Erika sama Alya,"
"Kalian berempat? Tempat usahanya dimana?" tanyaku semakin penasaran
"Di rumah. Gantian Pak,"
"Produknya apa saja?"
"Sementara masih nugget ubi Pak. Mau bikin dempes tapi peminatnya kurang. Sama nugget pisang masih OTW. Konsep awalnya serba ubi Pak."
"Tolong kirim gambarnya dong!" pintaku



Gambarnya menarik. Sebungkus ubi isi 3 dengan toping bermacam-macam. Ada meses coklat dan pink serta keju. Karena penasaran dengan rasanya, aku memesan 2 paket untuk hari Senin. Kebetulan pada hari Senin sampai Kamis ada kegiatan Try Out Berbasis Komputer untuk kelas XII dan aku menjadi proktor di laboratorium komputer 3.

"Besok pagi kirim ke lab komputer 3 ya. Soalnya saya jadi proktor di sana," kataku
"Siap Pak,"

Tak lupa makanan ini kupromosikan kepada guru-guru lainnya. Siapa tahu ada yang ingin mencicipinya. Terus terang aku tertarik dengan konsep awal perusahaan yang dibuat oleh empat siswa ini. Jiwa kewirausahaan mereka sudah tumbuh dan dipupuk dengan bisnis kecil-kecilan seperti ini. Mudah-mudahan semakin berkembang dan bisa diteruskan menjadi sebuah usaha yang sebenarnya.

"Saya pesan 2 Pak," pesan Bu Sri Kandi di group WA.
"Saya juga pesan 2 Pak," lanjut Bu Yeni


Segera kusampaikan pesanan baru ke Nadia.

"Bu Yeni pesan 2, Bu Sri Kandi pesan 2. Jadi seluruhnya 6."

Senin pagi, Rifka dan Erika menyambangiku untuk memberikan nugget ubi pesananku.
Buru-buru kubuka dan kucicipi. Penasaran dengan rasanya.

"Hmmm... lembut. Ubi, keju dan coklatnya terasa menyatu di lidah,"

Jumat, 09 Februari 2018

MENGGUGAT DILAN

“Ketika upacara bendera, Dilan berbaris tidak di barisan kelasnya tapi di barisan kelas Milea kekasihnya dan berdiri berdampingan dengan Milea. Mengetahui hal tersebut, Pak Suripto menarik kerah baju belakang Dilan supaya keluar dari barisan. Dilan marah. Pak Suripto juga marah lalu menampar Dilan. Dilan membalasnya, menyerang dan memukul Pak Suripto bertubi-tubi. Dilan beralasan bahwa dia memukul Pak Suripto bukan karena dia melawan guru tapi karena dia ingin melawan Pak Suripto yang sewenang-wenang.”  
(Ringkasan cerita pada Bab 18: Dilan vs Suripto (hal 173) di dalam novel “Dilan : dia adalah Dilanku 1990”)

Dilan, aku kaget membaca kisahmu di bab ini. Kok mengerikan sekali. Kau bisa memukuli seorang guru dan mengejar-ngejarnya? Apakah gurumu begitu jahat? Apakah karena gurumu begitu kasar dan pernah mengataimu PKI sehingga kau melakukan itu? Bahkan kau memanggil namanya saja tanpa sebutan “Pak”. Kuakui kau sangat berani melakukan itu. Mungkin karena jabatanmu sebagai panglima tempur geng motor dan ayahmu yang seorang tentara sehingga kau punya keberanian lebih. Entahlah.

Aku jadi ingin tahu tentang gurumu itu lebih dalam, siapa dia sebenarnya? Latar belakangnya, bagaimana sikap dan kelakuannya? Juga kisah geng motormu. Kisah ayah dan ibumu. Eh...jangan lupa, juga kisah Bu Rini, guru Fisika favoritmu. Segera ditulis ya!

Dilan, aku kaget membaca kisahmu karena di sekolahku pada tahun 1990-an tak pernah terjadi kejadian semacam ini. Aku dan teman-temanku biasa kena lempar penghapus, kena pukul penggaris kayu 1 m atau kena sabet tuding (stick dari bambu) ketika ngantuk saat pelajaran. Kami biasa kena jewer sampai telinga merah ketika ditanya tak bisa menjawab. Kami biasa dihukum membersihkan WC ketika terlambat. Dan tak ada perlawanan dari kami. Kami tunduk saja pada hukuman yang harus kami jalani itu. Iya sih, guru-guru di sekolahku tak pernah ada yang menampar atau mengatai kami dengan kata-kata yang kasar. Guru-guruku baik-baik semua. Soal menjewer, melempar penghapus, memukul dengan penggaris kayu, menyabet dengan tuding atau menyuruh membersihkan WC sih memang tahun 90-an sedang musimnya hukuman seperti itu. Jadi kuanggap wajar hukuman seperti itu.

Baiklah, kisahmu ini kuambil sebagai pengalaman dan pelajaran bagiku. Ternyata pada masa SMA ku ada kejadian semacam itu di sekolah lain. Ibarat pepatah “Lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya”, di sekolahmu tentu saja berbeda dengan sekolahku. Lagipula, pada waktu itu alat komunikasi dan media informasi masih sangat terbatas sehingga kejadian di sekolahmu itu tak terdengar sampai sekolahku. Maafkan alat komunikasi dan media informasi.

Andai saja, kisahmu itu terjadi pada masa ini pasti aku akan segera tahu. Pasti rekaman CCTV dan video amatir sudah beredar di media sosial.

Oh iya.. untung saja Pak Suripto yang kau kejar-kejar dan kau pukuli tak apa-apa. Seandainya Pak Suripto sampai mengalami seperti apa yang dialami oleh Pak Budi (Ahmad Budi Cahyono), guru GTT (honorer) mata pelajaran Seni Budaya di SMAN 1 Trojun Madura yang meninggal pada tanggal 1 Februari 2018 setelah didiagnosa menderita MBO (Mati Batang Otak) karena dipukuli oleh muridnya yang bernama Moh. Holili, nasibmu pasti berbeda. Kisah cintamu dengan Milea tidak seindah di dalam novel. Kau akan dihujat oleh orang se-Indonesia sebagai siswa yang jahat, kurang ajar, dan tidak tahu membalas budi. Kau akan ditangkap polisi dan dipenjara. Kau diputus Milea dan Milea akhirnya menikah dengan Kang Adi. Kau mati bunuh diri di penjara. Tragis.


Ah...mudah-mudahan Moh. Holili memukuli Pak Budi bukan karena meniru keberanianmu memukuli Pak Suripto. 

SEPERTI TAHU BULAT

“Sudah lama nggak upacara. Sekarang upacara. Ada hal penting yang harus disampaikan,” kata kepala sekolahku pada hari Senin pagi, 5 Februari 2018.

Aku tak menjawab. Aku segera mencari Adhy, sang ketua OSIS untuk mengerahkan anak buahnya mempersiapkan upacara bendera. Adhy dan anak buahnya segera mempersiapkan soundsystem, mengulur kabel microfon, dan menata papan kelas di lapangan. Karena mendadak, petugas upacara juga harus mencari siswa yang siap untuk menjadi petugas. Dan itu tidak mudah karena anak-anak OSIS pagi itu telah memakai kaos bersiap-siap menuju alun-alun untuk mengikuti pembukaan POPDA. Pengibar bendera kurang satu dan pembaca doa tidak ada. Akhirnya, petugas upacara pagi itu asal tunjuk.

“Pak, upacara kok mendadak gini sih Pak,” kata Adhy sambil memasang microfon di tiang microfon.

“Iya... kan tahu bulat,” jawabku

“Kok tahu bulat Pak?” tanya Adhy bingung


“dadakan.”


Hikmah di balik upacara dadakan adalah:
  1. Pengurus OSIS harus selalu siap menjadi petugas upacara.
  2. Pemimpin upacara boleh pingsan di tengah lapangan. (Alyaaaa.... jangan pingsan lagi ya. Pingsan itu berat... yang ngangkat)