Untuk menyegarkan otak setelah seharian begitu penat di
ruang kelas diklat, pada malam hari pukul 22.00 aku bersama 2 temanku Pak
Sunarto dan Pak Setiawan berjalan-jalan, melihat-lihat lingkungan di sekitar
lokasi diklat kami. Kami berjalan sekitar 1 km ke arah utara. Pertokoan telah
tutup. Ada beberapa warung tenda yang masih buka, nasi goreng, ronde, mie
rebus, dan beberapa warung angkringan. Sepulang jalan jauh, kami mampir di
warung angkringan yang trletak 25 meter di sebelah utara lokasi diklat (PP-PAUDNI).
Bayanganku langsung melayang ke Jogja, kota tempat mulai tumbuhnya
warung angkringan pada tahun 90-an. Saat kuliah, hampir setiap hari, aku mampir ke warung angkringan. Entah sekedar minum, ngrokok, ngobrol atau makan malam. Tempat makan dengan menu murah meriah harga mahasiswa.
Sekilas kulihat suasana angkringan ini.
Bentuk gerobaknya tak berubah, sebuah gerobak besar warna kusam tanpa cat. Di
atasnya terdapat tempat perlengkapan ringan seperti korek, uang receh, plastik,
dll. Di bawahnya terdapat kotak besar tempat peralatan-peralatan yang besar seperti
ember, panci, ceret, gelas, piring dan sebagainya. Di sebelah kiri ada lubang tempat
anglo untuk merebus air dan membakar. Makanannya masih seperti dulu. Ada
bungkusan nasi kucing dengan berbagai variasi lauk. Nasi sambal baldo, nasi
sambal balantin, nasi kentang, nasi sambal teri, nasi sambal goreng dan nasi
tempe goreng. Ada berbagai lauk: tempe goreng tepung, tahu goreng tepung, tempe
dan tahu bacem, kepala ayam, sate yongki (dari kata keong yang diucapkan secara
cepat berulang-ulang), sate telur puyuh berisi 4 butir, dan sate usus. Minuman
khas angkringan adalah teh dan jahe. Ada juga minuman instan, tinggal memilih
minuman sachet yang digantung di atas meja. Aku memilih makan nasi kucing
sambel teri. Nasi inilah nenek moyang nasi kucing, karena nasinya hanya 3
sendok makan berlauk ikan teri, khas makanan kucing. Aku mengambil tempe goreng
dan tahu goreng serta memesan jaesu (jahe susu).
Kunikmati makanan berporsi kecil ini sambil membayangkan
Bulaksumur, Malioboro, Selokan Mataram, sungai Gajah Wong, Ringroad, Prambanan dan
lain-lain. Tapi aku merasa ada yang hilang dari gerobak angkringan ini. Rupanya
lampunya terlalu terang. Lampu jari 5 watt ini masih terasa sangat terang
dibandingkan dengan warung angkringan jaman dahulu yang hanya menggunakan lampu
teplok minyak tanah. Mungkin karena, jaman sekarang sudah sulit untuk
mendapatkan minyak tanah dan mahal, maka pemilik warung menggantinya dengan
lampu listrik. Lebih praktis dan lebih ekonomis. Selain masalah penerangan,
masih ada yang kurang yaitu radio. Dahulu, para pengunjung warung angkringan
selalu dihibur dengan suara radio kecil (2 band) merk nasional yang digantung
di pojok gerobak.
Walaupun demikian, secara keseluruhan tak ada perubahan yang
berarti dari warung yang dipelopori oleh orang-orang Klaten ini.
Cukup 7.000 rupiah aku ditraktir oleh Pak Sunarto. Seruputan
terakhir jahe susu dan bau khas asap dari arang kayu di anglo mengiringiku
keluar dari warung angkringan itu.
Jogja pun berputar-putar di atas kepalaku.