alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Rabu, 15 April 2015

PAK IWAN

Peserta Pendidikan dan Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru Bahasa Prancis Tingkat Lanjut yang aku ikuti berjumlah 20 orang, 5 orang laki-laki dan 15 orang perempuan. Kami berasal dari berbagai daerah di seluruh pulau Jawa.

Di antara para lelaki, ada salah satu orang yang menjadi perhatian para ibu. Tak etis menyebut namanya di sini jadi sebut saja namanya Pak Iwan. Pria asal Jawa Barat ini telah berkeluarga dengan 3 orang anak. Wajahnya cakep, kulitnya putih, berjambang lebat, pendiam, murah senyum, kalem, rajin sholat, rajin mengaji, baik hati dan tidak sombong. Beliau juga seorang ahli dalam bidang TIK (Teknologi Infromasi dan Komunikasi) yang mempunyai hobi membaca dan menulis. Tulisannya yang sebagian besar tentang motivasi bahkan telah beredar di dunia maya dalam bentuk blog yang menarik.

Dengan berbagai alasan, ibu-ibu menjadikan Pak Iwan menjadi sasaran utama untuk menyelesaikan segala persoalan.

“Pak Iwan, minta tolong ini dong.”
“Pak Iwan, bisa itu menyelesaikan ini nggak?”
“Pak iwan, tolong perbaiki ini dong?”

“Pak Iwan, Pak Iwan....” dan kalimat-kalimat lainnya yang dilontarkan dengan nada manja disertai pasang muka cantik, penuh senyum manis. Pokoknya, di hadapan Pak Iwan,  emak-emak berubah jadi gadis-gadis manja dan so cute.

Benar-benar deh, Pak Iwan telah membuat ibu-ibu jadi klepek-klepek.

Sabtu, 11 April 2015

ANGKRINGAN

Untuk menyegarkan otak setelah seharian begitu penat di ruang kelas diklat, pada malam hari pukul 22.00 aku bersama 2 temanku Pak Sunarto dan Pak Setiawan berjalan-jalan, melihat-lihat lingkungan di sekitar lokasi diklat kami. Kami berjalan sekitar 1 km ke arah utara. Pertokoan telah tutup. Ada beberapa warung tenda yang masih buka, nasi goreng, ronde, mie rebus, dan beberapa warung angkringan. Sepulang jalan jauh, kami mampir di warung angkringan yang trletak 25 meter di sebelah utara lokasi diklat (PP-PAUDNI).

Bayanganku langsung melayang ke Jogja, kota tempat mulai tumbuhnya warung angkringan pada tahun 90-an. Saat kuliah, hampir setiap hari, aku mampir ke warung angkringan. Entah sekedar minum, ngrokok, ngobrol atau makan malam. Tempat makan dengan menu murah meriah harga mahasiswa.

Sekilas kulihat suasana angkringan ini. Bentuk gerobaknya tak berubah, sebuah gerobak besar warna kusam tanpa cat. Di atasnya terdapat tempat perlengkapan ringan seperti korek, uang receh, plastik, dll. Di bawahnya terdapat kotak besar  tempat peralatan-peralatan yang besar seperti ember, panci, ceret, gelas, piring dan sebagainya. Di sebelah kiri ada lubang tempat anglo untuk merebus air dan membakar. Makanannya masih seperti dulu. Ada bungkusan nasi kucing dengan berbagai variasi lauk. Nasi sambal baldo, nasi sambal balantin, nasi kentang, nasi sambal teri, nasi sambal goreng dan nasi tempe goreng. Ada berbagai lauk: tempe goreng tepung, tahu goreng tepung, tempe dan tahu bacem, kepala ayam, sate yongki (dari kata keong yang diucapkan secara cepat berulang-ulang), sate telur puyuh berisi 4 butir, dan sate usus. Minuman khas angkringan adalah teh dan jahe. Ada juga minuman instan, tinggal memilih minuman sachet yang digantung di atas meja. Aku memilih makan nasi kucing sambel teri. Nasi inilah nenek moyang nasi kucing, karena nasinya hanya 3 sendok makan berlauk ikan teri, khas makanan kucing. Aku mengambil tempe goreng dan tahu goreng serta memesan jaesu (jahe susu).

Kunikmati makanan berporsi kecil ini sambil membayangkan Bulaksumur, Malioboro, Selokan Mataram, sungai Gajah Wong, Ringroad, Prambanan dan lain-lain. Tapi aku merasa ada yang hilang dari gerobak angkringan ini. Rupanya lampunya terlalu terang. Lampu jari 5 watt ini masih terasa sangat terang dibandingkan dengan warung angkringan jaman dahulu yang hanya menggunakan lampu teplok minyak tanah. Mungkin karena, jaman sekarang sudah sulit untuk mendapatkan minyak tanah dan mahal, maka pemilik warung menggantinya dengan lampu listrik. Lebih praktis dan lebih ekonomis. Selain masalah penerangan, masih ada yang kurang yaitu radio. Dahulu, para pengunjung warung angkringan selalu dihibur dengan suara radio kecil (2 band) merk nasional yang digantung di pojok gerobak.

Walaupun demikian, secara keseluruhan tak ada perubahan yang berarti dari warung yang dipelopori oleh orang-orang Klaten ini.

Cukup 7.000 rupiah aku ditraktir oleh Pak Sunarto. Seruputan terakhir jahe susu dan bau khas asap dari arang kayu di anglo mengiringiku keluar dari warung angkringan itu.


Jogja pun berputar-putar di atas kepalaku.

Jumat, 03 April 2015

DIKLAT

Mulai tanggal 3 sampai 13 April 2015 aku harus mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru Bahasa Perancis SMA Tingkat Lanjut di PP-PAUDNI REGONAL II Semarang. Padahal aku belum pernah mengikuti Diklatsar (Pendidikan dan Pelatihan Tingkat Dasar). Pesertanya 20 orang dari Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pembukaan yang sedianya dilaksanakan pukul 14.00 WIB molor sampai pukul 16.00 WIB. (Tak apalah, aku jadi bisa tidur terlebih dahulu setelah perjalanan Batang-Semarang).

Pembukaan dibuka oleh Kepala PPPPTK Jakarta. Dalam pidato sambutannya, beliau mengatakan bahwa peserta Diklat tingkat lanjut ini dianggap sudah lulus Diklat tingkat dasar karena nilai yang diperoleh dalam Uji Kompetensi Guru (UKG) adalah baik dan telah memenuhi syarat untuk mengikuti Diklat Tingkat Lanjut.

Pada hari kedua ini, tanggal 4 April 2015 kami sudah diberikan materi Diagnostik Kesulitan Belajar dan Identifikasi Bekal Ajar Siswa oleh Ibu Siti Nurhayati, Sp.I., M.Pd., salah satu Widyaiswara Bahasa Perancis dari PPPPTK Jakarta. Dengan gayanya yang rileks, ramah dan penuh senyum, perempuan asli Pakem (bukan pernah tinggal di Pakem lho..), Jogjakarta ini membimbing peserta Diklat dengan menarik. Tak ada satu pun peserta yang mengantuk di kelas. Media pembelajarannya juga bervariasi: film, kartu, kertas tempel dengan metode pembelajaran pair and share dan falling leaf. Materi utama yaitu prior knowledge membuat kami harus mengetahui pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman siswa sebelum menerima materi pembelajaran yang baru. Kenapa harus ada prior knowledge? karena setiap siswa adalah unik. Masing-masing siswa mempunyai latar belakang dan kecerdasan yang berbeda-beda.

Tanpa rasa lelah hari ini beliau membimbing kami sampai sore dan tetap menarik sampai matahari semakin senja. Ketika kami tanyakan biar bisa mengajar dengan menarik dan tak membosankan, beliau menjawab:

"Guru itu mengajar dari hati"

Rabu, 01 April 2015

JUMLAH GURU

Kalau guru dituntut untuk menjadi fasilitator ilmu sekaligus membentuk karakter siswa, aku setuju sekali dengan Kurikulum 2013 beserta seabreg tetek bengek-nya. Penilaian kurikulum 2013 pun telah menunjukkan kesempurnaan penilaian terhadap siswa baik pengetahuan, ketrampilan, maupun sikap. Untuk itu, aku berharap Kurikulum 2013 direalisasikan secepatnya.

Namun, untuk memastikan berjalannya Kurikulum 2013 alias K-13 alias Kurtilas ini, guru tak mungkin menilai siswa dalam jumlah yang sangat banyak. Menurutku, satu kelas cukup 15 siswa. Dengan 15 siswa, guru dapat mengamati siswa-siswanya satu per satu dengan jelas. Guru hapal nama siswa-siswanya dan mengetahui latar belakang dan karakter awal mereka. Guru juga betul-betul dapat membimbing siswa dalam pengetahuan, ketrampilan maupun sikapnya. Guru tidak memberikan ilmu secara klasikal. Guru dapat membimbing siswa satu per satu untuk membuka sumber ilmu baik melalui internet maupun buku, mendiskusikan dengan temannya, serta mencari penyelesaian masalah.

Nah, di sinilah peran guru sebagai fasilitator untuk mencari pengetahuan, meningkatkan ketrampilan, dan membentuk karakter siswa yaitu mengarahkan, membimbing dan mendidik siswa tentang :
1. Cara menghargai / menghormati teman
2. Cara menerima pendapat teman
3. Cara menolak pendapat teman
4. Cara bersimpati
5. Cara berempati
6. Cara bersikap agar tidak menyinggung teman
7. Cara bertindak /berbicara agar tidak menyakiti hati teman
8. Cara bertindak /berbicara agar tidak menghina teman
9. Cara bertindak dan berbicara yang tidak mengolok-olok teman
10. Cara tersenyum
11. Cara menyapa
12. Cara berbicara
13. Cara bersikap
14. Cara membentuk gestur tubuh dalam bersosialisasi.

Setuju? Hanya 15 siswa per kelas. Sedangkan di sekolahku per kelas ada 36 siswa atau ada 50 guru untuk 750 siswa. Wow?