alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Kamis, 02 Juni 2016

DOA YANG BAGUS

Di akhir kegiatan In House Training (IHT) tentang Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan di sekolahku pada tanggal 2 Juni 2016, sang mentor mengadakan acara yang tak terduga yaitu bersedekah.

“Bersedekah itu pahalanya besar. Allah akan membalas minimal 10 kali lipat apa yang kita sedekahkan. Percaya itu.”

Demikian kalimat sang mentor untuk mendorong semangat kami dalam bersedekah sambil membagikan amplop satu per satu kepada kami.

Aturan mainnya:
  1. kami duduk berpasang-pasangan
  2. ambil uang dari dompet
  3. masukkan uang ke dalam amplop yang telah dibagikan
  4. amplop ditutup rapat, lalu berikan amplop tersebut kepada teman pasangan kita.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tujuh pihak yang diberi naungan oleh Allah, dimana pada hari itu tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.” Dari tujuh pihak tersebut, Rasulullah menyebutkan bahwa siapa saja yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi -ibarat tangan kiri tak mengetahui apa yang dilakukan tangan kanan- maka ia termasuk salah satu di dalamnya. Jadi uang yang dimasukkan ke dalam amplop jangan diperlihatkan ke temannya dan jangan mengintip temannya,” tambah sang mentor.

Dalam hitungan ketiga, proses bersedekah dimulai. Kami diberi waktu untuk membuka dompet, mengambil uang dari dompet, memasukkan uang ke dalam amplop, menutupnya dan memberikan ke teman kami.

Aku dengan ringan membuka dompetku. Giliran akan mengambil uang dari dalam dompet, aku ragu uang yang mana yang akan kuambil. Lembaran kertas bergambar Soekarno Hatta, I Gusti Ngurah Rai, Oto Iskandar Dinata, Sultan Mahmud Badaruddin II, Teuku Imam Bonjol, Pangeran Antasari, Kapitan Patimura, koin bergambar angklung, atau koin bergambar bunga melati? Dalam keraguanku muncul bisikan malaikat dan bisikan syetan.

Malaikat
:
Sedekah yang banyak dan ikhlas, insyaallah pahalanya besar.
Syetan
:
Lihat dulu temen loe bersedekah berapa?
Malaikat
:
Jangan ngintip, bikin nggak ikhlas.
Syetan
:
Harus ngintip. Kalau loe ngisinya lebih banyak dari temen loe, loe bakal rugi. Intip dulu!
Malaikat
:
Nggak usah, sedekah berapapun banyaknya tidak akan ada ruginya.
Syetan
:
Tapi yang akan dikasih sedekah teman loe sendiri. Keenakan dia.
Malaikat
:
Kepada siapapun sedekahnya, kalau ikhlas pasti dapat pahala.
Syetan
:
Enak aja. Temen loe itu udah kaya. Tunjangan sertifikasinya lebih banyak dari loe. Loe salah ngasih sedekah ke dia. Malah dapat dosa loe.
Malaikat
:
Niatkan sedekah kepada siapapun. Pahalanya sama.
Syetan
:
Masih banyak orang miskin di luar sana. Loe salah sedekah ke dia. Intip dulu biar nggak salah.
Malaikat
:
Jangan ngintip.
Syetan
:
Kalau begitu, ambil uang yang kecil. Buat jaga-jaga, biar nggak rugi. Kapitan Patimura, Pangeran Antasari atau maksimal Teuku Imam Bonjol lah. Nggak usah banyak-banyak.
Malaikat
:
Ambil uang yang besar. Lebih besar lebih baik dan lebih banyak pahalanya. Soekarno Hatta pahalanya besar.

Aku memantapkan hati. Aku mengikuti aturan mentor saja. Aku tidak mengintip uang temanku yang dimasukkan ke amplop. Kuambil salah satu di antara lembaran uang kertas dari dalam dompetku. Tentu saja, aku tak berani memasukkan uang koin. Terlalu kentara pelitnya. Kemudian kututup rapat amplopnya.

“Sekarang, berikan ke teman sebelah Anda!” perintah mentor kepada kami.

Bismillah. Aku berikan kepada teman sebelahku dan temanku memberikan amplopnya kepadaku. Berapapun uang yang ada di dalam amplop yang kuterima, aku harus ikhlas. Mudah-mudahan nilainya sama atau bahkan lebih banyak. Kalaupun kurang, minimal kurangnya sedikit.

“Sekarang, kumpulkan amplop pemberian teman Anda di depan,” perintah mentor sambil menunjuk lantai di depannya.

Semua peserta maju untuk mengumpulkan amplop-amplop tersebut di depan. Aku terbengong-bengong dan melongo. Aku sempat ragu untuk mengumpulkan amplop yang ada di tanganku. Tapi karena semuanya maju, akhirnya aku maju juga. Malaikat dan Syetan kembali menghampiriku.

Syetan
:
Nah loe. Syukurin loe. Apa kata gue. Sekarang malah dikumpulin di depan. Loe nggak dapat penggantinya. Sudah  gue bilang Kapten Patimura, Pangeran Antasari  atau Teuku Imam Bonjol,  nggak percaya loe.
Malaikat
:
Sudah.. diikhlaskan. Allah yang akan membalasnya.
Syetan
:
Tapi kan rugi loe.
Malaikat
:
Tak ada ruginya.

“Sudah-sudah tak usah diperdebatkan lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Kalian jangan ganggu aku. Bikin pusing saja. Pergi sana,” batinku sambil mengusir bisikan malaikat dan syetan.

Aku harus menata hati. Aku harus mengikhlaskan sedekahku tadi. Aku harus percaya kepada Tuhan dan akupun berdoa:

“Ya Allah. Aku ikhlas dengan uang yang kusedekahkan tadi. Tapi aku mengharap balasan kemurahanmu yang minimal 10 kali lipat itu ya Alloh.”


Dari kejauhan, syetan mengacungkan jempol dan berkata: “Doa yang bagus”

TEMONGAN (2)

Kuberi judul Temongan (2) karena ada judul Temongan (tanpa 1). Definisi dan seluk-beluk temongan, ada di Temongan yang pertama.

Pagi-pagi Bu Tri sudah berkeliling menagih iuran temongan karena ada salah satu guru yang anaknya opname di rumah sakit. Kali ini Bu Tri tidak menggunakan kertas sobekan ala kadarnya untuk mencatat hasil iuran guru dan staf tapi membawa sebuah stopmap warna kuning berisi nama semua guru dan staf telah diketik rapi.

Aku tak bisa mengelak. Aku tak bisa beralasan lagi dengan pergi toilet lama sekali, ke kantin untuk minum kopi panas 2 gelas, ke mushola untuk sholat duha berkali-kali atau menjemput anak tak balik lagi ke sekolah. Dengan daftar nama seperti ini, siapa yang sudah dan siapa yang belum memberi iuran serta jumlah iurannya akan diketahui. Walaupun sekarang mengelak, besok Bu Tri masih menagihnya. Semuanya tercatat. Tak ada yang bisa menghindar lagi. Ini lebih adil. Penerima temongan juga mendapatkan jumlah yang sama.

Daripada aku dikejar-kejar oleh Bu Tri, maka aku segera mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu dari dompetku.

I LOVE YOU

Kemarin tanggal 31 Mei 2016 adalah hari terakhir pelaksanaan Ulangan Kenaikan Kelas (UKK) dan hari ini tanggal 1 Juni 2016 adalah hari pertama kegiatan remidial. Karena aku baru selesai mengoresi hasil UKK tadi malam dan nilaiku baru kumasukkan ke dalam komputer pagi ini, aku belum bisa mengumumkan nama-nama anak yang harus remidi di papan pengumuman.

“Pak Bas, kami remidi nggak?” tanya segerombolan siswa di depan pintu ruang guru.

Aku yang sedang memelototi laptopku di meja kerjaku segera mengecek nama-nama mereka  di daftar nilai.

“Tidak remidi,” kataku memberi isyarat dengan melambaikan tangan.

“Terima kasih Pak, I Love you” kata mereka lalu berjingkrak pergi.


Aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka.