“Qu’est qu’il fait?” tanyaku kepada para siswa sambil
menunjukkan sebuah gambar bertema musim dan cuaca.
“Il y a une inondation,” jawab mereka serempak.
“Apa artinya?” tanyaku lebih lanjut
“Bénjér,” jawab Riska (nama samaran) dengan aksen khasnya.
“B-A: ba, N-J-I-R: njir, bénjér,” sahut Frika (nama samaran
juga) sambil mengeja kata banjir per huruf tapi hasilnya tetap dibaca bénjér.
Mendengar sahutan Frika, seluruh siswa tertawa: “grrrr...”
Kata “banjir” yang diucapkan “bénjér” dengan 2 huruf “e” dibaca
seperti “e” dalam kata becak menjadi terasa menyimpang dari kaidah
Bahasa Indonesia. Namun itu adalah aksen khas
di beberapa wilayah di Kabupaten Batang. Mereka mengucapkan lima
menjadi lime, sego mejadi segé, dan lain-lain. Sulit untuk
merubah aksen ini. Ini adalah karakteristik mereka. Aksen ini menjadi salah
satu kekayaan dan khasanah budaya di Indonesia meskipun aksen ini terasa asing
di telinga orang lain.
Merasa aksennya ditertawakan oleh teman sekelasnya, Riska tak bisa berbuat banyak.
“Awas kowe, ora tak bolo,” ancamnya.
*) menurut KBBI, aksen / aksentuasi adalah pemberian tekanan suara pada suku kata atau kata
**) Awas
kowe, ora tak bolo : awas kamu, nggak jadi temanku.